Oleh: Priyanto, M.Pd.I
Kepala SMP N 3 Kutasari
SETIAP tanggal 22 Oktober, gema Hari Santri Nasional kembali menggema di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Peringatan ini bukan sekadar seremonial mengenang perjuangan ulama dan santri masa lalu, tetapi juga momentum untuk menanamkan kembali spirit keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan di lingkungan pendidikan modern.
Kini, istilah santri tidak lagi terbatas pada mereka yang tinggal di pondok pesantren. Dalam makna yang lebih luas, setiap pelajar yang meneladani nilai-nilai keilmuan, kesederhanaan, dan adab islami adalah bagian dari “santri masa kini”. Dengan demikian, sekolah-sekolah negeri maupun swasta dapat menjadi ruang subur bagi tumbuhnya jiwa santri — bukan dalam bentuk struktur pesantren, tetapi dalam nilai-nilai yang membentuk karakter pelajar beriman dan berakhlak mulia.
Konsep sekolah berjiwa santri mengandung makna bahwa proses pendidikan di sekolah harus lebih dari sekadar mentransfer pengetahuan. Ia harus menjadi proses penyemaian nilai — nilai iman, akhlak, dan tanggung jawab sosial. Dalam pandangan Al-Attas (1993), tujuan pendidikan Islam bukanlah semata penguasaan ilmu, tetapi pembentukan manusia beradab yang mengenal Tuhan dan mampu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Sekolah yang berjiwa santri menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan sederhana namun bermakna: membaca doa sebelum pelajaran, membiasakan salam dan senyum, menjaga kebersihan, menghormati guru, dan peduli terhadap sesama. Nilai-nilai ini membentuk atmosfer religius yang membumi, bukan dipaksakan. Ia tumbuh dari kesadaran, bukan sekadar program.
Dalam konteks inilah, Hari Santri menjadi ruang refleksi bagi sekolah untuk meninjau kembali arah pendidikan: apakah ia masih menumbuhkan ruh spiritualitas, atau hanya terjebak pada formalitas dan capaian akademik semata.
Generasi pelajar saat ini hidup di tengah dunia digital yang serba cepat dan terbuka. Informasi berlimpah, tetapi tidak semuanya membawa kebaikan. Dalam situasi seperti ini, jiwa santri menjadi benteng moral dan spiritual. Santri modern harus mampu menggunakan teknologi tanpa kehilangan adab, aktif di dunia maya tanpa terperangkap dalam budaya konsumtif dan dangkal.
Sebagaimana ditegaskan oleh Nata (2020), pendidikan Islam di era digital harus berorientasi pada penguatan karakter dan spiritualitas, bukan sekadar kemampuan teknologis. Guru dan tenaga pendidik perlu menanamkan literasi digital yang berlandaskan etika Islami: menggunakan media sosial dengan bijak, menghargai privasi orang lain, dan menghindari ujaran kebencian.
Sekolah yang berjiwa santri adalah sekolah yang mendidik generasi digital untuk tetap berjiwa spiritual. Pelajar diajak untuk menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ), sehingga mampu menjadi pribadi yang tangguh di tengah arus globalisasi.
Membumikan Nilai Keislaman di Sekolah
Nilai keislaman bukan hanya diajarkan di kelas PAI, tetapi perlu diintegrasikan dalam seluruh aktivitas sekolah. Misalnya, budaya antri di kantin mencerminkan adab dan disiplin; gotong royong membersihkan kelas mengajarkan tanggung jawab sosial; dan kejujuran saat ujian merupakan wujud iman yang nyata.
Menurut Tilaar (2012), pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang membangun kesadaran spiritual dan sosial peserta didik. Dengan membumikan nilai Islam dalam praktik keseharian, sekolah menjadi ladang pembentukan karakter yang utuh.
Momentum Hari Santri dapat menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan hanya mencetak lulusan cerdas, tetapi manusia beradab. Santri adalah simbol pembelajar sejati: cinta ilmu, hormat kepada guru, dan siap berkhidmat untuk masyarakat. Semangat inilah yang perlu dihidupkan kembali di sekolah-sekolah modern.
Menjadikan sekolah berjiwa santri tidak berarti menyeragamkan kurikulum seperti pesantren, tetapi menghidupkan nilai-nilai pesantren di ruang sekolah. Nilai-nilai seperti keikhlasan, kebersahajaan, kedisiplinan, dan kebersamaan perlu diinternalisasi dalam budaya sekolah.
Kementerian Agama (2023) melalui program Moderasi Beragama di Satuan Pendidikan menegaskan bahwa sekolah adalah tempat terbaik untuk menumbuhkan agama yang toleran, menghargai perbedaan, dan berorientasi pada kemanusiaan. Dalam semangat itu, Hari Santri di sekolah bukan hanya peringatan tahunan, melainkan gerakan moral untuk membangun generasi yang religius dan inklusif.
Di era modern ini, menjadi santri bukan berarti harus meninggalkan teknologi atau modernitas. Justru sebaliknya — jiwa santri adalah panduan agar kemajuan tidak kehilangan arah. Sekolah yang berjiwa santri adalah sekolah yang memadukan iman dengan pengetahuan, adab dengan prestasi, dan doa dengan kerja keras.
Peringatan Hari Santri di sekolah hendaknya tidak berhenti pada seremonial, tetapi menjadi titik awal pembudayaan nilai Islam yang mencerahkan. Dari ruang kelas hingga halaman sekolah, dari guru hingga siswa, semangat santri perlu dihidupkan sebagai kekuatan moral bangsa.
Karena sesungguhnya, santri bukanlah status — melainkan sikap hidup. Sikap untuk terus belajar, berbuat baik, dan menebar manfaat di mana pun berada. Dan sekolah, dengan segala dinamikanya, adalah tempat terbaik untuk menanamkan benih-benih santri dalam diri generasi penerus negeri.(*)