*Melintasi Jateng-Jatim
Yani Afrianto dan istri Rikbiyantini (Foto: Dokumentasi pribadi)
SEMARANG, EDUKATOR–Tiga hari, dua malam, 840 kilometer. Itulah angka yang terukir dalam ingatan pasangan suami istri (Pasutri) Yani Afrianto (60) dan Rikbiyantini. Bukan sekadar angka perjalanan, tapi simbol kesetiaan, penebusan janji, dan cinta yang menggelinding bersama roda sepeda motor di atas aspal pulau Jawa (Jateng-Jatim) yang penuh kenangan.
Yani, alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto angkatan 1984, bukan orang baru di dunia touring motor Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI). Tapi kali ini berbeda. Bersama sang istri tercinta, Rikbiyantini, ia menempuh jarak jauh dari Semarang menuju Tumpak Sewu di Kabupaten Lumajang, Jatim, menebus perjalanan ke Bromo yang sempat tertunda tahun lalu. Saat itu, sang istri harus menerima pesanan mendadak 200 snack box dari Bank Jateng, dan rencana ke Bromo saat itu pun dibatalkan.
“Touring ini semacam hadiah, semacam penebusan. Saya tahu istri saya sangat ingin ikut tahun lalu. Akhirnya kami rancang ulang, menjadi perjalanan berdua,” ujar Yani Afrianto kepada EDUKATOR.
Berbekal sepeda motor sederhana — bukan moge seperti yang sering mendominasi jalanan saat touring — Yani dan istri mempersiapkan segalanya dengan matang. Dari jas hujan, senter, sampai memori HP untuk mendokumentasikan perjalanan. “Motor boleh kecil, yang penting hati besar,” gurau Yani, sembari menekankan pentingnya istirahat setiap dua jam, serta menghindari perjalanan malam.
Perjalanan dimulai Jumat pagi (6/6/2025). Dari rumah di Semarang, mereka melaju ke Salatiga untuk sarapan, lalu ke Sragen, Ngawi, hingga Nganjuk tepat pukul 14.00 untuk makan siang. Menjelang malam, mereka sampai di Batu Malang setelah melewati Pujon dan suasana berkabut.Yani Afrianto dan istri Rikbiyantini saat beristirahat di tengah perjalanann. (Foto: Dokumentasi pribadi
Sabtu pagi (7/6/2025), aroma lontong balap kaki lima di alun-alun Batu jadi pembuka hari kedua. Dari sana, mereka memacu motor ke arah Malang, menuju Taman Nasional Bromo Semeru. Rute ini dipilih karena lebih dekat dibanding jalur Probolinggo, dan menyuguhkan pemandangan luar biasa: Cafe 360, Lautan Pasir, Bukit Teletubbies, Danau Ranu Pani — bahkan gerbang pendakian Semeru pun mereka datangi, meski hanya untuk menyapa dari kejauhan.Yani Afrianto dan istri Rikbiyantini di Danau Ranupani Kabupaten LUmajang, Jawa-Timur.(Foto: Dokumentasi pribadi)
Dari Danau Ranu Pani di Kabupaten Lumajang, Jawa-Timur, mereka kembali mengaspal jalanan. Tujuan berikutnya: Tumpak Sewu Waterfall, si megah di jantung hutan Lumajang. Medan makin menantang, jalan berkelok, sempit, sunyi, dikelilingi pepohonan yang merunduk seperti memberi restu.Yani Afrianto dan istri Rikbiyantini di lautan pasir dilihat dari puncak menuju Danau Ranu Pani, Kabupaten LUmajang, Jawa-Timur. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Saat senja tiba, mereka memutuskan bermalam di Yanto Cottages, tepat di depan pintu masuk air terjun. Hujan pun turun, menjadi musik latar bagi tidur mereka yang lelap.
Minggu pagi (8/6/2025). Air terjun Tumpak Sewu menyambut dalam kabut tipis dan riuh air yang mengucur deras. Di sana, mereka tidak sendiri. Pasangan muda dari Tiongkok, Vietnam, Singapura, hingga wisatawan Eropa ikut hanyut dalam keindahan. Yani dan istri menyatu dalam rasa syukur, berdiri di antara air dan angin, mengagumi keajaiban alam—dan cinta.
Perjalanan pulang mereka lalui lewat Blitar dan Nganjuk, mengikuti jejak rute sebelumnya. Tak ada deru motor besar, tak ada iring-iringan klub. Hanya dua orang, satu motor, dan segudang kisah yang akan mereka ceritakan kelak — tentang cinta, kesetiaan, dan petualangan yang menyenangkan.
“Touring bukan soal jarak. Tapi tentang sejauh apa kita bisa bersama, melintasi lelah dan tawa, untuk menikmati hidup ini” kata Yani. (Alief Einstein/Prs)