Bukan Sekadar Nominal, Edukasi Merawat Uang di Lembaga Pendidikan

Bagikan :

Oleh: Ākhmad Fauzi, S.S., S.Pd.
Guru SMP Negeri 2 Kutasari, Kabupaten Purbalingga

MUNGKIN kita sering mendengar orang mengatakan bahwa uang itu bukan hal utama atau yang pokok tetapi tanpa uang kita tidak bisa melakukan apa-apa. Menurut penulis pernyataan itu tidak salah, tetapi apakah ketika kita memiliki uang yang rusak masih bisa menggunakannya untuk apa saja.

Karena masalah uang akan menjadi bermanfaat ketika uang memiliki nilai nominal yang baik, yang artinya kondisi uang itu sendiri juga baik tapi kalau uang itu dalam kondisi fisik yang jelek maka nilai nominal itu sendiri kadang malah tidak ada sama sekali.

Pengalaman penulis barangkali sering juga dialami banyak orang terkait uang dalam keadaan rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Tiga tahun lalu penulis mendapatkan uang dalam kondisi rusak. Tidak seberapa parah sebetulnya kerusakannya, hanya terdapat lubang kecil dan sekitar lubang itu ada sedikit perubahan warna seperti warna terbakar yang kemungkinan akibat terkena percikan bara api rokok.

Ketika pertama kali akan menggunakan, penulis sudah mulai merasa tidak enak dan was-was, “apakah uang ini bisa diterima dalam transaksi jual beli? Tetapi karena jumlah nominal uang tersebut besar, yaitu Rp 100.000,- maka penulis pun menggunakannya dalam pembelian suatu barang di sebuah toko swalayan. Benar saja, sang kasir toko tersebut tidak mau menerimanya sebagai alat bayar dengan alas an karena uang kertasnya berlubang. Akhirnya, penulis tetap membayar barang belanjaan itu dengan pecahan uang lain yang ada.

Perjalanan uang itupun oleh penulis tetap dicoba dalam berbagai transaksi di tempat yang berbeda. Sampai akhirnya penulis lakukan sebagai alat menabung dengan cara setor tunai di sebuah ATM. Nasib uang itu pun tetap ditolak. Melihat kenyataan itu, akhirnya penulis menyerah dan mencoba menukar uang tersebut di sebuah bank dan disarankan agar ditukar di Bank Indonesia (BI) di Purwokerto karena saat ini penukaran uang rusak hanya bisa dilakukan di BI, tidak lagi di Bank tertentu baik swasta maupun bank pemerintah.

Tampaknya perjalanan nasib dari uang-uang rusak mesti kita pikirkan agar saat uang tersebut dimiliki para pedagang kecil masih bisa digunakan sebagai alat transaksi. Sungguh kasihan jika mereka yang berdagang dengan laba kecil harus menerima nasib dengan keadaan uang yang rusak. Persoalannya adalah banyak orang kurang menghargai uang sebagai alat transaksi jual beli. Bagi penulis yang juga seorang guru, sering mengamati keadaan uang dari para siswa yang belanja di kantin sekolah dan hamper sebagian besar uangnya dalam kondisi tidak baik atau ‘kucel’ dan penuh lipatan bahkan ada juga beberapa lembar uang kertasnya terdapat tambalan dengan perekat (isolasi).

Melihat kenyataan tersebut, sepertinya cara terbaik mulai melakukan perubahan dalam hal cara menghargai uang dapat dimulai dari dunia pendidikan, yang memang dianggap sebagai kawah candra dimukanya sebuah peradaban manusia sebelum terjun di masyarakat.

Lalu bagaimana cara kita bisa menghargai nilai uang dan bagaimana cara membuat orang sadar bahwa uang itu juga perlu berpenampilan yang baik sehingga akan bisa diterima di manapun? Tidak bisa kita pungkiri juga bahwa keadaan uang di pasar tradisional umumnya pasti sudah dalam keadaan yang sangat lucu fisiknya, terutama uang-uang kertas dengan nominal kecil.

Sungguh memprihatinkan betul nasibnya jika para pedagang kecil akhirnya harus terus menerima pembuangan uang-uang yang rusak. Perputaran uang itu bisa akan berhenti di tangan mereka karena tidak bisa dipakai alat bayar saat mereka akan mengunakannya. Uang memang memiliki nilai nominal yang penting, tetapi kondisi fisiknya juga berperan dalam menentukan nilai tersebut. Uang yang rusak atau kotor dapat mengalami kesulitan saat digunakan dalam transaksi, seperti yang penulis contohkan di atas.
Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam membentuk kebiasaan baik terkait perlakuan terhadap uang. Sekolah bukan hanya tempat mentransfer pengetahuan, tetapi juga membangun karakter, sikap bertanggung jawab, serta budaya tertib dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran untuk menjaga kondisi uang dapat dimasukkan sebagai bagian kecil dari pendidikan karakter, khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab dan kedisiplinan.

Di lingkungan sekolah, edukasi tentang cara merawat uang dapat dilakukan melalui pembiasaan sederhana, seperti menyimpan uang di dompet, tidak melipat berlebihan, tidak mencoret atau menambal uang kertas, serta menjaga kebersihan uang dari cairan atau benda yang dapat merusaknya. Sekilas hal ini tampak sepele, namun kebiasaan kecil yang dilakukan terus-menerus akan membentuk sikap yang tertanam hingga siswa dewasa dan bermasyarakat.

