Oleh: Ākhmad Fauzi, S.S., S.Pd.
Guru SMP Negeri 2 Kutasari, Kabupaten Purbalingga
KETIKA peringatan Hari Guru Nasional dan HUTke-80 PGRI disiarkan di televisi, sebuah pesan sederhana dari Presiden Republik Indonesia kepada murid dan guru telah menarik perhatian publik , termasuk saya. Kalimatnya tidak bertele-tele, bahkan dapat dikatakan sangat mendasar. Pesan itu tertulis “Belajarlah yang baik! Cintai ayah dan ibu! Hormati guru! Rukun sama teman! Cintai Tanah Air kita! Merdeka!”
Sekilas, pesan itu seperti nasihat yang biasa diucapkan orang tua kepada anak-anaknya. Namun, kesederhanaan ini justru memunculkan pertanyaan penting: Apakah keadaan dunia pendidikan kita sedang sedemikian genting hingga presiden harus menegaskan kembali hal-hal yang seharusnya menjadi dasar perilaku setiap siswa? Tentu saja jawabannya “iya” dan tidak bisa kita pungkiri.
Saya termasuk orang yang menjawab “iya”, karena pesan sederhana Presiden tersebut sesungguhnya mencerminkan kondisi nyata dunia pendidikan kita. Ketika nilai-nilai paling mendasar seperti belajar yang baik, menghormati guru, hidup rukun, dan mencintai orang tua serta Tanah Air masih perlu diingatkan oleh kepala negara, itu menunjukkan adanya kegentingan moral dan sosial yang tidak bisa diabaikan.
Peringatan ini bukan sekadar seremonial, tetapi alarm halus bahwa fondasi karakter peserta didik kita sedang mengalami retakan.
Fenomena degradasi kedisiplinan, meningkatnya kasus perundungan, rendahnya etika dalam interaksi digital, serta semakin jauhnya hubungan emosional antara siswa dan guru memperlihatkan bahwa masalah kita bukan sekadar teknis pembelajaran, melainkan krisis pemaknaan terhadap nilai-nilai dasar.
Di tengah arus informasi yang serba cepat, banyak anak kehilangan arah dalam menata perilaku, sementara sebagian guru sibuk menjaga ritme kurikulum sehingga kurang ruang untuk pembinaan karakter.
Karena itulah pesan Presiden yang tampak sederhana itu justru terasa relevan dan menohok. Sepertinya Presiden sedang mengingatkan kita bahwa sebelum berbicara tentang kecerdasan digital, kompetensi abad 21, atau inovasi pembelajaran, kita perlu memastikan bahwa siswa memiliki fondasi karakter yang kuat. Tanpa itu semua, kecerdasan hanya menjadi keterampilan kosong tanpa nilai.
Jadi, ketika ditanya apakah kondisi pendidikan kita sedang genting hingga presiden merasa perlu menegaskan kembali nilai-nilai dasar tersebut, saya menjawab “iya” karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa peringatan sederhana itu tidak muncul dari ruang hampa, tetapi dari kebutuhan nyata untuk kembali kepada hal yang paling esensial, yaitu membentuk manusia yang beradab.
Pesan pertama yang menekankan Belajar yang Baik dapat dikatakan sebuah seruan menghadapi krisis pembelajaran. Dalam hal ini, Presiden tidak sekadar mengingatkan murid untuk belajar. Ia juga sedang menyoroti fenomena nasional, yaitu hal terkait menurunnya minat belajar, ketimpangan kualitas antar sekolah, distraksi gadget yang semakin merajalela, dan learning loss pascapandemi yang belum benar-benar pulih.
Dalam kompetisi global, bangsa yang tidak serius belajar akan tertinggal. Karena itu, pesan “Belajarlah yang baik” bukan tagihan moral personal, tetapi panggilan kebangsaan.
Pada Pesan kedua, yang mengarah pada mencintai ayah ibu. Hal ini dikarenakan adanya keluarga yang mulai jauh. Salah satu gejala sosial terbesar saat ini adalah renggangnya hubungan antara anak dan orang tua.
Waktu berkualitas telah digantikan oleh layar ponsel, komunikasi pun bergeser menjadi pesan singkat yang dingin, dan banyak keluarga kehilangan kedekatan emosional.
Dengan menuliskan “Cintai ayah dan ibu”, presiden sesungguhnya ingin mengembalikan peran keluarga sebagai madrasah pertama dalam pendidikan karakter. Tanpa keluarga yang hangat dan harmonis, pendidikan nilai di sekolah akan timpang.
Adapun dalam pesan ketiga, dan tertulis hormati Guru, presiden telah mencermati adanya menurunnya wibawa pendidik. Saat ini guru tidak hanya mengajar, tetapi juga menghadapi tekanan sosial yang rumit.
