Festival HAM 2024, Menghadirkan Ruang Inklusif bagi Kelompok Difabel di Tingkat Kota dan Kelurahan

by -160 Views

YOGYAKARTA, EDUKATOR--Festival Hak Asasi Manusia /Festival HAM tahun 2024, selama tiga hari sejak Senin (29/7/2024) hingga Rabu (31/7/2024) digelar di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Festival HAM diharapkan bisa memperkuat komitmen bersama untuk memajukan dan melindungi HAM.

Penyelenggaraan Festival HAM Tahun 2024 ini adalah ke 11, sekaligus perayaan satu dekade pertama perhelatan Festival HAM. Satu momentum, sekaligus pengingat esensi dari pelaksanaan Festival HAM bagi pemangku kewajiban (duty bearer), maupun pemangku hak (right holder).

Sebagai pemangku kewajiban, para pemimpin daerah perlu lebih banyak diberikan ruang dalam bertukar ide dan pengalaman. Baik praktek HAM khususnya dengan pimpinan daerah lain dan peluang berkolaborasi, bersama mitra kunci lainnya.

Begitu pun dengan warga negara. Sebagai pemangku hak, warga masyarakat dan komunitas sipil juga perlu diberikan pemahaman substansi HAM. Hak Asasi Manusia, yang tidak saja berbasis elit. Namun juga penerapan HAM dalam kehidupan sehari-hari. Di kehidupan masyarakat difabel yang bermukim di kota, pun di desa.

Apa itu Festival HAM? Adalah ajang promosi, untuk memastikan bahwa pemerintah daerah maupun pusat, memiliki konsentrasi dan perspektif yang lebih baik, dalam pemajuan dan penegakan hak asasi manusia. Kali ini, berkolaborasi dengan Pemerintah Kota Bitung sebagai tuan rumah.

Menyoal pemenuhan hak difabel

Bagaimanakah demokrasi, pelaksanaan dan pemenuhan hak asasi dan partisipasi masyarakat difabel di berbagai tataran kehidupan? Banyak pertanyaan, kekhawatiran, sekaligus harapan yang membuncah pada hari-hari ini hingga mendatang.

Diskusi paralel dengan tema “Menguatnya Pemenuhan Hak Difabel di Tingkat Kota dan Kelurahan Melalui Pengembangan Kota dan Kelurahan Inklusif,” pun digelar pada Rabu (31/7). Salah satu agenda dalam Festival HAM dengan fokus membahas inklusivitas. Baik di tataran perkotaan, kabupaten, kecamatan, hingga kelurahan atau desa, dengan mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan khusus difabel.

Dalam keterangan tertulis, SIGAB Indonesia menyampaikan catatannya. Bahwa, fakta di lapangan menjukkan bahwa pemenuhan hak difabel, masih bersifat sektoral. Berangkat dari situasi tersebut, maka dalam diskusi paralel ini menghadirkan para pemangku kepentingan untuk merumuskan langkah-langkah strategis guna mewujudkan inklusivitas yang lebih baik di tingkat kota dan kelurahan.

Mengawali diskusi paralel, Direktur SIGAB Indonesia M. Joni Yulianto menyampaikan praktik baik lembaganya. Kurang lebih 10 tahun lalu, SIGAB telah memulai gagasan desa inklusi, kata dia. Bagaimana menghadirkan ruang inklusif bagi difabel di kelompok desa terus bergulir. Hingga muncul kebijakan peraturan menteri desa, yang mengatur penggunaan dana desa. “SIGAB Indonesia telah mendampingi sebanyak 80 desa lebih. Yang saat ini berproses sebanyak 62 desa,” tandasnya.

Lebih lanjut Joni menyampaikan bahwa, desa inklusi sudah menghadirkan inisiatif layanan dasar bagi difabel di tingkat desa. Namun, diakuinya, masih ada GAB atau kesenjangan yang terjadi. Bahwa praktik baik di tingkat desa, tidak mudah diadopsi dan diterapkan di tingkat kota.

Sejalan dengan tema Festival HAM 2024 ini, diharapkan menjadi awal untuk melahirkan kebijakan yang dapat memastikan hak kelompok difabel. Tidak hanya di tingkat desa saja. Namun juga di tingkat kota, kecamatan, kelurahan, hal yang sama dapat dibangun bersama.

Pada kesempatan yang sama, Deputi V bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pertahanan dan Hak Asasi Manusia di Kantor Staf Presiden Republik Indonesia Jaleswari Pramodhawardani, menegaskan. Bahwa partisipasi semua pihak dalam Festival HAM ini, sangat berarti dalam mewujudkan pemenuhan hak difabel melalui kota dan kelurahan Inklusi.

Indeks inklusivitas menurun

Indeks inklusivitas, kata Jaleswari, akan mengukur tingkat pemenuhan hak-hak kaum marginal salah satunya disabilitas, untuk mewujudkan pembangunan inklusif. Indonesia mengalami trend skor indeks fluktuatif. Menurun pada 2023. Performa Indonesia juga masih berada di bawah rerata global. Adapun di tingkat kawasan (Asean), peringkat Indonesia di bawah Filipina, Vietnam dan Thailand. Posisi Indonesia relative rendah pada kategori disabilitas. Berada pada peringkat 88 dari 128 negara.

