Para difabel netra saat melakukan liputan di lapangan. (Foto: Istimewa)
YOGYAKAFRTA, EDUKATOR–Jarang sekali mengetahui ada difabel netra sebagai jurnalis, dalam media pers. Namun, tidak berarti difabel netra tidak dapat menjadi jurnalis. Tidak juga berarti, tak ada satupun difabel netra yang menjadi jurnalis.
Penulis mencatat, ada tiga orang difabel netra yang berprofei sebagai jurnalis. Mereka ialah: Helen Keller. Meskipun tuli dan buta, perempuan yang lahir 27 Juni 1880 di Tuscumbia, Alabama Amerika Serikat itu, menjadi penulis inspiratif. Dia juga aktivis hak-hak disabilitas. Berhasil menulis beberapa buku, termasuk otobiografinya, “The Story of My Life”. Hellen Keller juga menjadi pendukung awal dalam gerakan hak-hak sipil.
Junalis berikutnya, Cheta Nilawati Prasetya Ningrum. Difabel netra yang menjadi jurnalis di Tempo. Dia menjadi buta karena ablasio retina, yang menyebabkan penurunan penglihatan signifikan. Terjadi pada usianya yang ke 34 tahun, atau 10 tahun sesudah ia bekerja sebagai jurnalis.
Adapun jurnalis ketiga dalam catatan ini ialah, Ajiwan Arif Hendradi. Dia seorang pria low vision. Kini menjabat sebagai redaktur di Kantor Berita solidernews.com. Sebuah portal media digital yang fokus memberitakan isu disabilitas.
Fasilitator sekaligus penanggung jawab kelas menulis khusus bagi Difabel Netra, Agoes Widhartono sedang memberikan pelatihan kepada peserta . (Foto: Istimewa)
Ketiganya Fasilitator sekaligus penanggung jawab kelas menulis khusus bagi Difabel Netra, Agoes Widhartono bersama peserta pelatihan. (Foto: Istimewa) telah menunjukkan sekaligus membuktikan, bahwa difabel netra dapat menjadi jurnalis. Menggunakan teknologi dan adaptasi yang tepat, serta dukungan masyarakat dan kepedulian organisasi, menjadi jurnalis menjadi hal yang tak mustahil bagi difabel netra.
Lingkungan inklusif
Keterbukaan masyarakat dan industri jurnalistik diperlukan. Sehingga mereka dapat memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi. Menciptakan lingkungan inklusif, adalah bagian penting mendukung difabel netra menjadi jurnalis.
Kelas Menulis Jurnalisme & Artikel Opini “Perspektif”, telah memberikan kesempatan. Kelas ini membuka kelas khusus bagi difabel netra. Membekali peserta dengan pengetahuan dan keterampilan menulis. Mengajarkan teknik peliputan dan penulisan efektif diagendakan rutin mingguan.
Dimulai pada 24 Desember 2024, kelas difasilitasi seorang wartawan senior dan penulis buku. Kelas Menulis Perspektif, telah meluluskan empat pesertanya, pada Minggu, 18 Mei 2025. Tiga di antaranya tottaly blind. Sedang seorang lagi, Raihan. Satu-satunya non difabel, bertindak sebagai pendamping kelas menulis.
Fasilitator Kelas Menulis “Perspektif” Agoes Widhartono, menyampaikan pengalaman selama membersamai para muridnya. Sebagai fasilitator, wartawan senior, sekaligus penulis beberapa buku itu mengaku tetap harus belajar dari para peserta difabel netra.
“Dengan keterbatasan indera, dari lima tak ada satu, mereka punya kelebihan. Yang dituntut dan dikembangkan dari mereka adalah logika berpikirnya. Ketika memberikan contoh, tidak bisa visual. Terlebih ketika menjelaskan matriks. Ini saya harus menyesuaikan. Karena tidak bisa melihat, logika berpikir mereka yang diasah. Makanya saya harus belajar dari mereka. Kita sama-sama belajar,” kata Agoes.
