Prof. Adi Utarini menyematkan setangkai mawar merah pada standing banner almarhum suaminya, Prof. Iwan Dwiprahasto, pada agenda LPM volume 4, Selasa (19/8/2025)
YOGYAKARTA, EDUKATOR–Kusta masih menjadi persoalan yang kerap terlupakan di Indonesia, terutama bagi anak-anak yang terdampak stigma dan diskriminasi. Melalui konser Life, Passion and Music (LPM) Volume 4, Prof. Adi Utarini menghadirkan musik sebagai bahasa kemanusiaan untuk menyuarakan kepedulian pada isu kusta, sekaligus mengajak publik melihat kembali bagaimana kesehatan anak sangat menentukan masa depan bangsa.
LPM bukan sekadar konser. Ia lahir dari ruang personal penuh duka ketika Prof. Adi Utarini mendampingi almarhum suaminya, Prof. Iwan Dwiprahasto, melawan kanker. Dari pengalaman itu, lahirlah gagasan sederhana: “Sebuah konser, sejumput amal.” Konser perdana pada 2018 menjadikan musik sebagai medium berbagi, dengan hasil penjualan tiket disalurkan melalui Yayasan Kanker Indonesia.Prof. Adi Utarini dalam sesi bincang-bincang, di antara Grup Musik ABBA. Selasa (19/8/2025)
Sejak saat itu, LPM tumbuh menjadi perhelatan yang sarat makna kemanusiaan. Tahun 2021, Volume 2 digelar secara daring dalam suasana kehilangan karena Covid-19, dengan donasi disalurkan untuk membangun shelter pasien. Setahun kemudian, Volume 3 hadir sebagai penanda 1.000 hari berpulangnya Prof. Iwan, kembali menjadi ruang untuk berbagi bagi para penyintas kanker.
Nada untuk Anak Bangsa
Kini, LPM memasuki babak keempat. Konser ini akan digelar pada Januari 2026 di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM. Jika konser sebelumnya berfokus pada isu kanker dan Covid-19, LPM Volume 4 mengarahkan perhatian pada kesehatan anak.
Bagi Prof. Uut, persoalan kusta menempati ruang penting. Penyakit yang lekat dengan stigma ini masih banyak dialami anak-anak di daerah, menyebabkan mereka bukan hanya mengalami gangguan kesehatan, tetapi juga diskriminasi sosial yang berimbas pada masa depan. Selain kusta, isu lain seperti malnutrisi, kanker, dan dengue pada anak juga menjadi fokus.
“Harapan kita ada pada anak-anak. Mereka adalah pondasi Indonesia Emas. Jika kita mengabaikan kesehatan anak hari ini, kita sedang mempertaruhkan masa depan bangsa,” tegas Prof. Uut.
Kehilangan jadi kekuatan
Konser LPM Volume 4 akan dikemas dalam tiga babak musikal, berisi belasan lagu lintas genre mulai dari klasik, pop, rock, hingga metal. Setiap babak merepresentasikan perjalanan Prof. Uut sejak 2020 hingga 2025. Sebuah rentang waktu penuh pergulatan, kehilangan, dan kebangkitan.
Bagi Prof. Uut, musik menjadi ruang refleksi. “Saya ingin membagi kisah kehidupan dalam perjuangan yang terjal untuk kembali ke panggung akademik,” ucapnya. Musik bukan hanya hiburan, melainkan bahasa jiwa yang menghubungkan pengalaman personal dengan kepedulian sosial.
Rangkaian menuju LPM Volume 4 dimulai dengan Sesi Dengar pada Selasa, 19 Agustus 2025 di UGM Shop, GIK UGM. Sore itu, musik dan kisah berpadu. Lagu Senja Teduh Pelita dari Maliq n D’Essentials membuka suasana, diikuti bincang santai dengan Prof. Uut.
Ketika lagu Gala Bunga Matahari dari Sal Priadi dimainkan, suasana berubah haru. Penonton larut dalam harmoni keyboard, saksofon, dan violin yang berpadu indah. Prof. Uut kemudian memperdengarkan lagu Inspirasiku, ciptaannya bersama Afriza Animawan untuk almarhum suaminya. “Saya ingin mengubah kehilangan menjadi kekuatan bagi yang lain,” ujarnya.
Sesi itu ditutup riang dengan Dancing Queen dari ABBA yang dinyanyikan bersama audiens, meninggalkan kesan hangat dan optimis menuju konser utama.
Musik untuk Kemanusiaan
Melalui LPM, Prof. Uut menunjukkan bahwa musik dan ilmu pengetahuan tak berjalan di jalur terpisah. Sebagai akademisi, ia meneliti dan menulis publikasi; sebagai musisi, ia menggerakkan empati dan solidaritas. Keduanya berpadu dalam panggung konser amal yang tak hanya menyembuhkan luka pribadi, tetapi juga membuka jalan untuk isu-isu kemanusiaan.
LPM Volume 4 menegaskan pesan penting: kesehatan anak, termasuk yang terdampak kusta, adalah fondasi masa depan Indonesia. Dan musik, dalam tangan Prof. Uut, menjadi suara yang mampu menembus hati, menggerakkan kepedulian, dan menyatukan manusia dalam harapan bersama. (Harta Nining Wijaya)