Oleh: Ākhmad Fauzi, S.S., S.Pd.
Guru SMP Negeri 2 Kutasari, Kabupaten Purbalingga
BELUM lama ini penulis menonton satu suguhan film menarik yang memang ditawarkan kepada para pelajar atau meminjam istilah Renald Kasali, yang disebut digital natives yaitu sebagai generasi yang cepat tahu dan serba tahu digitalisasi namun rapuh etika. Film yang berjudul Cyberbullying ini disutradarai oleh Armando Lauli yang mengisahkan Neira, siswi teladan yang terpuruk akibat video konfrontasi yang viral di media sosial. Film ini berhasil menyoroti dampak negatif cyberbullying terhadap mental remaja dan menekankan pentingnya peran keluarga serta lingkungan dalam pemulihan korban. Hadirnya film ini nampaknya memang bertujuan menjadi jembatan komunikasi antara anak-anak, orang tua, dan guru mengenai isu digital saat ini.
Tentunya kita masih ingat suasana keresahan dalam menghadapi pembelajaran di masa pandemi lima tahun lalu dan hampir seluruh kekuatan belajar kita didominasi pada penggunaan gadget digital (HP).
Di dunia pendidikan, Belajar Dari Rumah (BDR) atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) bahkan melahirkan pameo: “Dulu ke sekolah dilarang membawa HP, kini malah belajar dari HP.” Inilah masa di mana layar laptop/telepon pintar menjadi media yang “digugu dan ditiru.”
Sayangnya, media digital juga ibarat rimba belantara yang asing. Berbekal literasi digital seadanya, banyak pengguna internet justru memanfaatkan ruang interaksi secara daring sebagai arena melakukan perundungan, pelecehan, dan ujaran kebencian. Jagat netizen Indonesia bahkan dihebohkan oleh ranking Indonesia yang dianggap paling tidak santun dalam berinteraksi di dunia maya dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara berdasarkan hasil Digital Civility Index (DCI) (Kompas.com).
Indonesia berada di angka 76 (naik 8 poin dari sebelumnya), di mana semakin tinggi angkanya, tingkat kesantunan semakin buruk. Perundungan, pelecehan, kabar bohong, dan ujaran kebencian adalah aspek-aspek yang kian meningkat (Digital Civility Indeks).
Krisis kesantunan dalam pemanfaatan media daring makin krusial ketika pemanfaatan internet dalam pembelajaran meningkat drastis. Guru dan pelajar kian sering terpapar informasi dan melakukan komunikasi melalui media daring, sehingga potensi mengalami terpaan krisis kesantunan juga kian tinggi.
Oleh karena itu, literasi digital menjadi isu penting dalam dunia pendidikan agar pemanfaatan media digital tidak memicu persoalan baru, khususnya kesantunan dalam berselancar di dunia maya.
Krisis kesantunan digital bukan muncul tiba-tiba. Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi, terutama di kalangan pelajar: Pertama, Kurangnya Empati dalam Interaksi Daring.
Di dunia nyata, kita melihat ekspresi wajah dan bahasa tubuh lawan bicara, yang secara otomatis memicu empati. Namun, dalam komunikasi daring, isyarat-isyarat nonverbal ini hilang. Akibatnya, pelajar cenderung lebih mudah melontarkan kata-kata yang menyakitkan tanpa memahami dampak emosionalnya. Komentar atau emoji sarkastik yang dikirimkan seringkali tidak dipahami konteksnya, sehingga memicu konflik.
Kedua, Anonimitas dan Pseudonim. Fitur anonimitas di internet memberikan rasa aman palsu bagi pengguna. Seseorang merasa tidak perlu bertanggung jawab atas perkataannya karena identitas aslinya tidak diketahui. Hal ini sering dimanfaatkan untuk melakukan perundungan siber (cyberbullying) dan menyebarkan kebencian. Bagi pelajar, fenomena ini bisa menjadi sangat merusak, di mana mereka menjadi korban atau pelaku tanpa ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
Ketiga, Banjir Informasi dan Kurangnya Verifikasi. Dengan mudahnya informasi menyebar, pelajar sering kali terpapar berita bohong (hoax) atau informasi yang tidak akurat. Tanpa kemampuan literasi digital yang memadai untuk memverifikasi sumber, mereka bisa terperangkap dalam lingkaran disinformasi. Ini tidak hanya merusak pola pikir kritis, tetapi juga memicu konflik dan permusuhan di dunia maya.