Guru juga dapat mengintegrasikan materi ini dalam proses pembelajaran lintas bidang. Misalnya, pada mata pelajaran PPKn dan IPS, guru dapat menyampaikan bahwa uang bukan hanya alat tukar, tetapi juga bagian dari simbol negara yang harus dijaga kehormatannya. Pada pelajaran matematika, guru bisa menunjukkan contoh uang rusak yang tidak lagi bernilai sehingga peserta didik lebih memahami bahwa nilai uang tidak hanya bergantung pada nominal, tetapi juga kondisinya. Bahkan pada kegiatan ekstrakurikuler, pesan pentingnya merawat uang dapat dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan karakter.

Selain itu, sekolah dapat bekerja sama dengan pihak perbankan, misalnya dengan Bank Indonesia (BI), untuk mengadakan kegiatan edukasi seperti sosialisasi mengenai prosedur penukaran uang rusak, cara mengenali uang asli dan palsu, serta tata cara memperlakukan uang yang baik. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya mengetahui pentingnya menjaga uang, tetapi juga memahami bahwa ada mekanisme resmi ketika uang milik mereka mengalami kerusakan.

Pembiasaan menjaga uang juga dapat dikaitkan dengan program literasi finansial di sekolah. Selama ini, literasi finansial banyak disalahartikan hanya sebatas bagaimana mengelola pengeluaran dan tabungan. Padahal, hal yang jauh lebih mendasar adalah bagaimana seseorang menghargai uang, termasuk kondisi fisiknya. Melalui literasi finansial yang komprehensif, siswa dapat memahami bahwa merawat uang merupakan bagian dari kemampuan mengelola keuangan secara bertanggung jawab.

Lebih jauh, lembaga pendidikan dapat memberikan contoh nyata melalui kebijakan internal. Misalnya, kantin sekolah dapat menolak penggunaan uang yang sangat rusak dan mengarahkan siswa untuk menukarkannya ke bank. Atau sekolah dapat menyediakan kotak penampungan uang rusak yang kemudian dikumpulkan dan ditukarkan melalui mekanisme resmi. Upaya ini akan melatih siswa untuk peka terhadap kondisi uang dan memahami langkah yang benar ketika menemui uang yang tidak layak edar.

Kesadaran kolektif mengenai pentingnya menjaga kondisi uang diharapkan dapat memberikan dampak positif yang lebih luas. Jika sejak kecil peserta didik terbiasa memperlakukan uang dengan baik, kebiasaan ini akan terbawa hingga dewasa dan dapat mengubah kondisi umum di masyarakat. Uang yang beredar di pasar atau di lembaga keuangan akan lebih terjaga kualitasnya sehingga tidak merugikan pihak-pihak tertentu, khususnya pedagang kecil yang sering menjadi penampung terakhir uang yang rusak.

Seandainya kesadaran ini menyebar luas di masyarakat, bukan tidak mungkin kondisi uang yang beredar akan semakin layak, tertib, serta memberikan kenyamanan dalam transaksi.

Bayangkan sebuah lingkungan sosial di mana masyarakat menyadari bahwa uang, betapa pun sederhana bentuknya, adalah representasi nilai yang harus dihormati. Sikap menghargai uang akan berdampak pada tertibnya aktivitas ekonomi sehingga meminimalkan perselisihan akibat uang rusak maupun tidak diterima dalam transaksi.

Untuk mencapai hal itu, diperlukan sinergi yang kuat antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga sebagai lingkungan pertama bagi anak dapat memperkenalkan kebiasaan positif dengan memberi contoh cara menyimpan dan memperlakukan uang dengan baik. Sekolah meneruskan dan memperkuat kebiasaan tersebut melalui pembiasaan dan pendidikan formal.

Sementara masyarakat menjadi ruang praktik, tempat peserta didik menerapkan apa yang mereka pelajari

Pada akhirnya, menjaga kondisi uang bukan hanya tanggung jawab Bank Indonesia sebagai pengelola mata uang negara, tetapi juga tugas seluruh lapisan masyarakat. Lembaga pendidikan menjadi garda terdepan dalam menanamkan nilai tersebut, melalui pendidikan karakter, literasi finansial, kerja sama dengan lembaga terkait, serta pembiasaan sehari-hari.

Dengan begitu, kesadaran akan nilai dan martabat uang sebagai alat transaksi dan simbol negara dapat terwujud dengan lebih baik.

Daftar Pustaka
-Bank Indonesia. (2022). Pedoman Uang Rupiah Tidak Layak Edar dan Mekanisme Penukaran Uang. Jakarta: Bank Indonesia.
-Otoritas Jasa Keuangan. (2021). Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) 2021–2025: Meningkatkan Literasi Keuangan Melalui Peran Lembaga Pendidikan. Jakarta: OJK.

BERITA TERKINI

inovasi2
Bupati Sadewo Serahkan Penghargaan Kepada Inovator Banyumas
ldkkts4
26 Pengurus OSIS SMPN 4 Kutasari Ikuti LDK
family dinner
Peringati Hari Anak Sedunia, Luminor Hotel Purwokerto Gelar "Family Dinner"
edu2
SMPN 3 Pengadegan Gelar Kokurikuler "Belajar dan Wirausaha"
Akhmad Fauzi1
Membangun Kejujuran dari Hal Sederhana: Ketika Barang Temuan Menjadi Pendidikan Karakter