Mata Ibu

by -178 Views

Oleh: Reni Asih Widiyastuti

IBU tak sembarang memberikan nama itu untuknya. Tiga huruf awal berarti anggun dan bila ditambah dua huruf di belakang maka maknanya menjadi sukses. Sungguh, ia sangat bersyukur telah lahir dan memiliki nama indah itu.

Namun, terlepas dari sebuah nama, ia ingin ditakdirkan mengalami reinkarnasi, hidup kembali dengan wajah seperti kedua kakak perempuannya. Alis tebal, hidung mancung, dan dagu terbelah.

Bahkan, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika ada lomba mengaji di kampung, kedua kakaknya otomatis masuk dalam daftar peserta tanpa harus repot mencalonkan diri. Sedangkan ia justru tak diperbolehkan ikut lantaran alasan wajah. Mata sipit dengan bulu tipis, pipi putih merona, dan mulut yang mungil.

“Apa kamu yakin bisa ngaji?” tanya salah seorang panitia saat ia memperkenalkan diri.

Hanya anggukan lemah sebagai balasan. Setelah itu, ia memilih beringsut mundur karena panitia lebih tertarik dengan anak lelaki yang berada di belakangnya. Tentu saja dengan penampilan dan wajah yang sangat islami. Sejak itu, selera dalam dirinya seketika musnah. Ia menutup hati dengan tudung rapat-rapat, membiarkan hal serupa hanya dalam angan-angan.

Usianya kini sudah menginjak delapan belas. Ia ingin meneruskan sekolah di Universitas Islam Negeri. Namun, bayangan masa kecil saat lomba mengaji kembali mengganggu benaknya.

Apakah hal serupa akan menimpanya kembali? Akankah orang-orang masih memandang sesuatu dari luarnya saja? Dalam kegelisahan yang semakin memuncak itu, tiba-tiba ada yang menceletuk dari arah dapur—mengajaknya bicara.

“Kamu enggak usah kuliah. Bantu ibu jualan.”

“Tapi, Bu. Aku bisa kuliah sambil kerja.”

Ia berkata tanpa menatap mata itu. Sedari kecil, ia memang tidak bisa melakukannya. Walau Ibu berulang kali mengingatkan, tataplah mata orang yang sedang mengajakmu bicara. Namun, ia selalu gagal.

Apalagi jika mata Ibu mulai lelah. Jika sudah begitu, ia akan mencari alasan untuk menghindar dari Ibu. Menyendiri di dalam kamar hingga berjam-jam lamanya.

Ia pernah menanyakan perihal mata Ibu yang kian membuat wajahnya terlihat lebih tua dari usianya, terutama saat malam tiba. Hingga ia dan kedua kakaknya beranjak dewasa, misteri itu belum juga terungkap. Sejak itulah, ia memutuskan tak sudi lagi melihat mata Ibu.

Pagi ini, pukul tujuh, Ibu selesai mempersiapkan bahan-bahan untuk berjualan lumpia di depan rumah. Dadar, rebung, minyak goreng, telah tersusun rapi di atas meja. Ditambah beberapa gorengan dan wedang ronde.

Ibu memang sengaja tidak berdagang keliling, mengingat badannya mudah lelah. Apalagi sejak ayahnya meninggal dunia setahun lalu. Kedua kakak yang lain lebih memilih menikah muda. Otomatis ikut dengan para suami. Namun, kali ini ia tidak bisa membantu Ibu dan memilih pamit.

***

Segala prosedur dijalani olehnya. Semua persyaratan telah dipenuhi dan ia mampu menyelesaikan serangkaian tes dengan lancar. Saat tiba hari pengumuman, matanya sibuk membaca deretan nama-nama via online. Berulang kali layar gawai di genggaman tangan kanan ia perbesar supaya lebih jelas.

“Alhamdulillah, aku lolos!” pekiknya tak terkira.

Ibu pun segera ia kabari. Namun, kebahagiaan tak berlangsung lama. Ibu tiba-tiba pingsan. Ia menangkup tubuh ringkih itu dan mengguncang-guncangkannya berulang kali, berharap Ibunya sadar kembali. Sia-sia saja, mata Ibu tetap terpejam. Ia segera menghubungi kedua kakaknya. Nihil. Tak ada yang merespons.

Peluh di dahinya mulai bercucuran. Ia mendudukkan Ibu di kursi. Dengan tangan gemetaran, dipesanlah taksi online untuk membawa Ibu ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Ibu langsung diterima di IGD dan diperiksa. Sementara, ia dihujani berbagai pertanyaan oleh salah seorang perawat. Saat itu, ia tak sadar ada gadis yang tengah memerhatikannya.

“Kamu yang mendaftar kemarin, kan?” celetuk si gadis yang kini berada di sebelahnya.

Ia mendongak. Matanya tertumbuk pada gadis itu. Kening berkerut, mencoba mengingat kapan bertemu.

“Fauziah! Apa kabar?”

