*Panggung Sastra Jadi Ruang Ekspresi Seniman Lokal
Penampilan Agustav Triono
PURBALINGGA, EDUKATOR–Meski hujan mengguyur malam itu, semangat para pegiat seni sastra di Purbalingga tak surut. Mereka memenuhi Rumah Budidoyo, Desa Kalikajar, Kecamatan Kaligondang, untuk menghadiri Panggung Sastra Bulan Bahasa yang digelar oleh Komunitas Teater Sastra Perwira (Katasapa) Purbalingga, Sabtu malam (18/10/2025).
Acara yang dimulai pukul 20.00 WIB ini menjadi ajang perayaan kreativitas dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sastra.
Ketua Katasapa, Agustav Triono, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk partisipasi komunitas seni dalam menjaga semangat kebahasaan dan kesusastraan nasional.
“Salah satu ikrar Sumpah Pemuda adalah menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Oktober dirayakan sebagai Bulan Bahasa dan Sastra untuk mengenang peran besar bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa,” ujarnya.Penampilan Trisnanto Budidoyo
Menurutnya, Panggung Sastra menjadi ruang bagi seniman lokal untuk mengekspresikan diri sekaligus menghidupkan kembali gairah berkesenian di daerah.
Koordinator acara, Deka Aepama, menjelaskan bahwa Panggung Sastra menampilkan berbagai bentuk pertunjukan seperti pembacaan puisi, monolog, dramatik reading, serta diskusi seni dan sastra.
“Rumah Budidoyo bisa menjadi tempat alternatif baru bagi pegiat seni untuk mengekspresikan sekaligus mengapresiasi karya-karya mereka,” tuturnya.
Acara dibuka dengan sambutan Agustav Triono yang membacakan puisinya Anak-anak Bernyanyi di Jalanan, disusul penampilan Deka Aepama dengan Sajak Sebatang Lisong karya WS Rendra, dan penyair muda Ikrom Rifa’i yang turut membacakan puisinya sendiri.
Sorotan utama malam itu adalah monolog Putri Marila, pegiat teater muda Purbalingga yang membawakan Balada Sumarah karya Tentrem Lestari.
Pementasan tersebut menggambarkan perjuangan perempuan bernama Sumarah yang menghadapi ketidakadilan sejak masa pasca-1965 hingga menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Melalui aktingnya, penonton diajak merenungi potret perempuan Indonesia yang terpinggirkan oleh sistem dan kemiskinan. Selain itu, dramatik reading yang dibawakan oleh pegiat Katasapa juga menarik perhatian karena menjadi bentuk seni baru yang belum banyak dikenal di Purbalingga.
Acara diakhiri dengan diskusi hangat antara penampil dan penonton yang membahas pentingnya keberlanjutan kegiatan sastra di daerah. Dari perbincangan tersebut muncul harapan agar kegiatan serupa tidak hanya digelar di kota, melainkan juga menjangkau pelosok.
Melalui Panggung Sastra Bulan Bahasa, Katasapa Purbalingga menegaskan bahwa sastra tetap hidup, tumbuh, dan punya tempat di hati masyarakat. (*/Iko)