Oleh: Sulistyawan Ds
Jogja Kota Buku Dunia adalah sebuah gagasan yang mencita-citakan Yogyakarta sebagai episentrum literasi nasional, bahkan internasional.
Namun, benarkah Jogja siap menyandang predikat “Kota Buku Dunia”, ataukah ini sekadar branding ?
Secara konseptual, Jogja Kota Buku Dunia adalah ide yang progresif. Ini membuka harapan besar terhadap kebangkitan minat baca, produksi pengetahuan, dan pertumbuhan ekosistem literasi.
Jogja memang memiliki banyak penerbit independen, toko buku alternatif, komunitas literasi, hingga tradisi membaca yang relatif hidup di kalangan akademisi. Belum lagi kehadiran kampus-kampus besar seperti UGM, UNY, UIN, , ISI dll yang memperkaya atmosfer intelektual kota ini.
Namun, menurut data Badan Pusat Statistik dan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DIY, rata-rata jumlah judul buku yang diterbitkan oleh penerbit di Yogyakarta hanya sekitar1.200–1.400 judul per tahun selama 5 tahun terakhir. Saya rasa jumlah ini masih sangat kurang dan belum sepenuhnya mencerminkan dampak luas terhadap masyarakat umum, terutama di luar kalangan akademis dan penggiat buku.
Jika dilihat dari kenyataan di lapangan, memang banyak tantangan mendasar yang masih harus diatasi.
Pertama, akses terhadap buku masih timpang. Di pusat kota, toko buku dan pameran literasi memang ramai, tetapi di pinggiran seperti Kulon Progo, Gunungkidul, atau Sleman bagian utara, ketersediaan buku berkualitas dan ruang baca masih minim.
Perpustakaan desa banyak yang tidak aktif, koleksinya usang, dan pengelolaan yang seadanya.
Kedua, budaya baca masyarakat Jogja secara umum belum sekuat yang dibayangkan. Berdasarkan Survei Statistik Sosial Budaya BPS 2023, tingkat literasi fungsional di Yogyakarta berada di angka 88,7 persen.
Angka ini memang lebih tinggi dari rata-rata nasional, namun masih menyisakan persoalan soal kedalaman literasi—bukan hanya bisa membaca, tapi juga memahami dan memproses informasi.
Literasi bukan hanya soal membaca buku, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, menulis, dan berdialog. Sayangnya, budaya berpikir kritis justru makin tergerus oleh tren konten instan dan algoritma media sosial.
Ketiga, perhatian pemerintah daerah terhadap literasi masih bersifat sporadis. Program-program literasi seperti Pameran Buku seringkali muncul sebatas event, tetapi tidak memiliki kelanjutan yang strategis.
Bahkan, event Pameran Buku masih sebatas memajang buku ditambah acara talk show yang membosankan, tanpa kreatifitas yang dapat memancing antusias generasi muda untuk terlibat didalamnya.
Keterlibatan dinas pendidikan, perpustakaan, hingga lembaga kebudayaan pun cenderung sektoral dan tidak terintegrasi.
Padahal, untuk menjadi kota buku dunia, Jogja perlu memiliki kebijakan jangka panjang yang konkret: subsidi penerbitan buku lokal, revitalisasi perpustakaan, pelatihan pustakawan, dan insentif untuk penulis muda.
Belum lagi soal peran toko buku kecil dan pegiat literasi independen yang justru banyak terpinggirkan. Di tengah gempuran media sosial yang makin masif, banyak toko buku yang tutup karena tidak mampu bersaing.
Oleh karena itu, Jika Jogja ingin menjadi kota buku, keberagaman pelaku literasi harus kembali ditumbuhkan dan dirawat sebaik-baiknya.
Menjadikan Jogja Kota Buku Dunia adalah cita-cita yang baik, namun butuh kerja nyata, bukan hanya slogan. Branding tanpa transformasi hanya akan menjebak Jogja dalam romantisme kultural yang mandek.
Sebagai Kota Pelajar, Jogja memiliki potensi besar, tetapi juga tantangan yang tidak kecil. Untuk itu, dibutuhkan konsistensi, kolaborasi, dan keberpihakan yang jelas terhadap budaya literasi akar rumput. *) Penulis Adalah Pegiat Literasi di Klaten