“Alhamdulillah baik. Kukira kamu bukan muslim loh?”

            “Sudah banyak yang berkata begitu, Zi. Aku maklum karena memang wajahku seperti orang chinese.”

“Ah, ngomong-omong, siapa yang sakit?” tanya Fauziah kemudian seraya mengedarkan pandangan.

“Ibu, Zi. Tiba-tiba pingsan. Mungkin kecapekan.”

Suaranya tiba-tiba tercekat. Air menggenang di kedua kelopak matanya. Fauziah merengkuh tubuh lemasnya. Bahunya berguncang hebat lantaran tak kuat menahan tangis. Fauziah membiarkannya. Namun, ia segera sadar dan tak ingin larut dalam kesedihan.

Ia dan Fauziah sempat bertemu sebagai calon peserta didik di universitas yang mereka tuju. Namun, ia tak memakai kerudung kala itu. Wajar bila Fauziah sempat terkejut melihatnya hari ini. Dari pertemuan itu, ia bercerita pada Fauziah soal Ibunya.

Entah suatu kebetulan belaka atau memang sudah takdir. Fauziah—gadis berhati malaikat itu bersedia membantunya. Bukan soal materi, melainkan tenaga. Ia memang terlampau cemas jika tidak bisa menjaga Ibu seratus persen. Ia mencoba menelepon kedua kakaknya lagi. Masih sama. Tak ada jawaban. Mungkin sedang sibuk, pikirnya.

Di sela-sela itu, dokter yang memeriksa sang Ibu datang menghampirinya. Katanya, Ibu harus dirawat dua sampai tiga hari ke depan. Supaya bisa segera pulih. Namun, tidak ada penyakit serius yang diderita Ibu. Tak perlu terlalu dirisaukan, kata dokter menyudahi pemeriksaan.

Ia dan Fauziah menghela napas lega. Fauziah pun mengatakan kalau ia harus kembali bekerja di koperasi rumah sakit. Ya, ia memang bekerja paruh waktu supaya bisa membiayai kuliahnya. Mendengar itu, semangatnya kembali terbakar. Bola api di matanya kian menyala-nyala.

***

Ibu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Syukurlah, selama dirawat, kedua kakak perempuannya sempat menjenguk. Kemudian pulang ke rumah masing-masing di hari ke dua. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, kata mereka.

Sejak itu, ia mulai menjalani rutinitas baru sebagai seorang mahasiswi sekaligus penulis. Mula-mula ia kewalahan. Namun, lambat laun ia bisa menemukan ritme yang pas. Berbagai artikel tentang islam ditulis dan dikirimkannya ke sejumlah media cetak maupun online. Tak jarang pula ia mengikuti berbagai lomba menulis dan berhasil menjadi juara.

Tak terasa, empat tahun sudah berlalu. Ibu sudah tidak lagi berjualan lumpia. Ia menafkahi Ibu dari keterampilannya dalam menulis. Pihak kampus pun semakin mengakui sisi baik dari dirinya. Pikiran modern telah membuatnya dibanjiri pekerjaan. Fauziah—teman baiknya selama ini, turut bangga melihat kesuksesan yang diraihnya.

Hari ini ia memeluk erat Ibu yang sedang merebah di atas kasur. Sementara itu, tiba-tiba ada panggilan masuk mendarat di gawainya.

“Assalamu’alaikum. Dengan Saudari Naila?”

“Iya, betul. Saya sendiri.”

“Selamat. Anda diundang dalam acara virtual class sebagai pembicara.”

Suara dari seberang berulang kali memanggilnya. Namun, ia bergeming dan mulutnya masih terkatup karena tak percaya. Saat hendak mengucapkan terima kasih, ia menatap mata ibu dan hujan turun begitu deras dari sana.

Semarang,  Agustus 2021-April 2023

===

RENI  Asih Widiyastuti kelahiran Semarang, 17 Oktober 1990. Karya-karya alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini telah dimuat di berbagai media. Diantaranya Tabloid Pendidikan EDUKATOR, Kompas Klasika, Suara Merdeka, Padang Ekspres, Solopos, Pikiran Rakyat, Republika, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Kabar Madura, Harian Singgalang, Medan Pos, dan Bali Post.

Kemudian Radar Cirebon, Radar Mojokerto, Radar Bromo, Radar Kediri, Tanjungpinang Pos, Pontianak Pos, Bangka Pos, Majalah Bobo, Majalah Djaka Lodang, Majalah Jaya Baya, Majalah Swaratama, Majalah UTUSAN Yogyakarta, TARGET Makassar, Utusan Borneo Malaysia, magrib.idceritanet.comharakatuna.combarisan.coduniasantri.cofiksiislami.com, dan modepesawat.wordpress.com. Buku tunggalnya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam (Stiletto Indie Book, Juni 2019) dan Pijar (LovRinz Publishing, Maret 2022). Penulis dapat dihubungi melalui email; reniasih17@gmail.com