
BAHASA selalu lebih dari sekadar alat komunikasi. Ia adalah rumah bagi pikiran, budaya, dan cara kita memandang dunia. Bagi komunitas Tuli di Indonesia, rumah itu memiliki dua pintu: BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) dan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia).
Dua bahasa yang sering disandingkan, kadang dipertentangkan. Namun sejatinya lahir dari kebutuhan yang sama, agar setiap orang bisa didengar dan dimengerti.
BISINDO bukan bahasa yang diciptakan di ruang rapat atau meja birokrasi. Ia lahir dari kehidupan. Dari interaksi alami antaranggota komunitas Tuli yang saling memahami gerak, ekspresi, dan intuisi visual. Karena itu, BISINDO bersifat alami, cair, dan mencerminkan cara berpikir visual khas Tuli. Di dalamnya, tersimpan identitas, sejarah, dan rasa memiliki yang kuat.
Setiap gerak tangan dalam BISINDO mengandung cerita, tentang bagaimana komunitas Tuli berjuang untuk diakui sebagai bagian dari bangsa ini, bukan sekadar penerima kebijakan. BISINDO bukan hanya bahasa, ia adalah simbol eksistensi.
Adapun SIBI, lahir dari niat yang juga mulia. Pemerintah dan para pendidik ingin menyediakan sistem yang bisa membantu anak Tuli memahami Bahasa Indonesia. Bahasa resmi yang digunakan dalam pendidikan, administrasi, dan komunikasi nasional. Karena itu, SIBI dirancang mengikuti tata bahasa Indonesia, lengkap dengan imbuhan, struktur kalimat, dan sistem linguistiknya.
Tujuannya bukan menggantikan bahasa Tuli, melainkan membantu mereka mendapatkan akses pendidikan yang sama. Dalam ruang kelas, SIBI menjadi jembatan untuk memahami pelajaran, menulis, dan membaca. Ia adalah upaya agar Tuli tidak tertinggal dari dunia formal yang sering kali menutup pintu tanpa sadar.
Dua Ruang Satu Kepentingan
Penting bagi siapa saja, menahan diri dari sikap “memihak”. BISINDO dan SIBI tidak sedang berkompetisi. Keduanya berangkat dari kebutuhan yang berbeda dan sama-sama berharga.
BISINDO menjaga identitas budaya dan kebebasan berekspresi, sementara SIBI memperkuat literasi dan keterhubungan dengan sistem pendidikan nasional. BISINDO adalah bahasa untuk hidup bersama, SIBI adalah bahasa untuk belajar bersama.
Jika keduanya bisa saling mendukung? Anak Tuli belajar dengan SIBI di ruang kelas, lalu berkomunikasi dengan BISINDO di rumah dan komunitasnya. Ia tumbuh bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kuat secara identitas.
Itulah makna sejati inklusi. Bukan menyeragamkan, tetapi memberi ruang bagi perbedaan untuk hidup berdampingan.
Perdebatan antara BISINDO dan SIBI seringkali muncul karena ketidaktahuan, bukan permusuhan. Banyak orang non-Tuli belum memahami bahwa bagi komunitas Tuli, bahasa bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari keberadaan atau identitas diri. Begitu pula, sebagian pendidik mungkin belum menyadari bahwa pendekatan pedagogis juga bisa lebih lentur, lebih menghargai bahasa alami anak.
Akhirnya, semua perlu belajar, bahwa memahami bahasa Tuli bukan sekadar menghafal isyarat, tetapi mendengarkan dengan mata dan merasakan dengan hati.
Dua bahasa dalam artikel ini: BISINDO dan SIBI, sama-sama lahir dari kasih dan kepedulian. Yang satu lahir dari komunitas, yang lain dari lembaga. Yang satu menumbuhkan jati diri, yang lain membuka akses menuju pengetahuan.
Keduanya bisa saling melengkapi, karena tujuan akhirnya sama: mewujudkan masyarakat yang setara dalam komunikasi, penghargaan, dan kemanusiaan.
Maka, alih-alih mempertanyakan mana yang lebih baik, mungkin sudah saatnya kita berkata: “Dua bahasa ini berbeda, tapi keduanya berbicara hal yang sama. Yaitu tentang hak untuk dimengerti. (Harta Nining Wijaya)