Fasilitator sekaligus penanggung jawab kelas menulis khusus bagi Difabel Netra, Agoes Widhartono bersama peserta pelatihan. (Foto: Istimewa)
PENGANTAR REDAKSI–Mulai Desember 2024 hingga Mei 2025, Perspektif Yogyakarta mengadakan program Kelas Menulis: Pelatihan Jurnalisme Khusus bagi Difabel Netra. Setelah ditempa dan melalui aneka proses pelatihan, empat orang dinyatakan lulus dan mendapat sertifikat. Mereka berhak menjadi jurnalis dan memproduksi karya jurnalistik. Tiga di antara peserta adalah difabel netra (totally blind) dan satu orang pendamping aktif. Di bawah ini adalah laporan jurnalistik karya bersama, empat orang peserta Kelas Menulis Perspektif Khusus bagi Difabel Netra. Mereka adalah Yuda Wirajaya Barokah, Akbar Ariantono Putra, Alif Akbar Eka Juniata dan Muhammad Raihan. (*)
***
YOGYAKARTA, EDUKATOR–Benarkah fasilitas umum di wilayah Yogyakarta sudah semua ramah difabel? Ternyata belum. Masih banyak persoalan. Antara lain tentang transportasi, ruang publik, layanan publik, belum lagi menyangkut hak sosial kesempatan kerja misalnya. Demikianlah hal itu terus terjadi hingga kini.
Adalah Sulistyo (33), difabel daksa yang menggunakan kursi roda, menuturkan pengalamannya. Menurut dia, di luar pusat kota, kondisi tempat publik masih jauh dari ideal. Banyak trotoar yang tidak rata, dipenuhi sepeda motor atau pedagang. Jalur landai di berbagai bangunan publik, gedung atau halte bus, kadang terlalu curam atau tidak ada sama sekali.
Saking kesalnya, ia bahkan berujar, “Kadang saya merasa seperti bukan bagian dari kota ini, karena banyak tempat yang seolah bisa berkata, ini bukan untukmu,” ujarnya.Peserta kelas menulis Perspektif, sedang wawancara saat meliput di kawasan titik nol Yogyakarta. (Foto: Agoes Widhartono)
Memang, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 14 menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan akses terhadap fasilitas umum, transportasi, komunikasi, dan layanan publik. Namun, Sulistyo menilai implementasi di lapangan belum konsisten, Pembangunan infrastruktur yang ramah difabel perlu melibatkan pihak penyandang disabilitas untuk memberi masukan, sebelum terlambat.
“Kadang ada ramp tapi sangat curam. Kadang ada lift di dalam gedung, tapi pintunya kecil dan tombolnya tinggi. Sulit dijangkau orang seperti saya. Seolah-olah dibuat cuma untuk formalitas, bukan karena benar-benar peduli, apalagi memperhitungkan keberadaan kami,” tutur Sulistyo.
Ia menambahkan, dirinya tidak minta diperlakukan istimewa. Hanya ingin haknya dihormati. “Kalau infrastruktur dibuat ramah difabel, semua orang akan ikut diuntungkan, baik orang tua, ibu hamil, bahkan turis,” tuturnya.
Di bagian lain, kisah berbeda dialami Ja’far (39) lelaki tuna netra, seorang penyiar radio. Ia pengguna aplikasi Jogja Smart Service (JSS). Tapi, proses verifikasi wajah di aplikasi itu menjadi kendala besar baginya. “Lha tuna netra kok disuruh berkedip, yang dikedipkan apanya. Mata saja tidak punya,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyebutkan, waktu pelayanan aplikasi sangat terbatas. “Aplikasi JSS hanya bisa digunakan secara efektif antara pukul 08:00 WIB sampai 10:00 atau 11:00 WIB. Di luar jam itu, pengguna harus menunggu esok hari,” ujarnya. Hal itu bertolak belakang dengan konsep layanan daring yang seharusnya fleksibel dan dapat diakses kapan saja.
Persoalan lain, dalam urusan publik, terjadi di bidang layanan digital sektor perbankan. Ternyata belum juga sepenuhnya berpihak pada kelompok masyarakat difabel. Hal itu dialami Wahyu Ishlakhuddin (20) dan Helmi Raihan Mu’afa (22), dua mahasiswa difabel netra yang mengandalkan aplikasi BRImo untuk transaksi keuangan. Wahyu menuturkan, aplikasi BRImo sudah bisa diakses dengan pembaca layar, dan itu sangat membantu.
Namun, saat harus menarik uang secara fisik di ATM, kendala besar masih muncul. “Mesin ATM tidak dilengkapi dengan pembaca layar atau tombol Braille. Banyak juga mesin ATM yang belakangan ini menggunakan layar sentuh, jadi saya harus minta bantuan orang lain,” lanjutnya.
Adapun Helmi menambahkan, “Beberapa tombol di aplikasi masih tidak terbaca oleh sistem aplikasi layanan aksesibilitas TalkBack. Jadi navigasinya menyulitkan.”
Selain itu, berdasar pengalaman mereka, staf kantor bank juga belum sepenuhnya paham cara mendampingi penyandang disabilitas. “Saya pernah antre lama karena staf tidak tahu bagaimana harus membantu saya,” ujar Helmi. Menurut dia, pelatihan khusus untuk staf kantor bank sangat diperlukan.
Kesenjangan atas kesempatan yang diberikan bagi difabel, juga jadi persoalan penting. Terutama dalam akses pembinaan dan dukungan ekonomi. Dalam pengamatan Ja’far, difabel netra sering kalah bersaing dengan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) non difabel.
“Kok yang UMKM diberi pembinaan dan modal, sedangkan yang difabel cuma pembinaan saja?” kata Ja’far. Menurut dia, masalah paling mendesak saat ini bukan lagi infrastruktur atau fasilitas fisik, melainkan kesempatan kerja dan pendapatan layak.
“Banyak difabel lulusan sarjana strata satu. Setelah lulus, yang dibicarakan cuma perkara guiding block, jalan yang tidak halus, atau kalau menyeberang jalan tidak ada yang membantu. Malah bukan persoalan pekerjaan atau bagaimana mendapat hak upah yang layak,” katanya.
Ja’far menekankan perlu diadakan pendidikan dua arah. “Difabel juga harus bisa menjelaskan kepada pihak-pihak administrasi bagaimana memperlakukan mereka. Jangan hanya minta dimengerti, tapi mereka juga harus memberi edukasi,” jelasnya. (***)