Oleh: Dr Drajat, S.Pd, MM
Doktor Ilmu Pendidikan
Guru SMP Negeri 1 Cangkuang
Kabupaten Bandung
Jawa-Barat
TIGA puluh tahun penulis mengajar. Satu generasi penulis lewati. Penulis menyaksikan wajah-wajah kecil yang datang dengan langkah ragu di hari pertama sekolah, lalu berubah menjadi pribadi tangguh yang siap menatap masa depan. Dan dari ribuan langkah yang pernah melewati gerbang sekolah, penulis belajar satu hal penting: sekolah bukan sekadar tempat menimba ilmu. Sekolah adalah tempat menata harapan. Sekolah adalah masa depan itu sendiri.
Penulis masih ingat betul, suatu pagi seorang anak berdiri lama di depan gerbang sekolah. Matanya menyapu halaman yang masih sepi, tangannya menggenggam erat tas usangnya. Penulis hampiri, penulis ajak masuk, dan ia hanya berkata, “Sya malu, Pak, saya tidak punya sepatu bagus seperti teman-teman!”
Penulis tidak menjawab dengan nasihat panjang. Penulis hanya menuntunnya masuk, duduk bersamanya, dan membacakan sebuah cerita. Pagi itu, kami tertawa bersama. Hari itu, ia mulai nyaman. Minggu itu, ia mulai percaya diri. Tahun itu,ia menjadi siswa berprestasi
Sekolah punya kuasa untuk mengubah. Sekolah bisa menjadi tempat paling awal dan paling penting untuk menumbuhkan keberanian, harapan, dan mimpi. Tapi pertanyaannya: sudahkah sekolah kita menjadi rumah yang ramah bagi masa depan peserta didik?
Seringkali kita terjebak pada definisi sekolah sebagai bangunan: ada ruang kelas, lapangan, laboratorium, dan pagar. Padahal sejatinya, sekolah adalah suasana. Sekolah adalah tempat yang menumbuhkan rasa ingin tahu, keberanian bertanya, kemampuan menyampaikan pendapat, dan kegigihan menghadapi tantangan.
Sekolah yang baik bukan hanya yang punya fasilitas lengkap, tetapi sekolah yang mampu membangun relasi, membentuk karakter, dan merawat semangat belajar. Sayangnya, tak semua sekolah memahami makna ini. Banyak sekolah terlalu fokus pada aspek formal: absen, nilai, seragam, ujian, administrasi. Padahal, anak-anak datang dengan kebutuhan emosional, sosial, dan psikologis yang tidak kalah penting dari sekadar hafalan rumus atau definisi.
Setiap peserta didik yang datang ke sekolah membawa latar belakangnya sendiri. Ada yang datang dari keluarga utuh, ada yang datang dengan luka batin. Ada yang datang dengan semangat, ada yang datang karena dipaksa. Ada yang datang membawa mimpi, ada juga yang datang karena tidak punya pilihan. Sekolah harus menjadi tempat yang menyambut semua itu. Guru bukan hakim, tapi pembimbing. Kepala sekolah bukan pengawas, tapi pemimpin yang melayani. Dan teman-teman sekelas bukan pesaing, tapi mitra bertumbuh.
Saat peserta didik merasa diterima, disambut, dan tidak dihakimi, maka proses belajar akan mengalir. Di sinilah sekolah harus menciptakan iklim yang sehat: aman secara psikologis, adil secara perlakuan, dan hangat secara relasi.
Sekolah masa depan bukan sekolah yang hanya mempersiapkan anak untuk menjawab soal ujian. Sekolah masa depan adalah sekolah yang membuat anak berani bertanya, berani mencari, berani mencoba, dan berani gagal.
Kita tidak tahu seperti apa dunia lima atau sepuluh tahun ke depan. Banyak pekerjaan hari ini belum tentu ada di masa depan. Maka keterampilan yang paling dibutuhkan peserta didik bukan hanya menguasai materi pelajaran, tetapi memiliki: Rasa ingin tahu yang besar, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan komunikasi dan kolaborasi, serta ketangguhan mental menghadapi tantangan Dan semua itu hanya bisa ditumbuhkan di sekolah yang hidup. Sekolah yang menjadikan ruang kelas sebagai ruang eksplorasi, bukan ruang penghakiman.