Ia menambahkan, resepsion atau tingkat penyerapan terhadap fakta, peristiwa, pengetahuan, ditentukan oleh isi kepala. Menurut Agoes logika berpikir para peserta kelas menulis bagus. “Artinya, difabel netra bisa menjadi jurnalis, atau penulis apa pun, dengan mengoptimalan indra yang ada,” ujarnya.
Testimoni
Kepada penulis, seluruh peserta menyampaikan testimoni. Alif Akbar Eka Junianta menyampaikan, Kelas Jurnalistik bagi Defabel Netra memberikan banyak pengalaman berharga. Baik dalam memahami dunia kepenulisan, maupun dalam interaksi langsung dengan sesama peserta.
“Berkat mengikuti kelas ini, saya semakin memahami berbagai aspek kepenulisan. Mulai dari tata bahasa, struktur bahasa, hingga kaidah jurnalistik yang baik dan benar. Tidak hanya itu, pengalaman wawancara dan kunjungan lapangan juga memberi saya wawasan yang lebih luas, bagaimana jurnalisme dapat menjadi alat pemberdayaan yang inklusif,” tutur Alif.
Mahasiswa Semester IV Universitas PGRI itu, juga menyampaikan harapan sekaligus janji bagi dirinya sendiri. Dia akan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, ilmu yang diperoleh dari Kelas Menulis Jurnalisme dan Artikel Opini “Perspektif” Khusus Difabel Netra.
Adapun Akbar Ariantono Putra, mengaku kini lebih memiliki kepercayaan diri. Lebih lancar menelurkan ide dalam tulisan lepas, khususnya produk jurnalistik. Mahasiswa Semester IV Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, juga mengungkapkan keserun selama kelas menulis berlangsung. Dia menikmati setiap proses dan dinamika di kelas jurnalistik untuk difabel netra itu.
Bahkan, Akbar sudah mulai menerapkan ilmu yang diperolehnya, sebagai jurnalis pada sebuah komunitas Tukar Akar. Salah satu komunitas sastra anak muda di Jogja.
Di komunitas itu, Akbar mengasah pengetahuan dan keterampilan menulis jurnalisme. “Pendalaman penalaran, kaidah bahasa, seluk-beluk jurnalistik, serta ragam narasi kehidupan yang menggugah, dari Pak Agoes aku resapi. Kelas ini tidak ramai pesertanya. Harapanku, generasi cantrik berikutnya, bisa lebih komitmen sekaligus inspiratif,” ujarnya.
Lain lagi mahasiswa semester VI ISI Yogyakarta Barokah atau Yuda Wirajaya. Dia mengatakan, kelas jurnalistik yang diadakan Perspektif, memberi banyak pelajaran berharga bagi dirinya. Antara lain kedisiplinan, komitmen terhadap keputusan, sampai pengamatan jeli terhadap fenomena. Kesemuanya menunjang lahirnya tulisan yang kritis, segar, sesuai kaidah penulisan jurnalisme.
Selama ini, kata Yuda, belum ada lembaga/komunitas/LSM yang membuka kelas serupa bagi difabel netra. Sehingga bisa dibilang Perspektif telah menciptakan terobosan baru yang tidak pernah terpikirkan orang kebanyakan.
Tak ketinggalan, peserta non difabel Muhammad Raihan pun menyampaikan testimoni. Kata dia, kelas menulis telah memberinya banyak pengalaman. Ada yang menyenangkan, unik, ada juga yang mengejutkan.
“Sebagai satu-satunya anggota nondifabel, saya tidak merasa diunggulkan ataupun diuntungkan secara aksesibilitas. Malahan, saya merasa sama-sama nolnya dengan yang lain. Tentunya tidak lepas dari esensi kelas ini yang memang bertujuan memberi wawasan secara fundamental, terkait kepenulisan jurnalisme dan lain-lain,” ujar kawan sekelas Yuda Wirajaya di ISI Yogyakarta. (Harta Nining Wijaya)