Oleh : Prof. Dr. H. Abdul Wachid BS, M.Hum
Penyair, Guru Besar dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura)
di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.
DALAM ekosistem budaya digital saat ini, film pelajar tidak lagi sekadar hasil latihan teknis atau ajang unjuk kreativitas belaka. Ia menjelma menjadi ruang artikulasi pemikiran, ekspresi lokalitas, dan medium pendidikan karakter. Festival Film Pelajar Purbalingga (FFPP), yang telah berlangsung sejak awal 2000-an, menghadirkan salah satu contoh paling progresif dari praktik literasi budaya berbasis film yang lahir dari dan untuk pelajar.
Dengan menjadikan pelajar sebagai subjek kreatif, bukan sekadar konsumen hiburan, FFPP membangun satu model pendidikan kultural berbasis komunitas yang relevan dengan tantangan zaman.
Menonton Sebagai Aktivitas Budaya
Dalam banyak konteks, menonton film masih dipandang sebagai aktivitas pasif. Padahal dalam kajian budaya visual, aktivitas menonton merupakan proses kognitif dan afektif yang membentuk cara berpikir, kepekaan sosial, dan orientasi nilai seseorang.
Pelajar yang terpapar film dengan pendekatan reflektif akan mampu membedakan antara bentuk dan makna, antara hiburan dan wacana. Dalam ranah ini, film menjadi teks budaya yang dapat dibaca, ditafsirkan, dan dikritisi.
Di FFPP, pelajar tidak hanya menjadi penonton tetapi juga pembuat film. Mereka menggali isu-isu lokal di sekeliling mereka: persoalan lingkungan, kebudayaan, kepercayaan, konflik generasi, bahkan trauma sejarah yang terpendam. Dari proses itu, pelajar diajak tidak hanya ‘melihat’, tetapi ‘membaca’ dunia. Inilah yang membedakan antara tontonan dan pembelajaran.
FFPP dan Alih Wahana Budaya Lokal
Alih wahana—yakni proses mengadaptasi karya dari satu medium ke medium lain—merupakan salah satu pendekatan penting dalam pengembangan literasi kreatif. Dalam konteks FFPP, alih wahana sering terjadi dari narasi lisan, pengalaman nyata, atau bahkan teks sastra menjadi film pendek. Pelajar diajak mengubah cerita-cerita lokal menjadi skenario, menginterpretasikan ulang makna budaya dengan sudut pandang mereka, dan menyuarakannya melalui bahasa visual. Ini sekaligus menumbuhkan empati, imajinasi, dan keterampilan berpikir kritis.
Film pelajar seperti “Limbah”, “Sesajen”, atau “Tengkar” adalah contoh konkret bagaimana realitas sosial ditransformasikan menjadi ekspresi budaya. Film “Limbah”, misalnya, menggambarkan kepedulian lingkungan dari sudut pandang pelajar desa yang hidup di tengah aliran limbah industri. Sementara “Sesajen” merekam ketegangan antara nilai kepercayaan leluhur dan logika keagamaan modern, dengan latar peristiwa kematian di desa. Film “Tengkar” justru mengangkat dinamika konflik keluarga, dengan pendekatan humanis yang menghindari dikotomi hitam-putih.
Alih wahana dalam konteks ini tidak bersifat mekanis. Ia memerlukan kemampuan membaca realitas, mengungkap makna, dan merekonstruksi ulang menjadi teks visual. Ini sejatinya adalah praktik hermeneutika, di mana pelajar dilatih menjadi penafsir dan sekaligus pencipta makna.
Literasi Visual dan Kesadaran Simbolik
Pelajar masa kini hidup dalam banjir gambar, namun tidak semua memiliki kemampuan literasi visual yang memadai. Literasi visual tidak hanya soal mengenali objek atau simbol dalam gambar, tetapi memahami konteks, perspektif, struktur naratif, dan pesan tersirat di dalamnya. Gambar tidak pernah netral: ia membawa nilai, ideologi, dan posisi.
Oleh karena itu, pendidikan literasi visual menjadi penting agar pelajar tidak menjadi korban manipulasi media, melainkan subjek yang sadar dan kritis.
Melalui proses pembuatan film di FFPP, pelajar diajak untuk membangun kesadaran visual: bagaimana menyusun adegan, memilih warna, menentukan sudut pandang kamera, hingga menata suara dan cahaya.
Semua ini melatih mereka memahami bahwa representasi bukan kenyataan itu sendiri, melainkan konstruksi. Dengan demikian, pelajar tidak hanya diajari cara membuat film, tetapi juga cara memahami dunia yang dipenuhi oleh representasi.
Kearifan Lokal sebagai Sumber Narasi
Salah satu kekuatan utama film pelajar di FFPP adalah kedekatannya dengan konteks lokal. Pelajar tidak diminta meniru film-film komersial atau cerita-cerita urban yang jauh dari realitas mereka.
