*Dari Seminar Memperingati Hari Sumpah Pemuda di UKDW Yogyakarta
Sekretaris PWP, Dr. Saifudin Zuhri. (Foto: AWD/EDUKATOR)
YOGYAKARTA, EDUKATOR—Generasi Z diharapkan mampu menghadapi era kecerdasan buatan (AI) dengan sikap kritis dan tetap menjunjung nilai kemanusiaan serta kebhinekaan. Pesan itu mengemuka dalam seminar bertajuk “Gen Z, AI: Cerdas dan Hore-hore” yang digelar Perhimpunan Warga Pancasila (PWP) bekerja sama dengan Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis (PSEB) Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), di Gedung Didaktos Lantai 3, Kampus UKDW Yogyakarta, Selasa (28/10/2025).
Acara yang dihadiri sekitar 140 peserta dari kalangan mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum itu menjadi bagian dari peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97. Seminar ini membahas bagaimana generasi muda dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi tanpa kehilangan arah, etika, dan semangat kebangsaan.
Sekretaris PWP, Dr. Saifudin Zuhri, menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan respons terhadap kegelisahan PWP atas fenomena generasi Z yang hidup di tengah derasnya arus digital. “PWP telah menggelar berbagai seminar dan diskusi lintas topik. Acara ini merupakan seminar kedelapan kami sejak organisasi ini dibentuk pada November 2016,” ujar Saifudin, yang akrab disapa Gus Udin.
Ia menambahkan, anggota PWP terdiri dari akademisi, peneliti, rohaniwan, pegiat LSM, dan jurnalis senior lintas sektor.
Salah satu narasumber, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Holly Aulia, menekankan pentingnya keseimbangan antara kecerdasan dan kegembiraan dalam kehidupan mahasiswa. “Cerdas bukan berarti tanpa hiburan, dan hore-hore bukan berarti tanpa arah. AI bukan musuh, tapi alat yang harus kita kendalikan,” ujar Holly, yang berasal dari Jambi, Sumatera Selatan.
Dari sisi riset sosial, peneliti Litbang Kompas Rangga Eka Sakti memaparkan hasil survei 2022–2025 yang menunjukkan bahwa generasi Z memiliki kepedulian tinggi terhadap isu sosial seperti lingkungan dan kebebasan berekspresi, namun kurang menaruh perhatian pada nilai-nilai Pancasila karena dianggap abstrak. “Mereka lebih tergerak oleh isu yang konkret dan berdampak langsung,” jelas Rangga, kandidat doktor ilmu politik Universitas Indonesia.
Jurnalis senior Bambang Sigap Sumantri yang menjadi pemantik diskusi, mengingatkan pentingnya etika digital di tengah kebebasan berpendapat di media sosial. “Setiap orang ingin bicara tanpa filter, tapi integritas tetap harus dijaga,” tegasnya.
Dari kalangan akademisi, Rektor UKDW Dr. Ing. Wiyatiningsih menegaskan komitmen kampus untuk menanamkan nilai kemanusiaan dan kebangsaan di tengah pendidikan berbasis teknologi. “Kami tidak hanya fokus pada hard skill, tapi juga soft skill dan empat nilai dasar: kemahasiswaan, kemandirian, kewirausahaan, dan kebangsaan,” ujarnya.
Sementara Prof. Dr. Heru Nugroho dari Universitas Gadjah Mada mengingatkan generasi muda agar tidak tersesat dalam “labirin digital.” Ia menegaskan, “Anak-anak sekarang lahir di tengah logika mesin. Mereka perlu kesadaran kritis terhadap algoritma agar tidak kehilangan jati diri.”
Melalui seminar ini, seluruh narasumber sepakat bahwa makna Sumpah Pemuda di era AI bukan sekadar mengenang sejarah, tetapi menjadi seruan bagi generasi muda untuk berpikir kritis, menjaga kemanusiaan, dan berkolaborasi lintas batas demi masa depan Indonesia yang berkeadaban.(Harta Nining Wijaya)