Oleh: Mayjen TNI (Purn) Fulad S.Sos,M.Si
( Mahasiswa S3 Fakultas Pertanian Unsoed )
PENGAKUAN Palestina di PBB bukanlah titik akhir, melainkan pembukaan babak baru diplomasi yang lebih setara. Keberhasilannya tergantung pada kemampuan para pihak untuk mentransformasi kemenangan hukum ini menjadi strategi politik yang konkret, inklusif, dan realistis.
1.Strategi Konstruktif Pasca-Pengakuan: Dari Simbol ke Aksi
Pengakuan ini harus menjadi alat, bukan tujuan. Berikut adalah pemanfaatan konstruktif yang dapat dilakukan Otoritas Palestina dan pendukungnya:
2.Peluang untuk Dinamika Israel-Palestina yang Baru
Daripada melihatnya sebagai jalan buntu, pengakuan ini dapat memicu reset dinamika yang lebih realistis.
a. Menggeser Goalpost Negosiasi: Status akhir Palestina sebagai sebuah negara kini menjadi titik awal, bukan hasil akhir perundingan. Agenda negosiasi dapat beralih dari “apakah ada negara Palestina?” menjadi “bagaimana hubungan antara Negara Israel dan Negara Palestina akan diatur?” Isu-isunya menjadi lebih teknis dan kurang ideologis: keamanan perbatasan, pembagian sumber daya air, dan hubungan ekonomi.
b. Memberdayakan Pihak Pro-Damai di Israel: Narasi “tidak ada partner untuk damai” di Israel semakin sulit dipertahankan ketika partner tersebut diakui oleh mayoritas dunia. Ini dapat memperkuat suara-suara dalam masyarakat Israel yang menyadari bahwa status quo berbahaya bagi masa depan Israel sendiri dan mendorong solusi berbasis dua negara.
c. Model Interim yang Realistis: Sebagai langkah transisi, dapat dikembangkan model “Kedaulatan Tertunda” (Sovereignty in Waiting). Palestina memiliki keanggotaan penuh di PBB, sementara otoritas keamanan sementara (yang mungkin melibatkan pihak ketiga yang disepakati) secara bertahap mengambil alih kendali di Area Tepi Barat, dengan koordinasi yang jelas dengan Israel.
3.Integrasi Hamas: Menuju Model Inklusi Politik yang Realistis
Mengintegrasikan Hamas bukan tentang “apakah”, tapi “bagaimana”. Pendekatan konstruktifnya adalah transformasi bertahap.
Skenario Viable: Dari Milisi ke Partai Politik
a.Gencatan Senjata Jangka Panjang : Diawali dengan gencatan senjata yang difasilitasi internasional (Mesir, Qatar) yang dapat dipertahankan. Ini membangun kepercayaan dan mengurangi tensi.
b. Rekonsiliasi Administratif: Hamas dan Fatah membentuk pemerintahan persatuan teknis yang fokus pada hal-hal non-politik dan mendesak: rekonstruksi Gaza, pelayanan kesehatan, dan persiapan pemilu. Hamas tidak memegang portofolio luar negeri atau keamanan pada tahap ini.
c. Transformasi melalui Pemilu: Hamas didorong untuk bertransformasi menjadi partai politik dalam sistem Palestina, mengikuti jalur politik alih-alih militer. Proses ini membutuhkan insentif dari pihak internasional, seperti pencabutan blokade Gaza jika stabilitas terjaga.
d. Penjaga Keamanan yang Disepakati: Tentara/polisi nasional Palestina yang baru nantinya harus dibentuk dari integrasi personel yang lolos verifikasi dan dilatih ulang, dengan prinsip loyalitas kepada negara, bukan kepada partai atau milisi.
Keuntungan:
1. Bagi Palestina: Mengakhiri perpecahan yang melemahkan dan menyajikan front yang united dalam diplomasi.
2. Bagi Israel: Berhadapan dengan satu otoritas yang terstruktur dan dapat dimintai pertanggungjawaban, yang lebih mudah dikelola daripada konflik dengan kelompok non-negara seperti Hamas.
3. Bagi Internasional: Memberikan kerangka yang jelas untuk ber-engagement dengan Palestina yang utuh.
Kesimpulan Konstruktif: Prinsip-Prinsip untuk Kemajuan
1.From Recognition to Institution-Building: Pengakuan harus diikuti dengan pembangunan institusi yang kredibel di Palestina.
2.Incrementalism (Peningkatan Bertahap): Solusi “big bang” mustahil. Perlu pendekatan bertahap yang membangun kepercayaan, dimulai dari isu-isu teknis seperti ekonomi Gaza dan konektivitas Tepi Barat.
3.Inclusive Regional Approach: Solusi yang lestari membutuhkan kerangka regional yang melibatkan negara-negara Arab kunci (seperti Arab Saudi melalui Inisiatif Perdamaian Arab) untuk memberikan jaminan keamanan bagi Israel dan dukungan bagi Palestina.
4.Reframing the Narrative: Mengubah narasi dari “konflik yang tidak terselesaikan” menjadi “proses menuju pengakuan bersama dan koeksistensi dua negara”.
Dengan kata kunci transformasi, inklusi, dan pendekatan bertahap, kemenangan diplomatik di PBB dapat menjadi katalis untuk dinamika baru yang lebih menjanjikan, meskipun tetap penuh dengan tantangan yang besar. (***)