Penulis selalu percaya bahwa guru adalah aktor paling strategis dalam pendidikan. Tidak ada teknologi, kurikulum, atau perangkat ajar yang bisa menggantikan sentuhan seorang guru yang inspiratif. Guru bukan hanya penyampai materi, tetapi penggerak mimpi. Guru yang baik akan melihat potensi dalam diri setiap peserta didik—bahkan ketika anak itu sendiri belum melihatnya. Guru yang hebat bukan hanya yang menguasai konten, tapi yang mampu menyentuh hati, membangkitkan semangat, dan menumbuhkan daya juang.
Bagaimana agar sekolah menjadi sumber inspirasi peserta didik? Penulis percaya, jawabannya ada pada pengelolaan sekolah yang berjiwa, berdaya, dan berbudaya. Berikut beberapa prinsip yang penulis yakini dapat menjadikan sekolah sebagai pusat masa depan peserta didik: Pertama, sekolah ramah dari hari pertama. Setiap awal tahun ajaran, sambut peserta didik baru dengan cara yang manusiawi, bukan birokratis. Kenalkan budaya sekolah lewat pendekatan yang menyenangkan: perkenalan dengan guru secara informal, kegiatan literasi bersama, permainan kolaboratif, dan orientasi yang menanamkan nilai, bukan hanya peraturan.
Kedua, sekolah yang membangun ekosistem belajar. Sekolah harus menjadi tempat belajar bukan hanya bagi siswa, tapi juga guru, tenaga kependidikan, bahkan orang tua. Ekosistem ini menciptakan budaya belajar sepanjang hayat. Workshop guru, kelas parenting, komunitas belajar siswa—semua bisa tumbuh di lingkungan sekolah yang visioner.
Ketiga, sekolah yang peka terhadap perbedaan. Setiap peserta didik itu unik. Maka sekolah harus adaptif dan inklusif. Jangan samakan ukuran sepatu bagi semua kaki. Berikan ruang bagi peserta didik untuk berkembang sesuai potensi dan minatnya masing-masing.
Keempat, sekolah yang menghargai proses, bukan hanya hasil. Kita terlalu lama hidup dalam sistem yang mengejar nilai. Padahal proses belajar jauh lebih penting. Sekolah harus memberikan penghargaan pada usaha, ketekunan, kejujuran, dan semangat pantang menyerah.
Kelima, sekolah yang hidup: penuh warna dan kegiatan. Kegiatan ekstrakurikuler, klub minat, festival literasi, pentas seni, pameran karya—semua ini menjadikan sekolah tempat yang menggairahkan. Di sinilah bakat terasah dan karakter terbentuk.
Keenam, sekolah yang terbuka dan terhubung. Sekolah jangan jadi menara gading. Sekolah harus terbuka terhadap kolaborasi dengan dunia luar: dunia industri, komunitas, alumni, kampus, dan pihak lain yang bisa memberi warna dan inspirasi bagi peserta didik.
Kita boleh punya gedung sekolah yang mewah, tetapi jika relasi di dalamnya dingin, maka ia akan hampa. Sebaliknya, kita mungkin punya sekolah sederhana, tapi jika jiwanya hangat, maka ia akan menjadi tempat paling membahagiakan.
Penulis ingin mengajak kita semua—para guru, kepala sekolah, pengelola pendidikan, hingga orang tua—untuk bersama-sama menjawab pertanyaan ini: Apakah sekolah kita sudah menjadi tempat di mana anak-anak ingin datang, bukan hanya karena harus datang?
Mari kita bangun sekolah yang menjadi sumber inspirasi. Sekolah yang menyala karena penuh cinta. Sekolah yang mengantar anak-anak kita bukan hanya pada kelulusan, tapi pada kehidupan. Karena pada akhirnya, sekolah bukan hanya tempat mereka belajar. Sekolah adalah tempat mereka menanam masa depan. Dan penulis percaya, bila sekolah hidup, maka bangsa ini akan tumbuh. Sekolahku, masa depanku.(*)