Oleh: Ākhmad Fauzi, S.S., S.Pd.
Guru SMP Negeri 2 Kutasari, Kabupaten Purbalingga
SAAT INI dunia pendidikan kembali tercoreng oleh peristiwa yang memprihatinkan. Viral di berbagai media sosial, sekelompok siswa melakukan aksi mogok belajar sebagai bentuk dukungan terhadap temannya yang mendapat teguran dari kepala sekolah karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Aksi yang seharusnya menunjukkan solidaritas antarsiswa justru berubah menjadi bentuk pembenaran terhadap perilaku yang salah. Fenomena ini menjadi cermin betapa nilai moral, kesantunan, dan pemahaman etika sosial di kalangan pelajar mengalami pergeseran yang mengkhawatirkan.
Sungguh ironis, ketika sekolah, yang seharusnya menjadi tempat menanamkan karakter disiplin dan tanggung jawab, justru menjadi arena pembelaan terhadap perilaku yang menyalahi norma. Kasus ini bukan sekadar tentang rokok, tetapi tentang hilangnya keteladanan dan lemahnya kesadaran moral baik di kalangan siswa maupun lingkungan sosial yang membentuknya.
Berbicara tentang merokok, mungkin perlu juga saya bertanya; “Anda termasuk perokok yang mana? Perokok yang tahu hak orang lain, atau perokok yang tidak peduli dengan kesantunan?”
Pertanyaan ini muncul sebagai renungan agar kita ikut menjaga interaksi sosial yang berwawasan kesehatan. Seperti halnya pembangunan yang berwawasan lingkungan, hubungan sosial pun seharusnya berwawasan kesehatan dan menjunjung tinggi nilai etika.
Menurut para ahli ekologi, keberhasilan pembangunan ditentukan oleh sejauh mana manusia memperhatikan daya dukung lingkungannya. Begitu pula dengan interaksi sosial: ketika hubungan antarindividu memperhatikan nilai-nilai sosial dan kesehatan, maka kualitas masyarakat yang dihasilkan pun akan lebih baik.
Namun sayangnya, kesadaran untuk hidup sehat dan santun dalam berinteraksi masih menjadi tantangan besar, terutama dalam konteks kebiasaan merokok.
Fenomena dalam kasus tersebut menunjukkan adanya pergeseran nilai di kalangan remaja, di mana perilaku yang seharusnya dikoreksi justru dibela. Sekolah sebagai lembaga pendidikan semestinya menjadi tempat penanaman nilai moral, karakter, dan disiplin, kini justru dihadapkan pada tantangan serius: bagaimana mengembalikan makna pendidikan sebagai proses pembentukan akhlak dan tanggung jawab sosial.
Sikap siswa yang membela perilaku negatif ini memperlihatkan lemahnya pemahaman mereka terhadap aturan dan tanggung jawab moral. Padahal, teguran kepala sekolah bukanlah bentuk hukuman semata, melainkan upaya pembinaan agar peserta didik menyadari kesalahan dan tidak mengulanginya.
Namun, ketika siswa lain memandang teguran itu sebagai sesuatu yang tidak adil, muncul pertanyaan besar: di mana letak krisis nilai yang sedang kita hadapi?
Lebih jauh, fenomena ini mengindikasikan bahwa proses pendidikan karakter di sekolah belum sepenuhnya berhasil. Perilaku solidaritas yang seharusnya diarahkan pada hal positif, seperti saling menasihati dalam kebaikan, justru terdistorsi menjadi pembenaran terhadap pelanggaran. Hal ini menjadi cermin bahwa pendidikan moral dan keteladanan di sekolah perlu diperkuat kembali, baik melalui guru, lingkungan, maupun keterlibatan orang tua.
