*Dari SLB Menuju Dunia Kerja
Nathanael, siswa SLB Negeri Pembina Yogyakarta sedang membatik motif umpluk.(Foto: Harta Nining Wijaya/ EDUKATOR)
YOGYAKARTA, EDUKATOR–Di sebuah ruang latihan (workshop) di SLB Negeri Pembina Yogyakarta, tangan-tangan mungil itu tampak sibuk menggoreskan canting di atas kain putih. Asap tipis lilin panas mengepul, sementara guratan demi guratan perlahan menjelma motif batik.
Bagi sebagian orang, ini hanya kegiatan keterampilan. Namun bagi para siswa difabel, membatik adalah bekal hidup. Dan kini, sertifikasi resmi membatik menjadi jembatan menuju kemandirian.
Selama ini lulusan SLB, termasuk setingkat SMA, sering kali dipandang sebelah mata oleh dunia kerja. “Tidak diperhitungkan,” begitu ungkapan yang kerap terdengar dari para orang tua. Minimnya pengakuan formal atas keterampilan membuat banyak lulusan SLB berhenti tanpa arah jelas setelah lulus.
Karena itulah, program sertifikasi membatik yang difasilitasi Direktorat PKPLK dan BNSP menjadi angin segar. Kepala Sekolah SLB Negeri Pembina Yogyakarta, Nur Khasanah, menjelaskan bahwa sekolahnya dipercaya sebagai satu-satunya di DIY yang menyelenggarakan uji kompetensi membatik bagi siswa difabel.
“Sudah dua tahun berjalan. Tahun lalu, kami mengeluarkan 38 sertifikat dalam dua kali ujian. Tahun ini, 12 siswa masih berproses. Beberapa di antaranya sudah bekerja di dunia usaha dan industri,” kata Nur Khasanah penuh semangat.
Sertifikat itu bukan sekadar selembar kertas. Ia adalah pengakuan formal yang membuka pintu ke dunia kerja. Dengan bekal ini, lulusan SLB tak lagi dipandang hanya sebagai anak-anak istimewa yang butuh belas kasih, melainkan sebagai calon tenaga kerja dengan keterampilan spesifik.
Namun Nur Khasanah menekankan, kemandirian anak difabel bukan semata soal finansial. “Mandiri itu bagaimana mereka bisa mengurus diri sendiri. Kalau tidak dibekali sejak sekolah, bagaimana mereka bisa bertahan tanpa orang tua?” ujarnya kepada EDUKATOR, Jumat (12/9/2025).Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti saat mengunjungi SLB Negeri Pembina Yogyakarta, Jumat (12/9/2025). (Foto: Harta Nining Wijaya/ EDUKATOR)
Itulah mengapa, program sertifikasi dipadukan dengan sinergi sekolah–orang tua melalui SINETA (Sinergi Erat dengan Orang Tua). “Apa pun yang dilakukan anak, orang tua harus tahu. Ada pertemuan rutin, komunikasi intensif, supaya pendidikan di sekolah berlanjut di rumah,” jelasnya.
Membangun Martabat
Revitalisasi SLB yang diluncurkan pemerintah juga menegaskan pentingnya kesempatan yang sama bagi anak difabel. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, melalui Kadisdikpora Suhirman, menegaskan bahwa revitalisasi bukan sekadar pembangunan fisik.
“Ini pembangunan martabat dan kesempatan yang lebih luas, agar anak disabilitas benar-benar mendapatkan layanan pendidikan inklusif,” katanya.
Hari itu, SLB Negeri Pembina bukan hanya menjadi tuan rumah peletakan batu pertama revitalisasi, tetapi juga pusat harapan baru. Di balik setiap goresan batik yang lahir dari tangan-tangan difabel, tersimpan cita-cita untuk mandiri, diterima, dan berkontribusi.
“Siapapun tanpa kecuali, anak-anak difabel harus bersekolah. Dengan sekolah, mereka bisa percaya diri, punya keterampilan hidup, dan kesempatan masa depan,” tutup Nur Khasanah. (Harta Nining Wijaya)