*Dr. Ronny Tekankan Strategi Bertahan Media Lokal di Era DisrupsiDr Ronny Sugiantoro (kanan) saat tampil sebagai narasumber . (Foto: Budi Yuswinanto/EDUKATOR)
YOGYAKARTA, EDUKATOR – Di tengah gempuran media sosial dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence(AI), masa depan jurnalisme lokal kembali dipertanyakan. Namun bagi Dr. Ronny Sugiantoro, MM CHE, kunci ketahanan media lokal justru terletak pada kekuatan komunitas dan keberanian membangun identitas yang kuat.
“Jangan hanya menjadi penyalur informasi. Media lokal harus menjadi rumah bagi komunitasnya,” tegas Ronny Sugiantoro, wartawan senior di Jogja yang kini menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dalam Capacity Building wartawan se-Banyumas Raya bersama Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Purwokerto di Yogyakarta, Senin (28/7/2025).
Acara ini diikuti puluhan jurnalis dari berbagai platform media di wilayah Banyumas Raya, termasuk wartawan muda dan pemimpin redaksi.
Dalam sesi bertajuk “Jurnalisme Lokal: Strategi Bertahan”, Ronny membuka diskusi dengan meninjau sejarah evolusi alat kerja wartawan: dari mesin stensil dan mesin ketik, disket dan CD, hingga era digital berbasis media sosial dan kecerdasan buatan. Ia menyebut bahwa kemajuan teknologi telah membawa dampak ganda: efisiensi sekaligus disrupsi.
Tantangan di Era Digital
Menurutnya, disrupsi tidak hanya menyentuh sisi teknis, tetapi juga kualitas konten. “Akurasi, objektivitas, kreativitas, dan efisiensi bahasa menjadi tantangan besar. Kadang berita hanya menjadi repetisi, bukan refleksi,” ujar Ronny. Hal ini diperparah dengan kebiasaan wartawan yang hanya menyalin siaran pers tanpa menganalisis latar belakang kebijakan atau konteks persoalan.
Dalam pandangannya, jurnalisme lokal harus kembali pada fungsi dasarnya: mengakar pada masyarakat. Ia menyarankan tiga strategi utama yang harus dihidupkan media lokal agar tidak tersingkir dalam persaingan global—yakni memperkuat branding, menjaga kedekatan dengan komunitas, dan aktif melakukan kolaborasi melalui event-event sosial maupun ekonomi.
Menulis Ekonomi Tak Cukup “Nyalin Rilis”
Dalam sesi terpisah, Ronny juga menyinggung pentingnya menulis berita ekonomi secara cerdas dan berimbang. Ia menyebut bahwa berita ekonomi kini menjadi primadona selain berita politik, bahkan sering kali keduanya berkelindan dalam praktik liputan di lapangan.
“Berita ekonomi itu tidak cukup hanya mengutip pejabat. Perlu narasumber dari berbagai latar: akademisi, pelaku usaha, masyarakat terdampak, agar berita menjadi utuh dan tidak bias kekuasaan,” tuturnya. Ia menegaskan bahwa wartawan ekonomi harus memahami konteks kebijakan, istilah teknis, dan dampak riil di masyarakat sebelum menyusun narasi.
Ia juga membagikan tips teknis dalam penulisan berita ekonomi: hindari kalimat panjang, gunakan bahasa Indonesia yang baku, perjelas data dengan infografis, dan manfaatkan foto atau ilustrasi untuk menarik perhatian pembaca digital yang cepat bosan. “Judul adalah pintu masuk. Jangan malas membuat judul yang atraktif,” tegasnya.
Kembali ke Esensi Jurnalisme
Dalam penutup paparannya, Ronny mengingatkan bahwa kekuatan media lokal bukan pada kecanggihan teknologinya, melainkan pada kedekatannya dengan publik. Ia mengutip pendekatan analisis wacana kritis dari Van Dijk yang mendorong wartawan untuk memahami struktur makro (agenda besar media), struktur mikro (gaya bahasa, diksi), dan konteks sosial-politik dalam setiap pemberitaan.
“Wartawan bukan sekadar pembawa pesan, tetapi pembaca zaman. Kalau kita tidak membaca zaman, maka kita akan ditinggal oleh zaman itu sendiri,” pungkasnya, disambut tepuk tangan hadirin.
Acara ini menjadi refleksi penting di tengah situasi media yang semakin kompetitif dan penuh tekanan. (Budi Yuswinanto/Prs)