Solusi
Menghadapi fenomena siswa yang merokok dan mendapat dukungan dari teman-temannya hingga melakukan aksi mogok belajar, dibutuhkan langkah-langkah bijak, tegas, dan edukatif dari berbagai pihak seperti sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat. Beberapa solusi berikut dapat menjadi alternatif dalam mengatasi kasus tersebut:
Pertama, Pendekatan Pembinaan, Bukan Semata Hukuman
Kepala sekolah dan guru perlu menempatkan teguran bukan sekadar sebagai bentuk hukuman, tetapi sebagai sarana pembinaan karakter. Siswa yang melanggar sebaiknya diajak berdialog secara terbuka untuk memahami alasan di balik tindakannya. Pendekatan persuasif seperti counseling (konseling) atau bimbingan rohani dapat membantu siswa menyadari kesalahan dan menumbuhkan kesadaran diri untuk berubah.
Kedua, Penguatan Pendidikan Karakter dan Keteladanan Guru
Guru adalah cerminan perilaku bagi siswa. Maka, keteladanan guru dalam bersikap, bertutur, dan bertindak menjadi kunci utama dalam membangun karakter siswa yang disiplin dan santun. Kegiatan pembiasaan seperti literasi karakter, refleksi pagi, dan student talk dapat dijadikan sarana untuk menanamkan nilai tanggung jawab, kejujuran, dan kepedulian sosial.
Ketiga, Kolaborasi dengan Orang Tua dan Komite Sekolah
Orang tua memiliki peran vital dalam pengawasan perilaku anak di luar sekolah. Sekolah perlu membangun komunikasi dua arah dengan orang tua melalui forum seperti Parent Meeting atau home visit. Dengan demikian, pembinaan terhadap siswa tidak berhenti di sekolah saja, tetapi berlanjut di rumah dalam bentuk perhatian dan keteladanan dari orang tua.
Keempat, Program Sekolah Ramah Anak dan Lingkungan Bebas Rokok
Sekolah perlu menegaskan kembali komitmen sebagai zona bebas rokok, dengan memperkuat regulasi dan sosialisasi tentang bahaya rokok. Kegiatan seperti poster competition, kampanye anti rokok, dan deklarasi sehat tanpa asap rokok bisa menjadi media edukasi kreatif agar siswa menyadari bahaya perilaku tersebut.
Kelima, Revitalisasi Peran OSIS dan Organisasi Siswa Lainnya
OSIS dan organisasi kesiswaan dapat menjadi mitra penting sekolah dalam membangun budaya positif. Daripada ikut melakukan aksi solidaritas yang keliru, mereka perlu diarahkan untuk menjadi pelopor gerakan disiplin dan pembina karakter teman sebaya (peer educator).
Keenam, Pembudayaan Etika Merokok bagi yang Sudah Terlanjur
Perlu dibangun budaya merokok yang beretika dan beradab. Beberapa nilai etika yang dapat dijadikan pedoman antara lain: mematuhi larangan merokok di area publik, tidak merokok di dekat anak-anak atau ibu hamil, serta tidak membuang puntung sembarangan.
Rokok bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga soal kesantunan sosial dan moralitas publik. Jika siswa bisa memahami bahwa etika adalah bentuk penghormatan terhadap hak orang lain, maka perilaku beradab akan lahir dari kesadaran, bukan paksaan.
Oleh karena itu, bagi yang belum merokok, janganlah memulai. Dan bagi yang sudah menjadi ‘ahli hisap’, merokoklah dengan santun dan beradab, karena sejatinya pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi tentang bagaimana kita menebarkan teladan yang baik bagi sesama.
Kasus siswa merokok di sekolah dan dukungan mogok belajar yang menyertainya bukan sekadar masalah disiplin, tetapi cerminan krisis moral dan lemahnya pendidikan karakter.
Oleh karena itu, solusi tidak bisa ditempuh dengan cara represif semata, melainkan melalui kolaborasi antara pembinaan, keteladanan, komunikasi dengan orang tua, serta penanaman nilai karakter sejak dini.
Sekolah harus kembali pada jati dirinya sebagai tempat membentuk manusia berakhlak, bukan sekadar tempat mencari nilai akademik. Dengan demikian, pendidikan akan benar-benar menjadi proses yang memanusiakan manusia, membangun generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter, santun, dan bertanggung jawab. (*)