
Oleh: Priyanto, M.Pd.I
Kepala SMP Negeri 3 Kutasari
Kabupaten Purbalingga’
Jawa-Tengah
GELOMBANG demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil yang terjadi pada 28–30 Agustus 2025 belakangan ini menyisakan beragam catatan penting. Tidak hanya terkait substansi tuntutan yang diusung, tetapi juga tentang siapa saja yang terlibat di dalamnya. Salah satu fenomena yang mencuri perhatian adalah ikut sertanya anak-anak sekolah—baik SMP maupun SMA—dalam aksi yang berlangsung di berbagai daerah.
Fenomena ini mengundang perdebatan publik. Di satu sisi, sebagian pihak menganggapnya sebagai bentuk kesadaran sosial dini dari generasi muda. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa keterlibatan mereka hanya merupakan eksploitasi massa yang berbahaya dan berpotensi menimbulkan kerugian serius, baik secara psikologis maupun fisik.
Partisipasi anak sekolah dalam aksi unjuk rasa bukanlah hal yang sepenuhnya baru di Indonesia. Dalam beberapa momentum historis—misalnya pergerakan reformasi 1998—siswa SMA pernah terlihat ikut turun ke jalan. Namun, fenomena pada Agustus 2025 memiliki skala yang berbeda.
Data yang dihimpun oleh beberapa lembaga advokasi menunjukkan bahwa sekitar 8–10% peserta aksi di kota-kota besar terdiri dari siswa sekolah menengah. Mereka membawa poster, bersorak mengikuti yel-yel, bahkan sebagian ikut dalam barisan mahasiswa yang berada di garis depan aksi.
Sadar atau Hanya Mengikuti Arus?
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah keikutsertaan mereka merupakan pilihan sadar atau hanya sekadar mengikuti arus karena ajakan lingkungan, media sosial, atau bahkan pihak-pihak yang memanfaatkan momentum demonstrasi?
Tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan anak sekolah dalam isu-isu sosial menandakan adanya kepedulian terhadap situasi bangsa. Kesadaran semacam ini, bila diarahkan dengan tepat, dapat menjadi modal penting dalam membangun generasi kritis yang memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Beberapa guru dan pemerhati pendidikan menyampaikan bahwa sebagian siswa memang menunjukkan minat terhadap isu politik dan kebijakan publik. Misalnya, seorang guru sosiologi di Yogyakarta mengatakan: “Banyak dari mereka yang sudah terbiasa berdiskusi tentang isu-isu nasional di kelas. Mereka ingin menjadi bagian dari perubahan, tetapi sering kali tidak tahu batas peran yang seharusnya dimainkan.”
Ruang Edukasi Politik
Artinya, ada ruang edukasi politik yang terbuka di kalangan anak muda. Hanya saja, partisipasi mereka seharusnya diwujudkan melalui saluran yang aman, terstruktur, dan sesuai usia, seperti forum pelajar, kegiatan OSIS, lomba debat publik, atau program edukasi kewarganegaraan berbasis aksi sosial.
Namun, sisi lain dari fenomena ini menyimpan risiko besar. Anak-anak sekolah merupakan kelompok yang belum memiliki kematangan emosional dan analisis kritis setingkat mahasiswa. Mereka rentan terprovokasi, mudah terseret euforia massa, dan tidak memahami risiko yang mungkin muncul—mulai dari bentrokan dengan aparat hingga trauma psikologis.
Beberapa rekaman video di media sosial menunjukkan adanya siswa yang berada di garis depan saat terjadi dorong-dorongan dengan aparat. Sebagian bahkan menjadi korban gas air mata.
Seorang psikolog anak di Jakarta menegaskan: “Eksploitasi anak dalam aksi massa melanggar prinsip perlindungan anak. Meski memiliki kesadaran sosial, mereka tidak boleh ditempatkan pada situasi yang dapat mengancam keselamatan dan tumbuh kembang mereka.”
Eksploitasi ini tidak selalu berbentuk ajakan eksplisit. Bisa jadi mereka terdorong oleh narasi heroik di media sosial atau ajakan teman sebaya yang mengglorifikasi aksi turun ke jalan tanpa memikirkan konsekuensi.
Peran media sosial dalam menyebarkan semangat aksi juga tidak bisa dikesampingkan. Platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) dipenuhi cuplikan video yang menampilkan mahasiswa dan pelajar dengan narasi perjuangan melawan ketidakadilan.
Meski memberi ruang untuk berekspresi, media sosial sering kali hanya menyajikan potongan realitas yang terkesan heroik, tanpa menampilkan risiko, kerumitan isu, atau kemungkinan penyalahgunaan momentum oleh pihak-pihak tertentu.
Berbahaya
Hal ini berbahaya karena dapat menciptakan romantisasi perlawanan, di mana ikut demo dipersepsikan sebagai gaya hidup keren ketimbang bentuk tanggung jawab sosial yang serius.
Fenomena ini memunculkan kebutuhan mendesak untuk membedakan antara pendidikan politik yang sehat dan eksploitasi massa. Pendidikan politik dapat dilakukan melalui: pertama, edukasi kritis di sekolah. Mengintegrasikan mata pelajaran kewarganegaraan dengan diskusi aktual berbasis data, bukan opini semata.
Kedua, forum dialog anak muda. Menyediakan ruang aman bagi pelajar untuk menyuarakan pendapatnya, misalnya melalui forum pelajar nasional, bukan langsung di jalanan yang berisiko.
Ketiga, peran guru dan orang tua. Membimbing siswa memahami cara menyalurkan aspirasi tanpa menempatkan diri pada situasi berbahaya.
Keempat, pengawasan ketat terhadap provokator. Negara dan masyarakat sipil harus memastikan bahwa tidak ada pihak yang menunggangi antusiasme pelajar untuk kepentingan politik praktis.
Fenomena anak sekolah ikut demo pada Agustus 2025 adalah cermin bahwa generasi muda kita peduli pada kondisi bangsa. Namun, kepedulian itu harus diarahkan secara tepat agar tidak berubah menjadi eksploitasi massa yang merugikan.
Kita perlu menjadikan momen ini sebagai refleksi bersama: apakah kita telah menyediakan ruang bagi anak-anak untuk belajar demokrasi tanpa harus mempertaruhkan keselamatan mereka? Apakah negara telah melindungi mereka dari manipulasi kepentingan yang menyusup di balik aksi massa?
Pada akhirnya, demokrasi sejati bukan hanya tentang keberanian turun ke jalan, tetapi juga tentang bagaimana menumbuhkan kesadaran sosial yang matang, kritis, dan bertanggung jawab sejak dini—tanpa mengorbankan masa depan. (*)