Oleh: Andi Prasetyo, S.Pd
Pemerhati Bahasa Indonesia
(Kepala SMPN 4 Kutasari, Purbalingga).
DI ERA digital, media sosial menjadi ruang utama dalam berkomunikasi. Baik melalui WhatsApp, Facebook, Instagram, maupun Twitter, jutaan orang berinteraksi setiap hari dengan kata-kata. Namun, sayangnya tidak semua orang sadar bahwa bahasa yang digunakan di ruang digital sama pentingnya dengan bahasa yang kita ucapkan di dunia nyata. Etika berbahasa di medsos menjadi kunci menjaga hubungan sosial, keharmonisan, serta citra diri kita sebagai pribadi maupun bangsa.
Ahli bahasa memiliki pandangan beragam tentang peran bahasa dalam kehidupan manusia. Sapir dan Whorf misalnya, meyakini bahwa bahasa membentuk cara kita berpikir dan memahami realitas.
Ferdinand de Saussure melihat bahasa sebagai sistem tanda yang mewakili pikiran dan perasaan. Sementara Noam Chomsky menekankan bahwa bahasa adalah kemampuan bawaan manusia yang universal. Semua pandangan ini sepakat: bahasa adalah cermin pikiran dan perasaan. Artinya, bahasa yang kita gunakan di medsos sebenarnya adalah cermin diri kita.
Kebiasaan Copy paste
Fenomena yang sering saya amati di berbagai grup WhatsApp menjadi contoh nyata lemahnya etika berbahasa. Saat ada teman yang mendapat musibah atau anugerah, banyak anggota grup hanya menyalin pesan ucapan orang lain tanpa menambah kata-kata dari hati.
Praktik copy paste ini bukan sekadar soal malas mengetik, tetapi mencerminkan rendahnya kejujuran dalam mengungkapkan perasaan, minimnya respect, dan hilangnya kehangatan komunikasi.
Kebiasaan copy paste ucapan selamat atau belasungkawa sebenarnya menandakan hilangnya orisinalitas. Ucapan yang lahir dari salinan tidak memiliki roh, hanya formalitas semata. Akibatnya, komunikasi terasa hambar dan kehilangan makna kekeluargaan yang justru menjadi ciri khas masyarakat timur.
Bahasa, seperti pepatah mengatakan, menunjukkan bangsa. Maka, berbahasa di medsos adalah representasi karakter kita, baik sebagai individu maupun bagian dari bangsa.
Jika ditinjau dari teori pragmatik, bahasa seharusnya digunakan sesuai konteks sosial. Ucapan selamat atas kelahiran anak, misalnya, tidak cukup dengan menulis “ikut berbahagia” yang disalin dari pesan orang sebelumnya.
Perlu ada tambahan kata yang menunjukkan keterlibatan emosional, seperti “Semoga anaknya tumbuh sehat dan menjadi kebanggaan keluarga.” Kalimat sederhana tapi orisinal ini jauh lebih bermakna daripada sekadar menyalin.
Ujaran Kebencian
Bahasa di medsos juga sering kali terjebak pada ujaran kebencian, caci maki, atau sindiran kasar. Di balik layar, banyak orang merasa bebas melampiaskan emosi tanpa memikirkan dampak. Padahal, dalam etika komunikasi, bahasa bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membentuk persepsi orang lain tentang kita. Satu kata kasar di medsos bisa menghapus seribu kebaikan yang pernah kita lakukan.
Contoh nyata dapat kita lihat dalam kasus viral beberapa pejabat atau selebritas yang tersandung masalah karena komentar atau unggahan di medsos. Sekali unggah kata-kata yang tidak etis, publik langsung bereaksi. Reputasi jatuh, bahkan karier bisa hancur. Hal ini membuktikan bahwa bahasa di medsos tidak bisa dianggap sepele. Setiap kata meninggalkan jejak digital yang sulit dihapus.
Etika berbahasa di medsos bukan hanya soal menghindari kata kasar, tetapi juga soal kejujuran dan empati. Mengucapkan belasungkawa, selamat ulang tahun, atau doa kesembuhan bukanlah formalitas. Itu adalah kesempatan untuk menunjukkan kepedulian tulus. Bahasa yang lahir dari hati akan lebih menyentuh dan menguatkan, dibanding bahasa yang hanya menyalin tanpa makna.
Lemahnya Budaya Literasi
Dalam perspektif pendidikan, rendahnya kualitas bahasa di medsos juga menunjukkan lemahnya budaya literasi. Malas menulis dan berpikir sendiri adalah gejala minimnya latihan berpikir kritis. Padahal, menulis kalimat orisinal melatih otak untuk merangkai ide, memperkaya kosa kata, serta menajamkan perasaan. Maka, medsos seharusnya menjadi ruang latihan literasi, bukan sekadar ruang menyalin.
Lalu bagaimana solusinya? Pertama, biasakan menulis ucapan dengan kata-kata sendiri, meskipun sederhana. Kedua, gunakan bahasa yang santun, jelas, dan sesuai konteks. Ketiga, sadari bahwa setiap kata yang kita tulis adalah cermin diri. Jika kita ingin dihargai, mulailah dengan menghargai orang lain melalui bahasa yang baik.
Selain itu, kita juga perlu menumbuhkan kesadaran digital. Jejak digital tidak bisa dihapus sepenuhnya. Maka, sebelum menulis status, komentar, atau pesan, tanyakan pada diri sendiri: apakah kata-kata ini akan menyakiti orang lain? Apakah kalimat ini pantas jika dibaca anak atau orang tua kita? Dengan kesadaran ini, kita akan lebih berhati-hati.
Etika Berbahasa
Pendidikan etika berbahasa di medsos sebaiknya juga ditanamkan sejak dini, baik di sekolah maupun keluarga. Anak-anak perlu diajarkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat pembentukan karakter. Dengan membiasakan mereka menulis ucapan selamat, terima kasih, atau permintaan maaf secara jujur dan tulus, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter.
Perlu juga ada teladan dari tokoh masyarakat, guru, dan orang tua dalam berbahasa di medsos. Ketika para figur publik menunjukkan kesantunan, keaslian, dan kepedulian melalui bahasa, masyarakat akan menirunya. Sebaliknya, jika mereka membiasakan bahasa kasar atau copypaste, masyarakat juga akan terbawa arus.
Di tengah derasnya arus informasi, bahasa di medsos bisa menjadi pisau bermata dua. Ia bisa membangun jembatan persaudaraan, tetapi juga bisa merobohkan tembok kepercayaan. Semua tergantung pada bagaimana kita memilih kata-kata. Maka, menjaga etika berbahasa bukan hanya tanggung jawab pribadi, melainkan juga tanggung jawab sosial.
Kesimpulannya, etika berbahasa di medsos harus didasari kejujuran, empati, kesantunan, dan orisinalitas. Copy paste ucapan hanya membuat komunikasi kehilangan makna. Sementara bahasa yang lahir dari hati akan mempererat ikatan sosial.
Ingatlah, bahasa adalah cermin bangsa. Jika kita ingin bangsa ini dihargai, mari mulai dari menghargai bahasa yang kita gunakan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Semoga. (*)
