*Lambang Toleransi: Islam, Buddha, Konghucu, Hindu, dan Kejawen
Di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Selok. (Foto: Budi Yuswinanto/EDUKATOR)
CILACAP, EDUKATOR--Siang itu, Minggu (26/10/2025) cuaca cerah, saat kami memasuki gerbang masuk Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Selok di Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. Desir angin dan dedaunan pepohonan di tengah hutan yang bergesekkan, menyambut kami. Udara sejuk menghanyutkan, sementara cahaya matahari menerobos celah pepohonan jati dan angsana yang menjulang.
Di gerbang masuk, ada loket, pengunjung diwajibkan membayar tiket Rp 7.500,-. Di samping loket, terdapat Pura Mandara Giri yang berdiri anggun.
Di Puri Mandara Giri Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, Cilacap. Foto: Budi Yuswinanto/EDUKATOR)
Sesungguhnya, kawasan ini bukan destinasi baru. Gunung Selok resmi ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam pada 9 Oktober 1975 melalui SK Menteri Pertanian No. 399/Kpts/Um/10/1975, dan statusnya diperkuat lagi oleh SK Menteri Kehutanan No. 359/Menhut-II/2004. Artinya, sejak era 1970-an, pemerintah telah menetapkannya sebagai kawasan konservasi dan wisata alam yang harus dijaga dan dikembangkan.
Mengendarai mobil, kami berempat menyusuri kawasan hutan Gunung Selok. Sepanjang kurang lebih 4 kilo meter perjalanan, dengan kondisi jalan aspal yang mulai mengelupas dan lubang di sana sini. Di kanan dan kiri, kami dusuguhi suasana hutan dengan pepohonan menjulang tinggi.
Dan saat memasuki gerbang percabangan, wisatawan akan dihadapkan pada dua arah: kanan atau naik menuju kawasan Jambe Lima, sedangkan ke kiri atau menurun menuju kawasan Jambe Pitu, yang aspalnya banyak mengelupas.
Saat tiba di percabangan jalan itu, kesan tak terawat mulai tampak. Kabel listrik menggantung rendah di jalur Jambe Lima tanpa peringatan, membahayakan pengguna kendaraan.
Jalan menuju kawasan Jambe Lima. Foto: Budi Yuswinanto/ EDUKATOR)
Juga huruf-huruf nama “Taman Wisata Alam Gunung Selok” banyak yang roboh dan dibiarkan berserakan — hanya huruf “G” yang masih tegak. Padahal, kawasan ini berada di bawah pengelolaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui BKSDA Jawa Tengah, Seksi Konservasi Wilayah 2 Pemalang, dan Kesatuan Pemangkuan Hutan Konservasi Cilacap, yang semestinya merawat kawasan tersebut.
Gerbang Puri Giri Sagara di kawasan Jambe Lima. (Foto: Budi Yuswinanto/EDUKATOR)
Suasana berubah drastis ketika memasuki kawasan Jambe Lima. Monumen Garuda Pelindung RI berdiri gagah, diresmikan Plt Gubernur Jawa Tengah Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si pada 11 Maret 2018.
Di kompleks Puri Giri Sagara. (Foto: Budi Yuswinanto/EDUKATOR)
Patung Garuda dengan kuku mencengkeram tulisan “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi simbol persatuan bangsa. Di sisi lain, terdapat Puri Giri Sagara — tempat persembahyangan umat Buddha dan titik favorit menyaksikan panorama Kota Cilacap dari ketinggian.
“Kawasan Jambe Lima selalu kami bersihkan agar terlihat rapi, terutama karena digunakan untuk kegiatan religius,” ujar petugas kebersihan, Ny. Tasem Sakum (60).
Di kawsan Puri Giri Sagara. Foto: Budi Yuswinanto/ EUDKATOR)
Berbeda dengan Jambe Lima, kawasan Jambe Pitu terasa sunyi dan kurang terawat. Jalanan menurun dan licin, kios-kios kosong tampak terbengkalai, serta beberapa bangunan dibiarkan kusam.
