Ilustrasi: 80 tahun kemerdekaan RI dan kesetaraan hak difabel
YOGYAKARTA, EDUKATOR--Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah usia yang matang untuk bangsa sebesar ini. Setiap peringatan 17 Agustus selalu menjadi momentum untuk menengok perjalanan panjang, bukan hanya tentang proklamasi yang dikumandangkan, tetapi juga tentang sejauh mana kemerdekaan itu memberi ruang setara bagi seluruh warganya. Bagi penyandang disabilitas atau difabel, refleksi ini membawa pertanyaan mendasar: sudahkah kemerdekaan benar-benar hadir untuk mereka?
Jika pada 1945 bangsa Indonesia berjuang melawan penjajah, maka difabel sejak lama berjuang melawan bentuk penjajahan lain: diskriminasi, stigma, dan pengucilan. Akses pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaan masih jauh dari ideal. Padahal, sejak lahirnya UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, negara berkomitmen menjamin hak-hak difabel dalam seluruh aspek kehidupan.
Namun, realitas menunjukkan kesenjangan masih lebar. Banyak difabel yang belum terdata dalam sensus, tidak mendapatkan akses transportasi publik, atau masih ditolak bekerja hanya karena kondisi tubuh mereka. Perjuangan ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bagi difabel bukan hadiah, tetapi sesuatu yang terus diperjuangkan.
Merdeka adalah setara
Kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajahan, melainkan hidup dengan martabat yang sama. Bagi difabel, kemerdekaan berarti:
•Bisa bersekolah tanpa hambatan—dengan guru yang memahami kebutuhan belajar inklusif.
•Bisa bekerja tanpa diskriminasi—dengan perusahaan yang membuka ruang kerja setara.
•Bisa bergerak dengan bebas—karena kota dan desa ramah kursi roda, ramah tunanetra, ramah tuli.
•Bisa berpartisipasi politik—tanpa hambatan mengakses informasi dan proses demokrasi.
Itulah arti kemerdekaan yang substansial, bukan sekadar perayaan seremonial.
Belum merdeka
Menurut Nuning Suryatiningsih dari OHANA Indonesia, usia 80 tahun seharusnya membuat Indonesia lebih dewasa dalam menghadapi kebutuhan seluruh warganya, termasuk difabel. Namun faktanya tidak demikian.
“Difabel belum benar-benar merdeka dalam kehidupan sehari-hari. Walau bangsa ini sudah berusia delapan puluh tahun, masyarakat luas masih banyak yang belum paham siapa itu difabel, apa dan bagaimana hak difabel, serta mengapa hak-hak tersebut mesti diperjuangkan sebagai bagian dari hak warga negara,” ujarnya, Sabtu (23/8).
Nuning menyoroti bahwa tantangan terbesarnya, ada pada kebijakan yang masih semu. Inklusi kerap disebut-sebut, tetapi implementasinya belum sungguh-sungguh dipahami.
“Inklusif yang masih semu membuat difabel tetap menghadapi hambatan dalam mengakses hak-haknya,” tambahnya.
Soal kontribusi difabel, Nuning menegaskan bahwa partisipasi bermakna hanya bisa terwujud jika difabel benar-benar dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
“Sampai kini akomodasi yang layak pun, belum sepenuhnya difasilitasi. Hal ini menjadi penghalang bagi difabel untuk berkontribusi optimal,” katanya.
Meski demikian, harapannya tetap menyala. “Kami ingin terus melakukan intervensi dan pengawalan ke pemerintah tanpa mengenal lelah, dengan berkolaborasi bersama berbagai stakeholder,” tutur Nuning.
Subyek pembangunan
Seringkali difabel hanya dipandang sebagai objek belas kasihan. Padahal, banyak difabel telah membuktikan diri sebagai seniman, akademisi, atlet, pengusaha, bahkan pemimpin komunitas. Mereka bukan beban, melainkan energi bangsa.
Kemerdekaan ke-80 harus menjadi titik balik: difabel ditempatkan sebagai subjek pembangunan. Artinya, mereka terlibat dalam perumusan kebijakan, ikut menentukan arah pembangunan, dan diposisikan sebagai warga negara penuh, bukan sekadar penerima manfaat.
Di usia 80 tahun, Indonesia seharusnya sudah dewasa dalam menghargai keberagaman. Kita patut bercermin: jika kemerdekaan masih belum sepenuhnya dirasakan difabel, maka pekerjaan rumah bangsa ini masih besar.
Harapan difabel sederhana: agar Indonesia bukan hanya merdeka di atas kertas, tetapi juga merdeka dalam kehidupan nyata. Seperti kata pepatah, kemerdekaan sejati adalah ketika semua orang, tanpa kecuali, dapat hidup setara, bermartabat, dan berdaya. (Harta Nining Wijaya)