Anfield Wibowo, berfoto di depan karyanya. (Foto: Harta Nining Wijaya/EDUKATOR)
YOGYAKARTA, EDUKATOR--Namanya Anfield Wibowo. Lahir di Jakarta, 19 November 2004, kini tumbuh menjadi remaja yang meneguhkan dirinya sebagai pelukis. Ia Tuli dan Autistik. Namun, itu bukanlah batasan. Melainkan jalan untuk menemukan dunianya sendiri. Dengan warna, goresan, dan imajinasi, Anfield menjawab pertanyaan tentang siapa dirinya.
Di balik setiap karya, ada cinta yang tak pernah putus dari orang tuanya, Donny Madonius dan Veronica C.D, yang memilih untuk setia mendampinginya.
Sejak usia dini, tanda-tanda kecintaan Anfield pada seni sudah tampak jelas. Donny mengingat bagaimana anaknya lebih tertarik pada alat tulis, puzzle, atau balok-balokan ketimbang mobil-mobilan, robot, atau bola.
“Dia enjoy sekali jika mencorat-coret di kertas, papan tulis, atau dinding. Walaupun kami bukan dari keluarga seni rupa, kami melihat goresannya, pemilihan warnanya, sudah berbeda dengan anak seusianya. Corat-coretnya sudah berbentuk,” tutur Donny.
Dari situlah ia dan istrinya mulai menyadari bahwa anak mereka memiliki bakat melukis.
Penerimaan dan Tantangan
Namun perjalanan mereka tidak sederhana. Mengetahui bahwa Anfield Tuli dan Autistik sempat menjadi pergulatan berat. “Awalnya cukup berat,” kenang Donny.Anfield merespon (melanjutkan) goresan kuas Paus Fransiskus
Mereka memilih untuk mencari informasi sebanyak mungkin, membaca, belajar, bergabung dengan komunitas, hingga akhirnya menemukan sekolah yang cocok: Sekolah Luar Biasa Khusus Tunarungu (SLB B) Pangudiluhur, Jakarta. Dan satu tahun lalu, tepatnya Mei 2024, Ia lulus jenjang SMALB.
Penerimaan Menjadi Kunci.
Veronica menambahkan, pihaknya selalu berusaha membuat Anfield nyaman. “Kami ingin hatinya senang, karena kalau hatinya senang, lukisannya juga luar biasa,” ujarnya.
Mendampingi tumbuh kembang anak difabel selalu penuh dinamika. Tantangan terbesar bagi keluarga ini adalah bagaimana membangun komunikasi yang efektif. Sekaligus menghadapi perubahan pola pikir, sifat, dan emosi Anfield yang terus berkembang seiring bertambah usia.
Tetapi justru di situlah cinta diuji. Bagi Donny, hadir di setiap pameran bukan sekadar kewajiban, melainkan sebuah makna yang dalam. “Pendampingan adalah bentuk cinta. Kehadiran keluarga tanda dukungan, tanda apresiasi baginya,” katanya, Jumat (12/9/2025).
Keluarga memberikan ruang seluas-luasnya bagi Anfield untuk berkarya. Tidak ada batasan. Kanvas bisa diganti kardus, kain, kertas, atau media lain. Bentuk karya pun bebas, dari lukisan dua dimensi hingga diorama tiga dimensi. Yang penting, ide dan imajinasi Anfield tidak terhenti.
Momen berkesan
Dari sekian banyak pengalaman melukis on the spot (melukis di lokasi), ada momen yang sulit dilupakan. Anfield pernah meneruskan goresan Permaisuri Masako dari Jepang (2023), Presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Taman Ismail Marzuki (2023), Gubernur Daerah Khusus Jakarta Pramono Anung (2024). Namun yang paling membekas adalah ketika Anfield melanjutkan goresan Paus Fransiskus di Jakarta (2024).
“Berkesan sekali, karena beliau tokoh dunia sekaligus pemimpin agama kami. Sulit diungkapkan dengan kata-kata, apalagi Anfield terpilih dan melakukannya dengan baik,” kata Donny penuh haru.
Suara Anfield
Dalam percakapan singkat, Anfield menjawab dengan lugas apa yang ia rasakan. “Anfield merasa senang, bergembira saat melukis,” tulisnya. Warna favoritnya adalah merah. Artinya warna energi, keberanian, sekaligus cinta.
Ia tidak terganggu jika banyak orang menyaksikannya melukis. Sebaliknya, ia merasa senang. “Agar Anfield semakin mahir dan menjadi pekerjaan,” katanya tentang mimpinya dengan lukisan. Dan satu hal yang selalu ia sebut: sosok yang paling sering mendampinginya adalah Papa.
Harapan dan pesan
Selain Donny, Veronica pun memiliki peran besar dalam keseharian. Ia selalu memastikan semua alat tersedia, menemani saat berkarya, bahkan sekadar memberi jempol untuk setiap karya yang ditunjukkan. “Dia senang sekali kalau kita beri jempol. Itu tandanya karyanya disenangi dan bagus. Jadi Anfield semakin semangat mengerjakannya,” ungkapnya sambil tersenyum.
Veronica juga menekankan pentingnya membawa Anfield keluar rumah untuk mendapatkan pengalaman baru. “Kalau hatinya senang, lukisannya juga luar biasa,” katanya.
Bagi keluarga ini, pendampingan bukan hanya soal teknik, tapi juga soal menjaga hati tetap bahagia.
Donny berharap karya-karya Anfield suatu hari dapat memberi manfaat: untuk dirinya, masa depannya, masyarakat, bangsa, dan menjadi bagian dari kekayaan seni Indonesia. Namun lebih dari itu, Donny melihat semua perjalanan ini sebagai amanah.
“Memaknai perjalanan ini sebagai tugas mulia yang Tuhan berikan kepada kami sebagai orang tua. Penerimaan total adalah kunci,” ujarnya mantap.
Pesannya untuk orang tua lain yang memiliki anak difabel sederhana tapi kuat: “Terimalah anak apa adanya. Jangan membandingkan dengan anak lain. Support dia, apresiasi dia atas usaha yang dilakukan, dan tetap semangat.”
Kisah Anfield dan keluarganya adalah cerita tentang cinta tanpa batas, penerimaan yang tulus, dan keyakinan bahwa setiap anak memiliki keunikan yang layak dihargai.
Anfield bukan hanya tumbuh sebagai pelukis, tetapi juga sebagai bukti bahwa dukungan penuh dari keluarga mampu menyalakan cahaya dalam diri seorang anak difabel. (Harta Nining Wijaya)