Untuk mencapai pertapaan Jambe Pitu, pengunjung harus berjalan kaki menaiki tangga sepanjang kurang lebih 300 meter, dengan jalur licin berlumut.
Jalan menuju ke pertapaan di Jambe Pitu. Licin dan berlumut. (Foto: Budi Yuswinanto/EDUKATOR)
Memasuki Gua Rahayu pun membutuhkan kewaspadaan ekstra: jalan curam, lembap, dan gelap. Meski demikian, pesona petualangan dan spiritual tetap memikat. Nampak sekelompok siswa SMAN 2 Cilacap melintas sambil menikmati rimbunnya hutan.
Kisah Mistik
Gunung Selok bukan sekadar menawarkan panorama, tetapi juga menyimpan kisah mistik yang hidup di tengah masyarakat.Diantaranya:
Legenda Bunga Wijayakusuma
Gunung Selok diyakini sebagai tempat munculnya bunga wijayakusuma — bunga yang konon membawa wahyu keprabon atau legitimasi kekuasaan bagi raja. Dalam cerita rakyat, terjadi pertarungan antara Raja Ragola dan Ki Janur, hingga muncul cahaya yang menjelma menjadi naga raksasa. Setelah kemenangan Ragola, bunga wijayakusuma muncul dan dipercaya sebagai simbol kejayaan.
Arah menuju Gua Rahayu di Kawasan Jambe Pitu. (Foto: Budi Yuswinanto/EDUKATOR)
Gua Keramat dan Naga Raja
Gua Naga Raja dan Gua Rahayu di kawasan ini dianggap sakral. Gua Naga Raja memiliki panjang lebih dari 200 meter dan bercabang-cabang. Banyak peziarah datang saat Selasa atau Jumat Kliwon, dipandu juru kunci untuk mencari berkah, ketenangan, atau jabatan.
Jejak Ritual dan Tokoh Nasional
Masyarakat setempat meyakini bahwa Presiden Soeharto pernah melakukan semedi di Gunung Selok, terutama di Jambe Pitu dan Gua Rahayu. “Ritual mistis dan semedi Soeharto di Gunung Selok menjadi bagian dari cerita yang tak pernah hilang,” ujar salah satu warga.
Di dalam TWA Gunung Selok ini pula, terdapat petilasan Syekh Mahfudz bin Abdurrahman al‑Hasani. Banyak pengunjung yang datang untuk berziarah ke makam ini, baik individu maupun kelompok.
Harapan dan Masa Depan
Dengan segala keindahan dan kisah yang dimilikinya, Gunung Selok menyimpan potensi besar. Namun tanpa perawatan, potensi itu terancam pudar. Sudah seharusnya pihak yang berwenang mengelola taman wisata alam ini, melakukan pembenahan.
Pengamat pariwisata, Drs. Chusmeru M.Si di kompleks Puri Giri Sagara kawasan Jambe Lima TWA Gunung Selok. (Foto: Budi Yuswinanto/EDUKATOR)
Penulis bersama Drs, Chusmeru (kiri), pengamat pariwisata yang juga pensiunan dosen Ilmu Komunikasi Unsoed. (Foto: Budi Yuswinanto/ EDUKATOR)
Lambang Toleransi
Pengamat pariwisata, Drs. Chusmeru, M.Si kepada EDUKATOR, mengemukakan, Gunung Selok melambangkan toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia masa lalu, seperti Islam, Buddha, Khonghucu, Hindu, dan Kejawen. Gunung Selok memang bukan gunung sebagaimana gunung berapi yang menjulang tinggi.
“Mitologi masyarakatlah yang menempatkan Gunung Selok sebagai tempat yang tinggi, simbolisasi kekuasaan dan pusat laku spiritual. Dan itulah kearifan lokal masyarakat Indonesia,” ujar Chusmeru yang juga pensiunan dosen Ilmu Komunikasi Unsoed ini. (Prasetiyo)