Oleh: Ākhmad Fauzi, S.S., S.Pd.
Guru SMP Negeri 2 Kutasari, Kabupaten Purbalingga
PERKEMBANGAN teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat telah membawa perubahan besar dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Era digital menuntut dunia pendidikan untuk beradaptasi agar mampu menyiapkan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga melek teknologi, kreatif, dan siap menghadapi tantangan global.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) meluncurkan kebijakan Digitalisasi Sekolah. Kebijakan ini menjadi salah satu langkah strategis untuk mendukung implementasi Kurikulum Merdeka Belajar, sekaligus menjawab kesenjangan antara guru sebagai digital immigrants dan murid sebagai digital natives.
Perbedaan kemampuan dan cara pandang antara digital natives dan digital immigrants menimbulkan kesenjangan generasi dalam dunia pendidikan. Guru yang masih terbiasa dengan cara belajar konvensional sering kali kesulitan mengikuti gaya belajar murid yang sudah terbiasa dengan teknologi digital. Anak-anak di era sekarang cenderung lebih cepat, praktis, dan menyukai visualisasi, sedangkan guru masih mengandalkan buku teks, catatan, dan metode ceramah.
Kesenjangan ini dapat menimbulkan beberapa masalah, seperti:
a) Komunikasi yang kurang nyambung antara guru/orang tua dengan anak.
b) Metode belajar yang tidak sesuai dengan kebutuhan siswa masa kini.
c) Ketidakpahaman orang tua dalam mendampingi anak menggunakan teknologi secara sehat.
d) Potensi konflik kecil dalam keluarga ketika orang tua merasa kewalahan dengan teknologi, sementara anak terlalu bebas menggunakannya.
Melihat persoalan tersebut, menarik untuk menelaah pemikiran yang pernah disampaikan Rhenald Kasali, Ph.D., Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dalam salah satu karyanya, ia mengutip pemikiran Marc Prensky dalam buku Digital Game-Based Learning, yang menjelaskan bahwa hadirnya teknologi digital telah membelah dunia pendidikan menjadi dua kelompok besar, yaitu Digital Immigrants dan Digital Natives.
Digital Immigrants adalah kaum pendatang di era digital, yakni generasi yang lahir sebelum berkembangnya teknologi komputer, internet, dan telepon pintar. Dalam konteks pendidikan, kelompok ini mayoritas terdiri atas para guru dan dosen.
Sementara itu, Digital Natives adalah generasi yang sejak kecil sudah hidup berdampingan dengan teknologi digital. Mereka lahir setelah era internet, akrab dengan komputer, aplikasi, ponsel pintar, maupun produk-produk digital lainnya. Generasi inilah yang sering disebut sebagai generasi Y atau generasi milenial, dan saat ini merekalah para murid di sekolah-sekolah kita.
Perbedaan keduanya sangat mencolok. Berikan saja sebuah ponsel pintar kepada Digital Natives — dalam waktu singkat mereka langsung bisa mengoperasikannya tanpa perlu membaca buku panduan. Mereka juga cepat menemukan lokasi gim atau fitur menarik lainnya.
Sebaliknya, bagi Digital Immigrants, mengoperasikan ponsel pintar sering kali menjadi tantangan tersendiri. Meski sudah membaca buku manual, tetap saja ada kesulitan yang membuat mereka akhirnya bertanya kepada anak-anaknya. Tak jarang muncul kejengkelan dari pihak anak, “Masa begitu saja tidak bisa?”
Namun, ada juga Digital Immigrants yang berusaha keras beradaptasi dengan lingkungan digital, meski tidak sedikit pula yang akhirnya menyerah dan lebih memilih telepon lama atau SMS biasa.
Bagi para orang tua, kita tidak harus menjadi pakar teknologi untuk mendampingi anak. Namun, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan agar kesenjangan generasi ini dapat dijembatani, antara lain:
1.Belajar Secukupnya tentang Teknologi
Tidak perlu menjadi ahli, tetapi pahami fungsi dasar gawai, aplikasi belajar, dan media sosial yang digunakan anak. Hal ini membuat komunikasi lebih nyambung.
2.Menjadi Pendamping, Bukan Sekadar Pengawas
Alih-alih melarang, lebih baik mendampingi. Orang tua dapat berdiskusi dengan anak tentang manfaat dan risiko internet.
3.Menanamkan Nilai-Nilai Positif
Orang tua tetap menjadi teladan dalam hal disiplin, tanggung jawab, dan etika. Meskipun anak canggih dalam teknologi, mereka tetap membutuhkan arahan moral. Dorong anak untuk tetap aktif di dunia nyata — olahraga, seni, dan kegiatan sosial — agar tidak hanya terpaku pada dunia digital.
4.Membangun Komunikasi yang Hangat
Dengarkan anak ketika mereka bercerita tentang aplikasi atau permainan baru. Dari sana, orang tua dapat memahami dunia mereka dan memberikan nasihat yang relevan.
Dengan demikian, memahami dua generasi dalam pendidikan — Digital Immigrants dan Digital Natives — bukanlah soal siapa yang lebih pintar, melainkan bagaimana keduanya dapat saling melengkapi.
Generasi orang tua dan guru tetap berperan memberikan arah, sementara generasi anak membawa energi baru untuk beradaptasi dengan zaman.(*)