Oleh: Mayjen TNI (Purn) Fulad S.Sos., M.Si
(Mahasiswa S3 Fakultas Pertanian Unsoed)
*Analisis Peran Generasi Z: Bukan Hanya Peserta, Tapi Arsitek Gerakan
1. Digital Native sebagai Kekuatan Strategis
GEN Z adalah generasi yang lahir dan besar dengan internet. Keahlian ini mereka gunakan dengan cara yang tidak dimiliki generasi sebelumnya.
• Amplifikasi dan Viralitas: Mereka menguasai algoritma TikTok, Instagram Reels, dan Twitter (X). Sebuah video kekerasan polisi di Jakarta bisa diedit dengan musik yang powerful, subtitle dalam berbagai bahasa, dan hashtag yang mudah diingat, lalu menjadi viral di London dalam hitungan jam. Mereka tidak perlu menunggu konferensi pers; mereka menciptakan berita itu sendiri.
•Koordinasi Real-Time: Aplikasi seperti Telegram, Signal, dan Discord digunakan untuk koordinasi taktis: titik kumpul, pergerakan aparat, pertolongan pertama, dan penyebaran informasi hukum. Ini membuat gerakan sangat cair, terdesentralisasi, dan sulit dibendung.
•Bypassing Media Arus Utama: Mereka curiga terhadap media tradisional yang dianggap memiliki agenda. Informasi dan narasi menyebar langsung dari sumbernya (peer-to-peer), yang terasa lebih otentik dan memperkuat rasa percaya di dalam gerakan.
2. Master of Narrative and Memetic Warfare (Ahli Narasi dan Perang Meme)
Bagi Gen Z, meme bukan hanya lelucon; itu adalah alat propaganda dan penyatuan persepsi yang sangat efektif.
•Penyederhanaan Isu Kompleks: Mereka mampu mengemas isu ekonomi makro yang rumit (seperti reformasi subsidi, inflasi, ketimpangan) menjadi meme, poster, atau video pendek yang mudah dicerna dan dipahami oleh massa. Sebuah grafiti atau spanduk yang viral bisa lebih powerful daripada artikel opini 1000 kata.
•Pembentukan Identitas Kolektif: Meme dan slogan yang sama muncul di Jakarta, Kathmandu, dan Paris. Ini menciptakan perasaan solidaritas transnasional yang kuat. Seorang aktivis di Sydney merasa terhubung dengan rekannya di Napoli karena mereka menggunakan simbol dan bahasa yang sama untuk melawan “musuh” yang sama: elit yang korup.
•Pelemahan Oposisi: Mereka menggunakan humor dan sarkasme untuk mengejek penguasa dan aparat, meruntuhkan wibawa dan otoritas mereka melalui olok-olok yang viral. Ini adalah bentuk perlawanan psikologis yang sangat efektif.
3. Global Consciousness dan Solidaritas Bawah Tanah
Gen Z adalah generasi yang paling terpapar dengan isu global sejak dini.
•Borderless Solidarity: Mereka melihat ketidakadilan di negara sendiri bukan sebagai peristiwa lokal, tetapi sebagai bagian dari pola global ketimpangan dan kekuasaan yang korup.
Oleh karena itu, ketika mereka melihat demonstran di Nepal dilukai dengan cara yang sama seperti di Indonesia, itu memicu respons solidaritas yang langsung dan personal.
•Penerjemah dan Jembatan Budaya: Banyak Gen Z yang fasih berbahasa Inggris dan aktif di platform global. Mereka menjadi “jembatan” yang menerjemahkan dan menyebarkan narasi protes dari negara mereka ke khalayak internasional, memastikan suara mereka didengar di panggung dunia.
4. Tactical Innovation di Lapangan
Gerakan yang dipimpin Gen Z sering kali lebih kreatif dan tidak terduga.
•Fluid Tactics: Mereka tidak terikat pada struktur organisasi yang kaku seperti serikat pekerja atau partai politik tradisional. Hierarkinya datar, keputusannya cepat, dan taktiknya berubah-ubah, menyulitkan aparat keamanan untuk mengantisipasi.
•Use of Art and Performance: Demo mereka sering diselingi dengan performance art, musik, dan instalasi seni yang powerful dan mudah dibagikan secara digital. Ini menarik perhatian media dan menyampaikan pesan dengan cara yang unik.
•Focus on Documentation: Mereka dengan sadar mendokumentasikan segala sesuatu—mulai dari pidato, aksi aparat, hingga pelanggaran HAM—sebagai bukti untuk melawan disinformasi dari pemerintah.
Keterbatasan dan Tantangan yang Dihadapi Gen Z
Meski powerful, kepemimpinan Gen Z dalam gerakan sosial memiliki kelemahan:
1.Decentralization vs. Sustainability: Struktur yang terdesentralisasi dan tanpa pemimpin yang jelas bagus untuk menghindari represi, tetapi sulit untuk menegosiasikan tuntutan atau mempertahankan momentum dalam jangka panjang. Gerakan bisa mudah pecah atau kehilangan arah.
2.The Attention Economy: Gerakan yang bergantung pada viralitas bisa mudah kehilangan momentum ketika algoritma berubah atau isu baru muncul. Mempertahankan perhatian publik adalah tantangan konstan.
3.Burnout Digital: Terus-menerus terpapar informasi traumatis dan berperang di dunia maya dapat menyebabkan kelelahan mental dan kecemasan yang parah di antara aktivis.
Kesimpulan: Seberapa Besar Perannya?
Sangat besar, bahkan dominan.
Dalam skenario hipotetis ini, Gen Z berperan sebagai:
•The Spark (Pemicu): Merekam dan menyebarkan insiden yang menjadi pemicu demo.
•The Megaphone (Pengeras Suara): Memperkuat dan menyebarkan narasi protes hingga menjadi global.
•The Connector (Penghubung): Menjalin solidaritas antarnegara melalui bahasa digital yang mereka kuasai.
•The Innovator (Inovator): Menciptakan taktik dan bentuk protes baru yang relevan dengan zaman.
Ditakuti Penguasa
Mereka adalah generasi yang mampu mengubah ketidakpuasan lokal menjadi gerakan global yang terhubung. Namun, untuk mentransformasikan gelombang protes yang viral ini menjadi perubahan kebijakan yang nyata dan berkelanjutan, mereka sering kali masih perlu berkolaborasi dengan elemen tradisional seperti serikat pekerja, LSM yang mapan, dan politisi di dalam sistem.
Energi mereka ada di mobilisasi massa dan narasi, sedangkan peran mitra strategis ada di negosiasi dan institusi. Sinergi inilah yang paling ditakuti oleh para penguasa.(***)