*Juara 1 Nasional Ajang YCWC 2025
Angger Gagat Rahino (16) /nomer tiga dari kiri memegang penghargaan dan piala, saat pengumuman pemenang lomba coding tingkat nasional. Foto: dokumentasi SLB ABCD Donoharjo, Ngaglik, Sleman.
YOGYAKARTA, EDUKATOR–Angger Gagat Rahino (16), pelajar Tuli Sekolah Luar Biasa (SLB) ABCD Tunas Kasih Donoharjo, Ngaglik, Sleman. Ia meraih Juara 1 Nasional, dalam ajang National Exhibition Young Coder World Cup (YCWC) 2025. Prestasi yang dia raih, adalah pengingat penting, bahwa anak Tuli bukan kekurangan potensi, melainkan sering kekurangan akses.
Diselenggarakan Timedoors Academy, kompetisi telah berlangsung di Gedung Film Nasional Indonesia, Jakarta Selatan, Minggu (14/12). Sebuah kompetisi yang menantang peserta untuk mempresentasikan proyek digital berbasis pengembangan, mendemonstrasikan game yang dibuat, serta menjawab pertanyaan dewan juri.
Proses yang menuntut bukan hanya kemampuan teknis, namun juga keberanian berkomunikasi, kepercayaan diri, dan dukungan lingkungan. Hal-hal yang kerap menjadi tantangan, bagi pelajar Tuli dalam sistem pendidikan yang belum sepenuhnya inklusif.
Keberhasilan Angger bukanlah keajaiban individual, melainkan hasil dari pendampingan yang konsisten dan kolaboratif. Sekolah memberikan dukungan penuh sejak proses pembuatan game, hingga kesiapan tampil di tingkat nasional. Guru tidak hanya hadir sebagai pengajar, tetapi sebagai pendamping yang memahami kebutuhan belajar anak Tuli, baik secara teknis maupun emosional.
Di sisi lain, keluarga mengambil peran strategis dengan membangun pendekatan yang menguatkan mental anak, menyediakan sarana pendukung, serta berkoordinasi dengan sekolah agar arah pembinaan berjalan selaras. Pola ini menunjukkan bahwa prestasi anak difabel tumbuh subur, ketika ekosistemnya bekerja bersama.
Sang ayah, sarjiman SP. Ia mengisahkan, bahwa salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Angger adalah rasa grogi dan kurang percaya diri. Terutama saat sesi tanya jawab dengan dewan juri. “Pengalaman pertama mempelajari coding dan tampil di lomba nasional menjadi tekanan tersendiri,” terang sang ayah, Selasa (16/12/2025).
Namun, tantangan ini justru menyingkap persoalan yang lebih luas. Banyak anak Tuli belum terbiasa berada di ruang-ruang publik yang memberi mereka kesempatan bicara, didengar, dan dihargai. Ketika kesempatan itu hadir, dukungan yang sensitif terhadap kebutuhan komunikasi, menjadi penentu apakah anak akan tumbuh atau justru tertekan.
Media Ekspresi
Bagi Angger, coding dan pengembangan game bukan semata keterampilan teknis, melainkan media ekspresi. Melalui karya digital, ia menuangkan ide, imajinasi, dan cara pandangnya terhadap dunia, tanpa harus selalu bergantung pada bahasa verbal.
Inilah mengapa akses terhadap teknologi digital perlu dilihat sebagai bagian dari hak pendidikan inklusif, bukan sekadar program tambahan. Teknologi membuka ruang baru bagi anak Tuli untuk berpartisipasi, berkompetisi, dan diakui secara setara.
Capaian Angger seharusnya tidak berhenti sebagai cerita inspiratif semata. Ia perlu dibaca sebagai kritik sekaligus ajakan. Bahwa sistem pendidikan dan ekosistem teknologi di Indonesia masih harus bekerja lebih keras, untuk menyediakan akses yang ramah bagi pelajar difabel.
Kilas Balik
Kedua orang tua Angger mengaku sempat tak percaya anaknya bisa sampai pada titik ini. Menjadi Juara I kompetisi coding. Kegemaran Angger bermain game sejak kecil, bahkan pernah menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Sarjiman dan Iwis. Namun, seiring waktu, kekhawatiran itu berubah menjadi kebanggaan.
Sebagai anak semata wayang, Angger dikenal memiliki pendirian yang kuat. Ketika menginginkan sesuatu, mainan atau barang apa pun, ia kerap bersikeras untuk mendapatkannya saat itu juga. Iwis mengenang salah satu momen yang masih melekat hingga kini. “Dulu saya pernah meninggalkan jam tangan di toko karena uang saya kurang. Saat itu Angger bersikeras membeli sepatu yang ia inginkan,” tuturnya.
Bagi kedua orang tua Angger, prestasi ini menjadi titik balik penting dalam perjalanan keluarga mereka. “Semoga capaian Angger menjadi pengingat bagi kami untuk semakin menghargai apa pun yang ia lakukan,” ujar keduanya. Mereka berkomitmen membangun komunikasi dan diskusi yang lebih terbuka. “Kami yang mengarahkan, Angger yang mengeksekusi dengan bahagia,” pungkas mereka.
Prasyarat Keadilan
Ketika anak Tuli diberi ruang, pendampingan, dan kepercayaan, prestasi nasional bukanlah batas tertinggi, melainkan titik awal.
Sebagaimana yang disampaikan Sarjiman, tugas orang tua dan lingkungan adalah membuka jalan, mengarahkan, dan mendoakan. Sementara anak diberi kebebasan menemukan jati dirinya sendiri.
Prestasi Angger Gagat Rahino menegaskan satu hal penting. Inklusi bukan belas kasihan, melainkan prasyarat keadilan. (Harta Nining Wijaya)