Oleh: Untung Pujiarto, S.Pd
Pemerhati Pendidikan
(Guru SMP Negeri 1 Padamara, Purbalingga)
DALAM beberapa pekan terakhir, publik disuguhi berbagai pemberitaan media daring mengenai kebijakan sekolah terkait sumbangan, seragam, hingga karya wisata. Judul-judul yang sensasional seolah menegaskan bahwa sekolah hanya membebani orang tua. Padahal, realitas di lapangan tidak sesederhana itu. Ada alternatif, opsi, serta kesepakatan musyawarah yang jarang ditulis dalam berita.
Fenomena ini memperlihatkan adanya ketimpangan pemberitaan. Media, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, kerap lebih menonjolkan keresahan sebagian orang tua, tanpa memberi ruang yang cukup bagi suara sekolah dan otoritas pendidikan. Akibatnya, persepsi publik menjadi timpang dan kepercayaan terhadap lembaga sekolah ikut tergerus.
Dipelintir
Prinsip dasar jurnalistik menekankan pentingnya menyajikan berita berimbang (cover both sides). Namun dalam kasus kebijakan sekolah, narasi tunggal sering mendominasi. Fakta yang dipilih hanya potongan-potongan yang menguatkan kontroversi, sementara klarifikasi sekolah dikesampingkan.
Sebagai contoh, pemberitaan mengenai seragam sekolah sering kali dipelintir seolah wajib beli baru. Faktanya, sebagian sekolah masih memperbolehkan siswa memakai seragam lama atau memberi waktu panjang bagi orang tua yang kesulitan. Opsi semacam ini jarang diangkat media, sehingga opini publik lebih condong negatif.
Hal serupa terjadi pada isu sumbangan. Di banyak sekolah, kontribusi orang tua berbentuk sukarela dan transparan. Apabila memang ada oknum yang memaksa, seharusnya diberitakan secara proporsional dengan data jelas. Menyamakan seluruh sekolah sebagai “pemberat biaya” jelas tidak adil.
Partisipasi Masyarakat
Data Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pendidikan diatur dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Regulasi itu menyebutkan partisipasi boleh dilakukan selama berdasarkan musyawarah, sukarela, dan tidak mengikat. Sayangnya, ketentuan ini jarang dikutip media daring saat memberitakan kasus sumbangan sekolah.
Pada aspek karya wisata, sekolah biasanya memberi pilihan: ikut sesuai kemampuan, memilih paket berbeda, atau tidak ikut sama sekali. Namun, narasi berita kerap menonjolkan sisi keluhan tanpa memberi ruang pada fleksibilitas yang sebenarnya sudah ada.
Penulis tidak menutup mata bahwa ada sekolah yang melakukan praktik menyimpang. Justru di sinilah kritik publik dibutuhkan. Tetapi kritik harus berangkat dari data lengkap, bukan hanya suara sepihak. Ketika media lebih mengejar klik dan sensasi, yang dikorbankan adalah objektivitas dan kepercayaan.
Perlu diingat, pendidikan adalah kerja kolektif. Guru, orang tua, pemerintah, dan masyarakat memiliki peran saling melengkapi. Media seharusnya hadir sebagai fasilitator yang memotret persoalan dengan adil, menghadirkan data, lalu menyajikan solusi yang membangun.
Keseimbangan informasi juga penting untuk menjaga marwah lembaga pers. Dewan Pers menegaskan bahwa berita yang baik harus memenuhi prinsip keberimbangan. Jika prinsip ini diabaikan, media berisiko dianggap sebagai pihak yang ikut memperkeruh situasi, bukan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi.
Contoh baik bisa diambil dari sejumlah media lokal yang menulis isu sekolah dengan menyertakan suara kepala sekolah, komite, dan orang tua. Liputan semacam ini memberi pembaca gambaran utuh, bukan hanya potret keresahan sepihak.
Solusi lainnya adalah memperkuat literasi media di kalangan masyarakat. Orang tua dan guru perlu diajak memahami bagaimana membaca berita secara kritis. Dengan demikian, publik tidak mudah terprovokasi oleh judul-judul bombastis yang tidak sepenuhnya mencerminkan isi berita.
Pemerintah daerah melalui dinas pendidikan juga bisa berperan aktif dengan menyediakan kanal klarifikasi cepat terhadap isu-isu kebijakan sekolah. Kehadiran informasi resmi akan membantu menyeimbangkan narasi di ruang publik.
Dapat disimpulkan, ketimpangan pemberitaan di media daring tentang kebijakan sekolah menunjukkan perlunya refleksi bersama. Media perlu menempatkan diri pada posisi adil, masyarakat harus cerdas membaca informasi, sementara sekolah wajib transparan dalam setiap kebijakan.
Dengan keseimbangan informasi, yang tercipta bukanlah stigma negatif, melainkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki pendidikan. Sebab di balik setiap seragam, sumbangan, dan kegiatan, tujuan utamanya tetap sama: memastikan anak-anak bangsa memperoleh pendidikan yang layak, inklusif, dan bermakna.(***)