Pasca meratifikasi UNCRPD melalui UU Nomor 19 tahun 2011, Indonesia telah mengesahkan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dengan aturan turunannya berupa 7 Peraturan Pemerintah (PP) dan 3 Peraturan Presiden (Perpres).

Ditindaklanjuti daerah dengan membentuk dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda). Hingga 2021, Kementerian PPN/Bappenas mencatat sebanyak 109 dari 548 (19,8%) daerah di Indonesia telah memiliki Perda. DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta, merupakan dua provinsi yang kabupaten/kotanya sudah mencapai 100% memiliki Perda tentang penyandang disabilitas. Adapun yang pencapainnya lebih dari 50%, baru Provinsi Bali dan Jawa Tengah. Selebihnya masih di bawah 50%.

Ketimpangan implementasi

Artinya apa? Implementasi dari kebijakan belum berjalan sebagaimana seharusnya. Hal ini terjadi pada berbagai sector kehidupan. Apakah kesehatan, pendidikan, pekerjaan, hukum juga HAM, dan lain sebagainya.

Data menjadi penting. Karena data adalah pembuka mata. Ketika ada data akan mudah dieksekusi. Hal ini di-higtlight Jaleswari Pramodhawardani. Ada kesenjangan signifikan pada bidang pendidikan. Yaitu tidak tamat SD/sederajat atau belum pernah sekolah sebesar 70,76%. Sedang penduduk difabel usia 15 tahuin ke atas yang berpendidikan SD/sederajat ke bawah hanya sebesar 36,05%. Semakin tinggi jenjang opendidikan, semakin sedikit persentase jumlah difabel yang menamatkan pendidikan.

Artinya, lanjut Jaleswari, mayoritas difabel masih berpendidikan rendah. “Pendidikan untuk difabel belum ditopang kuat oleh pemerintah. Belum ditunjang dengan pendidikan yang memadai. Pendidikan untuk difabel tidak murah. Perlu kolaborasi banyak pihak dalam memenuhinya,” ujarnya.

Bagaimana dengan dunia kerja? Rasio kesenjangan angkatan kerja mencapai 89% pada 2021. Sedang rerata global di angka 65%. Menunjukkan difabel di Indonesia belum mendapat akses dalam dunia kerja. Jumlah warga difabel di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa. Atau 8,5% dari jumlah penduduk Indonesia.

Di akhir paparannya, Jaleswari menegaskan, “Festival HAM ini sangat penting. Semoga pada masa depan festival HAM ini terus akan ada. Untuk mewujudkan kota inklusif kita semua punya peranan penting,” ujarnya.

“Jalan menuju kemajuan adalah jalan bagi kita semua. Aksesibilitas bukan sekedar fasilitas, namun cerminan kemanusiaan. Pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama dalam pemenuhannnya. No one left behind,” pungkas Jaleswari.

Capaian dan tantangan

Koordinator Program Desa Inklusi SIGAB Indonesia Kuni Fathonah, memaparkan praktek baik yang telah dijalankannya sepanjang satu dekade. Ketika itu dimulai sejak 2014. Desai inklusif, kata dia, ialah kondisi kehidupan di desa yang setiap warganya secara sekarela membuka ruang kehidupan bagi siapa saja, dalam hal ini kelompok masyarakat difabel.

Terdapat 9 indikator desa inklusi yang diterapkan lanjut Kuni Fathonah. Yaitu: 1) keberadaan data dan informasi tentang asset desa yang komprehensif dan terus diperbaharui. Termasulk data difabe; 2) adanya wadah bagi warga difabel bermusyawarah; 3) jaminan keterlibatan difabel dalam proses pengambilan kebijakan; 4) perencanaan anggaran yang mengarusutamakan inklusi difabel. Baik dalam proses, alokasi anggaran, realisasi dan evaluasinya; 5) lahirnya regulasi yang mengatur pemenuhan hak warga difabel; 6) layanan umum di desa yang inklusif dan aksesibilitas; 7) keberadaan sarana fisik yang aksesibel; 8) adanya bentuk tanggung jawab social dari masyarakat; dan 9) adanya ruang untuk berinovasi dan berjejaring.

Tak semua proses inklusivitas di desa berjalan lancar. Tantangan pun muncul. Di antaranya: 1) tidak adanya anggaran untuk kelompok difabel di kelurahan; 2) kelurahan tidak punya kewenangan dan dokumen perencanaan sendiri; 3) usulan dalam proses musrenbangkel hanya dijadikan input; 4) kewenangan penuh ada pada pemerintah kota.

Solusi dibutuhkan

Dukungan pemerintah kota pun dibutuhkan. Di antaranya, 1) adanya indikator kota hingga kelurahan inklusif. Hal ini penting untuk membumikam inklusi difabel hingga ke tingkat kelurahan; 2) kebijakan dan program pemerintah kota untuk mendukung lahirnya inklusivitas hiongga ke tingkat kelurahan; 3) dukungan advokasi dan kebijakan kementerian dalam negeri; serta 4) dukungan advokasi dan monitoring multi pihak. (Harta Nining Wijaya)

No More Posts Available.

No more pages to load.