Transportasi publik “Trans Jogja” dinilai belum ramah bagi difabel. Ilustrasi: freepik
YOGYAKARTA, EDUKATOR–Layanan publik transportasi bus Trans Jogja memudahkan mobilitas beragam warga. Tak terkecuali bagi penyandang difabel netra. Armada besutan PT. Anindia Mitra Internasional (AMI) sejak 2007 ini sudah memiliki 15 jalur, dengan rutenya masing-masing.Armada ini merupakan layanan pemerintah yang bersubdisi.
Trans Jogja beroperasi mulai pukul 05.30 WIB sampai dengan 20.30 WIB. Harga layanan traspostasi publik itu, ramah di kantong.
Jika dengan kartu atau dompet digital, Rp. 2.700,00. Jika membayar tunai Rp.3.500,00. Di dalam kabin bus, ada pendingin ruangan. Sejuk. Kebersihan terjaga. Alunan musik menggema ditimpa suara obrolan sesama penumpang.
Layanan petugas transportasi andalan masyarakat Yogja, itu sudah ramah bagi disabilitas, Tak jarang, petugas di halte, maupun di dalam bus sudah memahami cara berinteraksi dengan difabel. Namun, masih ada juga beberapa petugas yang belum mengerti. Mengakibatkan beberapa terjadi insiden seorang penumpang difabel terjatuh saat hendak masuk, atau keluar bus karena harus memerlukan jangkauan langkah kaki yang lebar.
Khusus bagi difabel netra, Trans Jogja menjadi alternatif transportasi saat sepeda motor ojek online tidak bisa digunakan. Layanan bus mmang mampu melindungi penumpangnya dari hujan, tetapi tidak dengan efesiensi waktu perjalanan.
Bagi difabel netra, kemampuan beradaptasi dapat membantu demi mendapatkan kenyamanan dalam perjalanan dan tidak terlambat sampai tujuan. Jalur akses ketika hendak naik bus juga cukup mudah bagi difabel netra, tapi belum dapat dikatakan sudah ramah bagi masyarakat dengan jenis disabilitas yang lain. Termasuk kaum lanjut usia (lansia).
Belum tentu inklusif
Ramah saja belum berarti sepenuhnya inklusif. Di balik kenyamanan dan keterjangkauan Trans Jogja, masih terselip sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh penyandang disabilitas netra. Seorang lelaki, penyandang low vision, Wildan Aulia Rizki Ramadhan, warga Gamping, Sleman, menilai Trans Jogja memang mengalami kemajuan tapi bukan berarti tanpa catatan
Wildan menuturkan, beberapa armada Trans Jogja belum menyediakan informasi pemberhentian melalui suara (voice over). Jika pun ada, terkadang tidak terdengar karena tertutup oleh suara musik yang keras atau gaduh penumpang. Hal ini menjadi persoalan serius, terutama bagi penumpang tuna netra yang sangat bergantung pada sistem audio tersebut. Beberapa kali ia kesulitan memastikan posisi halte, karena tidak ada pemberitahuan yang jelas. Ditambah lagi, pengemudi bus acapkali tergesa-gesa saat menaikkan dan menurunkan penumpang.
Sedangkan Nur Eko Saputro, difabel netra low vision asal Bantul, menyoroti soal waktu tunggu dan rute Trans Jogja yang tidak efisien. Ia mencontohkan, untuk menghadiri acara pukul 15.30 WIB, harus sudah pergi berangkat pukul 12.00 atau 12.30 WIB agar tidak terlambat. Sistem rute yang memutar dan tidak langsung ke tujuan, menuntut perencanaan ekstra. Untuk hal ini, tentu saja tidak semua difabel mampu lakukan dengan mudah.
Persoalan lain yang mereka temui adalah kondisi halte yang kurang aman. Misalnya halte seperti Pilar, Unisa, dan Jogjatronik, disebut memiliki permukaan pijakan yang licin atau rusak. Tentu aja ini berbahaya dan bisa membuat penumpang terpeleset. Halte Malioboro 2 bahkan dilaporkan memiliki pegangan yang tajam akibat potongan yang tidak rapi. Tentu saja membahayakan, terlebih bagi konsumen bus dengan hambatan penglihatan.
Tentang layanan bus, baik Wildan maupun Eko sepakat bahwa petugas Trans Jogja belum memiliki standar pelayanan yang inklusif. Beberapa memang ramah dan sigap membantu, bahkan pernah mengembalikan barang yang tertinggal di dalam armada bus.
Namun, tidak sedikit pula yang kurang sabar dan cenderung tergesa-gesa. Terutama saat menaikkan penumpang yang membutuhkan waktu lebih lama untuk menyesuaikan diri. Mereka menilai, belum semua petugas benar-benar memahami kebutuhan penumpang difabel secara utuh. Besar kemungkinan akibat kurangnya pelatihan atau pembekalan khusus.
Aksesibilitas halte dan armada bus juga masih jadi pekerjaan rumah. Kurangnya bidang miring dan ruang untuk kursi roda di dalam bus. Beberapa armada tidak menyediakan space cukup, sehingga pengguna kursi roda kesulitan naik.
Pembatasan tangga dan bidang miring di halte juga kerap tidak jelas, membuat penyandang disabilitas rawan kehilangan orientasi. Eko Saputro menambahkan, informasi tempat pemberhentian yang hanya berupa tulisan kecil tanpa tanda khusus menyulitkan, bahkan bagi penumpang non-difabel.
Tentang adanya layanan adigital, keduanya menyambut baik aplikasi Trans Jogja dan informasi melalui Instagram. Namun, akses aplikasi dinilai belum inklusif. Tidak adanya fitur navigasi suara, minimal akses pembaca layar yang lebih mudah membuat pengguna difabel netra kesulitan melacak posisi bus secara real-time. Konten visual di media sosial pun sering kali tanpa narasi atau deskripsi alternative. Hal itu membuat informasi yang disampaikan tidak dapat diakses dengan baik oleh semua kalangan.
Meski demikian, Wildan maupun Eko mengakui bahwa kehadiran Trans Jogja sangat membantu mereka dalam mobilitas sehari-hari. Mereka bisa lebih mandiri, tidak terlalu bergantung pada ojek online, serta merasa aman.
Keduanya berharap agar transportasi publik tidak hanya fokus pada penambahan armada dan rute, tetapi juga menyentuh aspek-aspek yang menjamin kesetaraan layanan bagi semua penumpang.(Yuda Wirajaya Barokah, Akbar Ariantono Putra, Alif Akbar Eka Juniata dan Muhammad Raihan)
.
