Oleh: Fulad, S.Sos., M.Si*)
(Mahasiswa S3 Fakultas Pertanian Unsoed)
Pendahuluan
MENJELANG tahun 2030, Indonesia berada di persimpangan jalan yang kritis dalam urusan ketahanan pangan. Dengan populasi keempat terbesar di dunia serta kekayaan biodiversitas yang melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan pangan global. Namun di saat bersamaan, tantangan struktural yang kompleks juga mengadang. Artikel ini menganalisis posisi Indonesia dalam peta ketahanan pangan global menuju 2030.
Tantangan Besar yang Menghadang
1. Tekanan Demografis dan Perubahan Pola Konsumsi
Pada 2030, populasi Indonesia diproyeksikan mencapai 295 juta jiwa. Kebutuhan pangan tidak hanya meningkat secara kuantitas, tetapi juga berubah secara kualitas. Meningkatnya kelas menengah mendorong pergeseran pola konsumsi dari karbohidrat sederhana menuju protein hewani, buah, dan sayuran. Permintaan beras mungkin stabil, namun permintaan terhadap daging, telur, susu, serta produk hortikultura akan melonjak tajam.
2. Ancaman Perubahan Iklim
Sebagai negara kepulauan tropis, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Pola musim yang tidak menentu, kenaikan muka air laut, serta meningkatnya frekuensi bencana hidrometeorologi mengancam produktivitas pertanian. Lumbung pangan utama seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi kini semakin rentan terhadap kekeringan maupun banjir.
3. Konversi Lahan Pertanian
Alih fungsi lahan pertanian subur, terutama di Pulau Jawa, menjadi kawasan industri dan permukiman terus berlangsung dalam laju yang mengkhawatirkan. Data FAO mencatat Indonesia kehilangan rata-rata 100.000 hektare lahan pertanian setiap tahun. Jika tren ini berlanjut tanpa kebijakan efektif, tekanan terhadap ketersediaan pangan akan semakin besar pada 2030.
4. Ketergantungan Impor Strategis
Meski kaya sumber daya, Indonesia masih bergantung pada impor untuk komoditas kunci seperti gandum, bawang putih, dan daging sapi. Kondisi ini membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga global dan gangguan rantai pasok, sebagaimana terlihat saat krisis pandemi COVID-19 serta konflik Ukraina–Rusia.
Peluang dan Strategi Menuju 2030
1. Memanfaatkan Bonus Demografi Digital
Populasi muda Indonesia yang melek teknologi menjadi modal penting. Pertanian 4.0 dengan penerapan Internet of Things (IoT), drone, sensor tanah, dan analitik data berpotensi mengoptimalkan penggunaan pupuk dan air, meningkatkan produktivitas, serta mengurangi limbah. Startup agritech seperti TaniHub dan Eratani telah menunjukkan potensi besar dalam menghubungkan petani langsung dengan pasar.
2. Diversifikasi Pangan Lokal
Ketergantungan berlebihan pada beras tidak lagi berkelanjutan. Menuju 2030, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal seperti sagu, singkong, jagung, dan umbi-umbian harus menjadi prioritas nasional. Langkah ini dapat mengurangi impor beras sekaligus membuka peluang ekonomi baru di wilayah luar Jawa.
3. Pengembangan Lumbung Pangan di Luar Jawa
Pemerintah perlu mempercepat pengembangan food estate di Kalimantan Tengah, Papua, dan Sumatera sebagai solusi atas menyusutnya lahan di Jawa. Namun pendekatan yang ditempuh harus berbasis kajian ekologis yang matang dan selaras dengan kearifan lokal, bukan sekadar ekspansi lahan.
4. Penguatan Rantai Pasok dan Pengurangan Food Waste
Menurut Bappenas (2021), Indonesia membuang 23–48 juta ton makanan setiap tahun. Perbaikan infrastruktur logistik seperti penyimpanan dingin, transportasi efisien, dan pengembangan industri pengolahan pangan dapat meningkatkan ketersediaan pangan tanpa menambah luas lahan tanam.
5. Kebijakan Berbasis Data dan Kolaborasi
Menghadapi 2030, kebijakan pangan tidak bisa lagi bersifat reaktif dan sektoral. Diperlukan pendekatan integratif melibatkan Kementerian Pertanian, Perdagangan, Perindustrian, Lingkungan Hidup, dan Keuangan. Pembangunan sistem data pangan nasional yang real-time dan transparan menjadi kunci dalam perencanaan yang akurat serta pencegahan spekulasi.
Skenario Menuju 2030: Optimis dengan Kewaspadaan
Skenario Terbaik: Indonesia berhasil mendorong kemandirian pangan berbasis teknologi dan diversifikasi. Inovasi pertanian presisi dan penguatan rantai pasok meningkatkan produktivitas, menjadikan Indonesia eksportir pangan olahan serta komoditas tropis yang diperhitungkan dunia.
Skenario Sedang: Indonesia mampu menjaga stabilitas pangan pokok, namun tetap bergantung pada impor untuk komoditas tertentu. Gejolak harga global masih terjadi, tetapi dapat dikelola dengan cadangan pangan pemerintah dan intervensi pasar yang tepat.
Skenario Terburuk: Perubahan iklim, alih fungsi lahan, serta kebijakan yang tidak efektif membuat Indonesia kian rentan terhadap krisis pangan. Ketergantungan impor meningkat, harga pangan melonjak, dan risiko gejolak sosial semakin besar.
Kesimpulan
Ketahanan pangan menuju 2030 bukan hanya soal perut, tetapi juga terkait kedaulatan bangsa, stabilitas ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan. Indonesia memiliki modal besar berupa lahan, air, sinar matahari, serta sumber daya manusia.
Tantangannya adalah memobilisasi semua potensi itu dengan tata kelola yang baik, kebijakan visioner, serta kolaborasi antara pemerintah, swasta, akademisi, dan petani sebagai ujung tombak.
Tahun 2030 hanya enam tahun lagi. Waktu untuk bertindak dengan strategi yang terukur, berani, dan inklusif adalah sekarang.(***).
*)Artikel ini disusun berdasarkan analisis data dari FAO, World Bank, Bappenas, dan Kementerian Pertanian Republik Indonesia.