
SIDANG lanjutan pengujian materiil UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Mahkamah Konstitusi pada 7 Oktober 2025 membuka perdebatan penting soal batas tafsir “disabilitas fisik”. Pemerintah menegaskan bahwa penyakit kronis tidak otomatis dikategorikan sebagai disabilitas. Sementara, pemohon meminta agar konsep “disabilitas tak tampak” (invisible disability) diakui secara hukum.
Dalam Keterangan Presiden yang dibacakan oleh Drs. Supomo, M.M. (Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial), pemerintah menegaskan bahwa UU 8/2016 sudah berlandaskan pada Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) dan International Classification of Functioning (ICF) WHO 2001.
“Gangguan kemampuan pada fungsi tubuh dan/atau struktur tubuh yang menyebabkan hambatan dalam beraktivitas sehari-hari dapat dikategorikan sebagai disabilitas fisik,” ujar Supomo dalam sidang, sebagaimana tercatat dalam risalah MK.
Pemerintah menilai, perluasan makna yang dimohonkan, yaitu menambahkan istilah fungsi fisik secara terus-menerus atau fluktuatif, akan menimbulkan ketidakjelasan norma dan berpotensi menyalahi prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan. Penilaian disabilitas, menurut pemerintah, harus tetap berbasis asesmen medis dan tidak bisa ditentukan hanya dari pengalaman subjektif penderita penyakit kronis.
Namun, dari perspektif kebijakan publik, argumentasi tersebut justru menyingkap keterbatasan pendekatan negara. UU 8/2016 memang sudah menggeser paradigma dari charity-based menuju rights-based, tetapi praktik implementasinya masih kuat bertumpu pada otoritas medis, bukan pada pengakuan sosial dan struktural atas hambatan yang dialami individu.
Di sisi lain, pemohon berargumentasi bahwa invisible disability, contohnya: autoimun, lupus, atau kanker kronis, membawa hambatan nyata dalam aktivitas sehari-hari. Namun karena belum termasuk dalam penjelasan pasal, kelompok ini kerap tidak tercatat dalam data penyandang disabilitas, sehingga sulit mengakses akomodasi layak dan perlindungan sosial.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mencatat bahwa data dan asesmen aktual menjadi hal penting untuk menilai apakah kebijakan pemerintah telah benar-benar inklusif. Ia meminta Kementerian Sosial menunjukkan bukti perkembangan asesmen klinis bagi penyandang disabilitas di luar kategori yang disebut undang-undang.
Secara hukum, sidang ini memperlihatkan benturan dua tafsir:
•Tafsir legal-formal pemerintah, yang menekankan presisi norma dan mekanisme medis;
•Tafsir sosial-hak asasi pemohon, yang menuntut pengakuan atas pengalaman hidup yang menciptakan hambatan faktual di masyarakat.
Jika Mahkamah nantinya berpihak pada perluasan tafsir, keputusan ini bisa menjadi tonggak penting pengakuan disabilitas tak tampak di Indonesia. Namun bila ditolak, advokasi kebijakan perlu bergerak di ranah regulasi turunan — agar hak-hak kelompok dengan penyakit kronis tidak terpinggirkan dari prinsip kesetaraan yang dijamin konstitusi. (Harta Nining Wijaya)
]