
Oleh: Untung Pujiarto, S.Pd
Pemerhati Bahasa Indonesia
Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 1 Padamara
Kabupaten Purbalingga 
DALAM era globalisasi yang serba terbuka ini, arus budaya asing mengalir begitu deras tanpa sekat. Dunia digital mempercepat proses percampuran bahasa, gaya hidup, dan nilai-nilai sosial lintas negara. Di tengah keterbukaan tersebut, muncul fenomena yang kian mengkhawatirkan: xenomania — sebuah sikap berlebihan dalam mengagumi dan mengutamakan segala hal yang berasal dari luar negeri.
Pada tataran budaya, xenomania telah menimbulkan efek domino yang merugikan terhadap eksistensi bahasa Indonesia dan bahkan berpotensi menggoyahkan fondasi perekonomian nasional.
Xenomania: Gairah Semu yang Menggerus Jati Diri
Xenomania bukan sekadar ketertarikan pada budaya asing. Ia adalah bentuk ketakutan terselubung terhadap identitas sendiri. Banyak orang, terutama generasi muda, menganggap penggunaan bahasa asing—terutama bahasa Inggris—sebagai simbol modernitas, kecerdasan, dan kelas sosial tinggi. Akibatnya, bahasa Indonesia mulai kehilangan ruang terhormat di negeri sendiri.
Fenomena ini dapat kita temui di berbagai ranah: papan nama toko yang berbahasa Inggris, jargon iklan yang menanggalkan bahasa Indonesia, hingga percakapan sehari-hari di media sosial yang dipenuhi campur kode. Slogan-slogan seperti sale up to 70%, open house, atau grand opening menjadi lebih familiar daripada padanannya dalam bahasa sendiri. Bahasa Indonesia kian tersisih, diperlakukan hanya sebagai alat komunikasi formal, bukan kebanggaan nasional.
Bahasa dan Identitas: Pilar yang Terancam
Bahasa adalah lambang identitas bangsa. Ia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan wadah pikiran, budaya, dan kepribadian kolektif masyarakat. Ketika bahasa mulai ditinggalkan, maka jati diri bangsa ikut luntur. Xenomania menjadikan generasi muda lebih hafal istilah asing dibandingkan kosa kata baku dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, muncul jarak antara bahasa dan pemiliknya sendiri.
Fenomena ini berbahaya. Bahasa yang kehilangan penuturnya lambat laun akan kehilangan fungsinya. Sejarah membuktikan bahwa banyak bahasa di dunia punah bukan karena perang atau penjajahan, melainkan karena ketidakpedulian penuturnya sendiri.
Bila kecenderungan xenomania terus dibiarkan, bukan mustahil bahasa Indonesia akan mengalami nasib serupa di masa depan—hidup hanya di dokumen resmi, tetapi mati di keseharian rakyatnya.
Xenomania dan Krisis Ekonomi Kultural
Dampak xenomania tidak berhenti pada tataran bahasa. Dalam skala lebih luas, ia berpotensi menghancurkan perekonomian nasional. Ketika masyarakat lebih mengagungkan produk luar negeri daripada produk dalam negeri, maka sirkulasi ekonomi dalam negeri terganggu. Fenomena brand minded terhadap produk asing—mulai dari pakaian, makanan, hingga gawai—menyebabkan arus uang mengalir ke luar negeri.
Pelaku usaha lokal pun kehilangan kepercayaan diri. Mereka merasa produk lokal tidak memiliki nilai jual tanpa label asing. Akhirnya, muncul ironi: banyak merek lokal yang menggunakan nama asing demi menaikkan gengsi pasar domestik. Padahal, di balik kemasan berbahasa Inggris itu, isinya tetap produk anak bangsa. Artinya, xenomania bukan hanya melemahkan bahasa, tetapi juga menjerat ekonomi bangsa dalam jebakan mental inferioritas.
Keterasingan Budaya dan Ketimpangan Ekonomi
Bahaya lain dari xenomania adalah lahirnya keterasingan budaya. Masyarakat menjadi asing terhadap kekayaan bahasanya sendiri, terhadap produk, makanan, dan karya seni lokal. Sementara itu, perusahaan asing semakin leluasa menanamkan pengaruh melalui iklan dan gaya hidup yang dikemas menarik. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ketimpangan ekonomi: konsumsi meningkat, tetapi produksi lokal menurun.
Negara-negara maju sangat memahami kekuatan budaya sebagai instrumen ekonomi. Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok misalnya, mampu menembus pasar global bukan dengan meniru budaya Barat, tetapi dengan memperkuat identitas sendiri. Bahasa mereka tetap menjadi simbol kebanggaan, bukan sekadar alat komunikasi.
Sebaliknya, Indonesia yang larut dalam euforia globalisasi justru berpotensi kehilangan keunikan budaya yang seharusnya menjadi modal ekonomi kreatif terbesar.
Menegakkan Martabat Bahasa dan Ekonomi Bangsa
Mencegah bahaya xenomania memerlukan kesadaran kolektif. Pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan masyarakat harus bersinergi menegakkan kembali kebanggaan terhadap bahasa dan produk lokal. Bahasa Indonesia harus kembali menjadi alat ekspresi modern, bukan simbol keterbelakangan. Dunia pendidikan perlu menanamkan rasa cinta bahasa sejak dini, sementara media massa dan pelaku ekonomi mesti berani mengutamakan bahasa Indonesia dalam produk dan iklan mereka.
Di sisi lain, gerakan bangga produk Indonesia harus berjalan beriringan dengan kebijakan nyata. Ketika masyarakat mencintai bahasanya, mereka akan lebih menghargai karya bangsanya sendiri. Cinta bahasa dan cinta produk lokal sesungguhnya dua sisi dari satu mata uang yang sama—keduanya menjadi fondasi ekonomi yang berdaulat.
Xenomania adalah bentuk penjajahan baru yang tidak lagi datang dengan senjata, melainkan dengan citra dan gaya hidup.
Ia merusak secara halus, menggoyahkan jati diri bangsa, dan menimbulkan ketergantungan ekonomi terhadap dunia luar. Jika bangsa ini ingin bertahan di tengah arus globalisasi, maka kesetiaan terhadap bahasa Indonesia harus menjadi benteng pertama, sementara dukungan terhadap ekonomi lokal menjadi tembok keduanya.
Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi—ia adalah simbol keberanian untuk berdiri di atas kaki sendiri. Mengagumi budaya asing boleh, tetapi mengabaikan bahasa dan produk bangsa sendiri adalah bentuk bunuh diri kultural dan ekonomi. Sudah saatnya bangsa ini menyadari: mencintai bahasa Indonesia berarti menjaga martabat dan masa depan Indonesia.(*)
 
				 
        	        
       
        	        
       
        	        
       
        	        
      