Krisis kesantunan saat ini memiliki dampak yang nyata dan serius, seperti dampak Psikologis. Korban perundungan siber, ujaran kebencian, atau pelecehan dapat mengalami depresi, kecemasan, bahkan trauma. Ruang daring, yang seharusnya menjadi tempat belajar dan berinteraksi, berubah menjadi tempat yang menakutkan. Dampak kedua Merusak Hubungan Sosial. Konflik yang terjadi di dunia maya seringkali terbawa ke dunia nyata, merusak persahabatan, hubungan di sekolah, dan memicu polarisasi antar kelompok pelajar.
Ketiga, Menghambat Proses Pembelajaran. Lingkungan belajar yang tidak aman secara digital akan menghambat partisipasi siswa. Mereka mungkin takut mengutarakan pendapat, mengajukan pertanyaan, atau berkolaborasi karena khawatir akan menjadi sasaran ejekan atau perundungan.
Terakhir, Menciptakan Generasi Tanpa Etika Digital. Tanpa edukasi yang tepat, pelajar akan tumbuh dengan pandangan bahwa perilaku tidak santun di dunia digital adalah hal yang wajar. Ini akan menjadi masalah besar ketika mereka memasuki dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat yang lebih luas.
Untuk menjawab krisis kesantunan ini, diperlukan langkah-langkah konkret yang tidak hanya teoritis, tetapi juga mudah dipahami dan diterapkan oleh pelajar. Solusi ini harus melibatkan sekolah, guru, dan yang terpenting, kesadaran diri pelajar itu sendiri.
1. Tanamkan Prinsip “Think Before You Type”
Slogan ini harus menjadi pedoman utama setiap pelajar. Sebelum mengetik atau membagikan sesuatu, ajukan pertanyaan-pertanyaan berikut pada diri sendiri: Apakah ini benar? (Verifikasi informasi sebelum disebarkan), Apakah ini bermanfaat? (Apakah tulisan/komentar saya memberikan nilai positif?)
Kemudian apakah ini menyakitkan? (Apakah ada kemungkinan orang lain tersinggung?). Apakah saya berani mengatakannya secara langsung? (Jika tidak, mungkin sebaiknya jangan diketik). Prinsip ini membantu pelajar untuk lebih bertanggung jawab dan empati dalam setiap interaksi daring mereka.
2. Kuasai Etika Komunikasi Digital (Netiquette)
Pelajar harus dibekali pemahaman dasar tentang etika berkomunikasi di media digital. Ini mencakup hal-hal sederhana namun penting, seperti,
1) Gunakan Bahasa yang Sopan: Hindari kata-kata kasar atau menyinggung, bahkan saat berdiskusi di grup kelas.
2) Hormati Privasi Orang Lain: Jangan menyebarkan informasi pribadi atau foto teman tanpa izin.
3) Bijak dalam Berkomentar: Berikan kritik yang membangun, bukan yang merendahkan. Ingat, ada manusia di balik layar.
4) Gunakan Emoji dan Huruf Kapital dengan Tepat: Emoji bisa membantu menyampaikan nada, tetapi jangan berlebihan. Penggunaan huruf kapital secara berlebihan sering dianggap sebagai teriakan.
Daripada sekadar menjadi konsumen, pelajar perlu didorong untuk menjadi kreator konten positif. Ini bisa dimulai dari hal-hal kecil, diantaranya;
a) Membuat Konten Edukatif: Pelajar bisa membuat video pendek, infografis, atau blog tentang materi pelajaran yang mereka sukai.
b) Berpartisipasi dalam Diskusi yang Konstruktif: Bergabung dengan forum atau grup daring yang berfokus pada hobi atau minat positif, seperti menulis, desain grafis, atau coding.Membangun Komunitas Belajar: Menggunakan platform daring untuk membentuk kelompok belajar yang saling mendukung, bukan saling merundung.
Krisis kesantunan digital adalah tantangan nyata yang harus kita hadapi. Media digital memang telah mengubah cara kita belajar dan berinteraksi. Namun, dengan edukasi yang tepat dan kesadaran diri, pelajar bisa tumbuh menjadi warga digital yang tidak hanya cerdas, tetapi juga santun.
Layar laptop atau telepon pintar tidak hanya menjadi alat belajar, tetapi juga cerminan dari kemanusiaan kita. Marilah kita isi ruang digital dengan empati, rasa hormat, dan kolaborasi, sehingga kita dapat membangun generasi yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. (*)
Daftar Pustaka
Sugiyanto. (2009). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: UNNES Press. (Sumber untuk kutipan profesi guru)
Kompas.com. (2020, Februari). Indonesia Masuk Daftar Netizen Paling Tidak Sopan Se-Asia Tenggara. (Sumber berita pendukung DCI)
Wibawanto, H. (2018). Literasi Digital dan Etika Media Sosial. Jakarta: Elex Media Komputindo.