Sebaliknya, mereka diajak menggali cerita dari desanya, budayanya, bahasanya, dan kehidupannya sendiri. Dalam film “Sesajen”, misalnya, pelajar merekam ketegangan antara tradisi sesaji kematian dan penolakan terhadapnya atas nama agama. Film ini merekam perdebatan yang hidup di masyarakat, tanpa menghakimi salah satu pihak.
Di sinilah pendidikan budaya menemukan momentumnya. Pelajar tidak hanya memahami nilai-nilai lokal secara teoritis, tapi menghayatinya melalui proses kreatif. Mereka belajar bahwa kearifan lokal bukan sekadar folklor, tetapi sumber nilai dan etika yang membentuk karakter komunitas. Ketika nilai-nilai lokal diangkat dalam bahasa film, ia mendapatkan ruang baru untuk bertahan dan berdialog dengan zaman.
Komunitas sebagai Ruang Tumbuh
FFPP bukan hanya festival, tetapi komunitas belajar yang hidup. Proses pendampingan dari pegiat film, fasilitator pendidikan, dan komunitas kreatif membuat pelajar tidak merasa sendirian.
Mereka belajar bersama, berdiskusi, bahkan berdebat dalam forum-forum kritik film. Di sinilah mereka ditempa: tidak hanya teknis membuat film, tetapi juga etika berkarya, kepekaan sosial, dan tanggung jawab budaya.
Peran komunitas ini sangat penting karena dalam sistem pendidikan formal, ruang untuk ekspresi kreatif seringkali terbatas. FFPP mengisi kekosongan itu dengan pendekatan nonformal yang tetap berakar pada nilai pendidikan. Komunitas menjadi ruang sosial yang menumbuhkan keberanian berekspresi, kemampuan berkolaborasi, dan sikap terbuka terhadap perbedaan tafsir.
Pendidikan Sastra dalam Dimensi Visual
Alih wahana dari karya sastra ke film pelajar adalah satu bentuk praktik pedagogi yang bisa memperkuat apresiasi sastra. Cerpen seperti “Robohnya Surau Kami”, “Bunga Kertas”, atau bahkan puisi-puisi Chairil Anwar bisa divisualkan dengan pendekatan sinematik yang memberi makna baru.
Dalam proses itu, pelajar tidak sekadar memahami isi teks, tetapi juga belajar bagaimana membangun suasana, menampilkan konflik, dan menghadirkan ironi melalui bahasa visual.
Pengalaman semacam ini menjadikan sastra tidak asing bagi pelajar. Justru mereka bisa menyelami makna-makna terdalam sastra karena ditantang menerjemahkannya ke dalam bentuk gambar. Ini sejalan dengan prinsip pendidikan sastra sebagai pendidikan estetika dan etika. Film menjadi wahana yang memungkinkan pelajar mengalami sastra, bukan sekadar membaca atau menghafalnya.
Tantangan dan Harapan
Meski menjanjikan, pendekatan ini tidak tanpa tantangan. Tidak semua sekolah memiliki akses terhadap perangkat produksi film, pelatihan literasi visual, atau dukungan kurikulum. Selain itu, tantangan dari sistem sensor nasional yang masih bias terhadap ekspresi lokal bisa menjadi hambatan serius. Banyak film pelajar yang dianggap terlalu “berani” atau “tidak sopan” padahal ia justru merekam realitas tanpa pemanis.
Diperlukan kebijakan yang lebih inklusif dari lembaga pendidikan, dukungan dari dinas kebudayaan dan pendidikan, serta sinergi antara sekolah, komunitas film, dan akademisi. FFPP sudah membuktikan bahwa ekosistem itu mungkin dibangun, bahkan dari wilayah nonperkotaan seperti Purbalingga.
Menonton sebagai Proses Menjadi Manusia
FFPP telah menunjukkan bahwa menonton bukan sekadar konsumsi visual, melainkan proses menjadi manusia. Pelajar yang terlibat dalam pembuatan film tidak hanya belajar tentang kamera, naskah, atau akting, tetapi juga tentang hidup, nilai, dan perbedaan. Mereka membentuk identitasnya sendiri, membangun relasi dengan lingkungan, dan meneguhkan posisinya sebagai bagian dari masyarakat yang berdaya.
Dalam film pelajar, kita menyaksikan anak-anak muda yang sedang belajar membaca dunia—dan menuliskannya kembali dalam bahasa mereka sendiri. Di tengah krisis identitas, derasnya informasi, dan bias media global, inisiatif seperti FFPP layak dijadikan model untuk pendidikan yang lebih humanis, kreatif, dan berbasis nilai lokal.
Film bukan hanya hiburan, tetapi juga cermin: tempat kita bercermin tentang siapa diri kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan menuju. Dan dalam cermin film pelajar, kita melihat masa depan yang lebih peka, cerdas, dan peduli. (*)
==