Banyaknya laporan tentang berbagai kasus, seperti siswa yang berperilaku tidak sopan, orang tua yang menyalahkan guru secara berlebihan, kasus pelecehan otoritas guru di sekolah dan pesantren, serta maraknya publikasi di media sosial yang kadang terkesan menyudutkan guru.
Oleh karena itu, seruan “Hormati guru!” adalah upaya mengembalikan martabat pendidik. Tanpa penghormatan guru, proses belajar akan kehilangan jiwa.
Pesan hormati guru juga menjadi bentuk pembelaan terhadap wibawa guru, Presiden Prabowo meminta agar otoritas guru dalam mendisiplinkan murid dijaga.
Ia secara spesifik mengingatkan para orang tua untuk tidak serta merta menyalahkan guru yang bersikap tegas, karena bisa jadi sang anak yang bermasalah atau nakal. Beliau bahkan berkelakar bahwa ia dulu juga termasuk anak yang nakal, dan menurutnya beruntung karena kini bisa menjadi presiden berkat didikan para guru.
Sedangkan pada pesan keempat tertulis Rukun sama Teman adalah mencermati masih adanya kasus Bullying di sekolah. Kasus perundungan meningkat, baik di dunia nyata maupun digital. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi ruang ketakutan bagi sebagian siswa yang ingin belajar.
Rukun Sesama Teman
Dengan menuliskan “Rukun sama Teman”, presiden menandai bahwa kerukunan bukan lagi norma otomatis ada, tetapi sesuatu yang harus diajarkan kembali. Ini adalah peringatan bahwa empati dan kesadaran sosial kita sedang terkikis.
Sedangkan pada pesan yang kelima tertulis Cinta Tanah Air adalah karena adanya jati diri yang melemah. Di era globalisasi, anak-anak mudah menyerap budaya luar tanpa filter. Nilai kebangsaan sering dianggap kuno, padahal justru itulah yang mempersatukan Indonesia.
Seruan “Cintai Tanah Air kita!” adalah pengingat bahwa identitas nasional tidak boleh larut dalam arus digital yang tak berbatas. Identitas nasional adalah penjaga integritas generasi masa depan.
Pada akhir pesannya, presiden menulis kata yang tidak asing di telinga kita, yaitu kata Merdeka! Menurut saya, ini lebih dari sekadar Slogan. Kata “Merdeka!” di ujung pesan beliau bukan sekedar hiasan. Ini adalah ajakan agar murid memiliki kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berkreasi, dan kemerdekaan menjadi manusia yang percaya diri.
Di tengah serangan informasi dan tekanan sosial, merdeka berarti tidak diperbudak teknologi, trend, ataupun opini mayoritas. Dalam konteks tersebut, merdeka sebagai kebebasan pribadi dari pengaruh-pengaruh eksternal yang dominan dalam masyarakat saat ini.
Kemerdekaan sejati diartikan sebagai kemampuan untuk membuat pilihan dan membentuk diri sendiri, tanpa didominasi atau “diperbudak” oleh hal-hal yang disebutkan tersebut.
Mungkin banyak orang yang mengira bahwa pesan presiden terlalu dasar. Namun kesederhanaan itulah yang membuat pesan ini justru sangat relevan. Ketika hal-hal mendasar harus diingatkan kembali oleh presiden, itu berarti bangsa sedang mengalami kegentingan karakter.
Pesan ini bukan sekadar tulisan tangan dalam sebuah poster. Ia adalah alarm moral bagi semua: guru, orang tua, pemimpin sekolah, dan terutama murid-murid Indonesia. Sebab bangsa besar tidak dibangun oleh pengetahuan semata, tetapi oleh karakter yang kuat, yaitu karakter yang berakar pada belajar yang sungguh-sungguh, kasih sayang keluarga, hormat kepada guru, kerukunan sosial, cinta tanah air, dan semangat kemerdekaan sejati.
Secara keseluruhan, “krisis moral” dalam konteks artikel ini adalah sebuah krisis multidimensi yang meliputi kedisiplinan, etika sosial, etika digital, dan memudarnya peran institusi dasar (keluarga dan guru) dalam pembentukan karakter.(*)
Daftar Pustaka
1.https://www.kompas.tv/pendidikan/634244/prabowo-bela-sikap-tegas-guru-hei-orang-tua-jangan-jangan-anakmu-yang-nakal#google_vignette
2.https://berita.depok.go.id/kasus-bullying-di-smpn-8-dp3ap2kb-depok-fokus-pemulihan-psikologis-korban
3.https://bapenda.jabarprov.go.id/2025/11/05/guru-menampar-ortu-melawan-begini-kronologi-yang-sebenarnya/
4.https://www.iainpare.ac.id/en/blog/news-1/menanggapi-kasus-viral-guru-supriyani-dan-tuduhan-kekerasan-di-sekolah-akademisi-iain-parepare-beri-solusi-agar-tidak-berulang-4136.