Dua Ayah, Dua Kisah Cinta Tanpa Syarat

Bagikan :

*Menyambut Hari Ayah Nasional, 12 November 2025

Sarjiman dan Joko Triyanto, dua ayah di Yogyakarta

YOGYAKARTA, EDUKATOR--Menjadi ayah bukan sekadar peran sosial, tetapi panggilan jiwa. Bagi sebagian orang, perjalanan itu sederhana. Membesarkan anak, menafkahi keluarga, memastikan semuanya berjalan baik. Namun bagi Sarjiman dan Joko Triyanto, dua ayah dari Yogyakarta, peran itu hadir dengan ujian dan makna yang jauh lebih dalam. Yakni, mendampingi anak-anak mereka yang lahir dengan disabilitas.

Di antara rasa terkejut, kelelahan, dan harapan, mereka belajar bahwa cinta seorang ayah tak selalu ditunjukkan dengan kata-kata. Melainkan melalui kesetiaan, kesabaran, dan pelukan yang tak pernah lelah.

Bahasa Cinta Dalam Keheningan

Setiap pagi, Sarjiman, seorang ayah dari Jongke Lor, Sleman, membangunkan putranya, Angger Gagat Raino. Tak ada suara yang memanggil, hanya sentuhan lembut di bahu dan tatapan mata yang saling memahami.

Angger, 16 tahun kini. Lahir dengan kondisi Tuli. Sejak bayi, Sarjiman telah mencoba memperkenalkan musik, namun tak ada respon. Setelah diperiksa di RS Sardjito, hasilnya menunjukkan kerusakan saraf pendengaran sejak lahir. “Sangat terpukul waktu itu,” kenangnya. “Tapi mau bagaimana lagi? Anak ini tetap darah daging saya.”

Seiring waktu, Sarjiman menyadari bahwa membesarkan anak Tuli berarti juga belajar berbicara dalam bahasa baru. Ia mulai memahami bahwa komunikasi tak harus melalui suara. “Sekarang kami bisa saling ngobrol lewat isyarat. Kalau Angger tertawa, saya tahu dia bahagia. Kalau diam, saya tahu dia sedang berpikir,” ujarnya tersenyum.

Dalam keseharian, Sarjiman aktif membantu Angger menyiapkan perlengkapan sekolah sebelum bekerja. Di sela waktu luangnya, ia mengajak anaknya berinteraksi, bermain, bahkan memunculkan ide-ide kegiatan agar anaknya tak merasa sendiri. “Kesabaran itu tumbuh sendiri. Dan rejeki juga turut mengikuti,” katanya.

Keteguhan di Tengah Ujian

Sementara di sisi lain kota, Joko Triyanto, seorang ayah dua anak dari Timoho, Yogyakarta, menjalani hari-harinya dengan cara berbeda. Putra keduanya, Pidegso Musa Rhosydhus Kumojoyo, 14 tahun, lahir dengan kondisi cerebral palsy spastik akibat gangguan saat persalinan.

“Musa sempat tidak bernapas waktu lahir. Setelah beberapa hari mendapatkan perawatan intensif (NICU), baru bisa menangis. Tapi itu pun karena kejang,” ujar Joko.

Sejak saat itu, kehidupan keluarga Joko berubah sepenuhnya. Istrinya sempat berhenti bekerja selama beberapa tahun untuk fokus merawat Musa. Namun ketika kondisi ekonomi keluarga goyah, Joko justru mengambil keputusan yang jarang dilakukan banyak ayah. Ia berhenti dari pekerjaan kantoran dan memilih menjadi ayah penuh waktu.

“Dari pagi sampai malam saya sama Musa,” ujarnya pelan. “Makan pakai sonde, ganti posisi tidurnya, antar terapi. Semua saya lakukan sendiri.”

Joko belajar memasang selang makanan (NGT) setelah berkali-kali melihat perawat melakukannya. Saat pertama kali berhasil, ia merasa seperti baru memenangkan sesuatu yang besar. “Saya sampai nangis waktu itu. Rasanya bangga. Bukan karena sekedar bisa, tapi karena saya berhasil membantu anak saya sendiri,” katanya.

Di jalan, banyak orang yang menatapnya dengan kagum saat ia mengendarai motor sambil menggendong Musa menuju rumah sakit. “Pernah ada yang menepuk pundak, bilang ‘semangat, pak’. Saya nggak kenal orangnya, tapi itu bikin hati hangat,” katanya tersenyum.

Cinta Membentuk Kesabaran

Dua ayah ini tak saling kenal, tapi keduanya menapaki jalan yang sama. Jalan sunyi penuh pengorbanan. Bagi mereka, peran ayah bukan sekadar sosok yang bekerja mencari nafkah, tetapi juga hadir utuh dalam pengasuhan.

“Anak difabel itu bukan ujian, tapi jalan menuju kesabaran.Dari kenakalannya, kita belajar tenang. Dari tangisnya, kita belajar kuat,” ujar Sarjiman.

Joko pun sependapat. Ia menilai kunci dari semua ini adalah menerima. “Kalau belum bisa menerima, kita nggak akan tahu harus mulai dari mana. Tapi kalau sudah ikhlas, jalan pasti terbuka,” katanya.

Keduanya berharap semakin banyak ayah yang berani terlibat dalam pengasuhan anak difabel. Tidak hanya menyerahkan sepenuhnya kepada ibu, tapi ikut hadir secara fisik, emosional, dan batin.

Belajar dari Anak

Di akhir perbincangan, Sarjiman mengatakan sesuatu yang sederhana tapi menancap dalam. “Anak itu titipan Tuhan. Tugas kita bukan mengubahnya jadi seperti anak lain, tapi menjaga agar ia bisa jadi versi terbaik dirinya sendiri,” katanya.

Sementara Joko menutup dengan pesan lembut bagi para ayah lain. “Nggak perlu malu, nggak usah takut. Karena di balik anak yang kita rawat, selalu ada pelajaran hidup yang Tuhan titipkan,” ujarnya.

Dalam dunia yang sering kali menilai dari “kesempurnaan”, dua ayah ini mengajarkan arti cinta yang paling murni: mencintai tanpa syarat, merawat tanpa pamrih, dan berjuang tanpa suara.

Di tangan-tangan mereka, keheningan dan keterbatasan berubah menjadi bahasa cinta yang abadi. Cinta seorang ayah.

Yogyakarta, Minggu, 11 November 2025. (Harta Nining Wijaya)

BERITA TERKINI

inovasi2
Bupati Sadewo Serahkan Penghargaan Kepada Inovator Banyumas
ldkkts4
26 Pengurus OSIS SMPN 4 Kutasari Ikuti LDK
family dinner
Peringati Hari Anak Sedunia, Luminor Hotel Purwokerto Gelar "Family Dinner"
edu2
SMPN 3 Pengadegan Gelar Kokurikuler "Belajar dan Wirausaha"
Akhmad Fauzi1
Membangun Kejujuran dari Hal Sederhana: Ketika Barang Temuan Menjadi Pendidikan Karakter