Gasing

by -419 Views

Oleh : Abdul Wachid B.S.

            SURAT  ini tak mungkin berperangko. Bahkan tak bisa beramplop. Aku berpura tak punya alamatmu, Hayati. Meski kutahu di mana. Tapi aku sudah berjanji tidak saja padamu, berjanji pada diriku sendiri, aku akan pura-pura tak tahu. Sebagai percintaan kau dan aku yang selalu berdiam dalam “puri pura-puramu”.  Maka aku cuma menulis surat, tapi tak akan kukirimkan. Ini cukup bagiku. Sebagai sejak awal perjumpaan, pernah kuberkata dengan mengutip sajak, “sedang aku cukup bahagia/ menjadi pelengkap keindahanmu”…..

            Ungkapan itu kerap kuungkap padamu, sekalipun hanya mengutip-ngutip sajak karya penyair. Tentu demi kepentingan romantis. “Akang bukan pria romantis. Tapi sok romantis deh…..” begitu komentarmu di saat-saat bahagia. Sebagai sediakala, kau cuma tersenyum.

*****

            Suatu saat kau mengenang. Waktu itu kau sempat dendam padaku. Lantaran perlombaan yang kulakukan dengan kawan-kawan. “Ahmar, kalau kamu bisa mencium Hayati, hadiahnya rokok Bentoel biru sebungkus!” begitu tantang kawanku. Itu di saat kau kelas tiga SMP, dan aku kelas tiga SMA.

Kutahu, kau kesepian yang akut. Hidup sendiri. Tanpa kedua orangtua. Sebelum melakukan “lomba” itu, sebenarnya aku juga tidak tega. Lantaran terkenang kisahmu, di saat-saat hujan sendirian di rumah masa kecil, takut petir, kau telungkupkan kepala mungilmu ke balik tumpukan bantal. Tetapi, aku butuh dipandang sebagai hero di hadapan kawan-kawan.

            Dan dari lomba ngambung itu, kau pun takluk. Di belakang rumah, kita berjanjian. Canggung. Berdebar. Matamu berbinar. Ingin sungguh kusentuh tanganmu. Tapi belum lagi sempat bersentuhan, suara nenekmu yang rumahnya bersebelahan mengejutkan.

“Siapa itu!?” Kau dan aku menahan nafas. Tak ada jawaban. Mematung. Kemudian, dikejutkan.

 “Maliiing! Ada maliiing!!” Sontak. Kau dan aku kalang-kabut. Kusuruh kau lari mengecoh. Dan aku yang berpura tertangkap. Dibawa ke balai desa. Diadili!

            Sedang kamu? Ceritamu lari sampai kuburan. Dengan takut yang akut kau berani-beranikan menunggu pagi di atas nisan. Toh dini harinya kau tertangkap juga. Sama, di bawa ke balai desa. Orang sekampung merubung. Duh malunya saat itu! Orang sekampung berlalu menggerutu. “Wow! Si Hayati, anaknya Siti Julaika, akan ambung-ambungan, konangan!!”

            Sejak itu kau dan aku sepakat pacaran. Tapi aku juga masih pacaran dengan Iin, putri kepala desa. Juga Jaenah, tetangga sebelah punya anak satu, suaminya jadi TKI di Hongkong. Semua itu berjalan di jalan hidup, yang menurutku menyenangkan, bahkan membanggakan. Bukankah perhatian itu penting, apalagi dari makhluk yang bernama wanita?

            Ibu jauh sejak aku kelas satu SMP lantaran entah mengapa lari dari bapakku. Aku dan dua adikku ikut bapak. Kasihan bapak, harus menjadi bapak sekaligus ibu bagi anaknya. Kok ya ndilalah, setelah bapak kawin lagi pun mendapat istri yang judesnya minta ampun, si Janda Muda Tukang Perintah Wong Lanang! Begitu bisik-bisik tetangga.

            Setahun dari pacaran, aku kuliah di Jakarta. Wah, metropolit ini luar biasa, memberiku ruang gerak yang bebas. Surat-suratmu malas kubalas. Anak gadis Bapak kos memang semenarik, dan sekagum dirimu. Tapi dia punya kelebihan selincah kupu-kupu, yang bikin pandangku terpaku, mengikutnya. Aku dan dia terbang ke segenap penjuru, melipat-lipat arah kiblat. Sampai dia tertusuk duriku dari keasyikan terbang. Dia bunting! Terpaksa nikah. Punya anak satu. Tapi sebab ini cuma iseng, maka aku buru-buru pilih minggat balik ke desa. Toh mereka tak tahu darimana asalku.

            Tahu-tahu kau masih setia menunggu cinta dariku. Daripada hidup berpusing kayak gasing, kurayu saja kau, habis-habisan. Aaah…..kau dan aku pun kawin kilat…..

*****

            Sekilat itu melakoni cinta dengan gelak-tawa dunia. Sekilat itu juga kuludahi cinta dengan perasaan marah. Tapi sekilat itu pula lantaran darah muda bak tuak, kau dan aku dipertautkan oleh kelon. Itulah pasal yang selalu menggiring kau dan aku saling membutuhkan.

            Tapi, kau tak juga paham lelaki sepertiku. Kau tak pernah tahu aku pusing bagai gasing di malam-malam panjang. Berputar gila sendirian. Kau tak mau tahu sebab tujuan-tujuan muliamu kuliah di Yogya.

            Sesungguhnya setelah setahun perkawinan itu, kalau pulang, bagiku kau tetap murid yang lamban mencerna pelajaran dari sang Guru. Dengan alasan capek perjalanan dari Yogyalah, inilah, itulah. Lama-lama tanda tanya terjawab dari dompetmu. “Ini cuma foto kawan!! Justru Mas-lah yang perlu dipertanyakan sebelum dan sudah perkawinan ini?!” Maka aku tak perlu mendengar alasanmu lagi.

            Jam-jam malam bagiku harus memanjang. Tapi bagimu cukup singkat saja, alasannya sebab esok masih ada hari. Belum lagi soal penampilan, yang menurutmu berubah jadi petani tambak melulu. Cara bicara, aku tak suka hal yang mengawang, jauh dari yang praktis-praktis. Kau justru sebaliknya. Aku memang tak biasa menguraikan jalan pikiranku, apalagi untuk perempuan.

            Aku muak dengan kuliahmu, yang cuma menjadikanmu bukan perempuan sebenarnya. Kau tak seperti yang kubayangkan. Lama-lama aku lebih suka jika kau lama tidak pulang. Dengan itu kau tak perlu tahu apa yang kukerjakan. Jika kau di rumah, apa saja bisa jadi pemicu omongan kasarku keluar. Seperti malam ini. Sedang ibumu tak di rumah.

            Sejak sore kepulanganmu, ada saja yang kaupertanyakan dengan keberadaanku di rumah, di kamar kau dan aku. “Kenapa barang dalaman selalu bisa pindah kemari?! Ini milik siapa?!” Kau menangis. Aku tak suka perempuan menangis. Kenapa itu yang dipertanyakan Hayati. Aku memang tak merasa perlu tahu dengan barang itu, toh ini rumahnya, rumah ibunya.

            Seperti malam-malam lalu. Tersinggung! Jika sudah begini, memang aku minggat ke rumah orangtuaku yang hanya bertetangga desa. “Wadon sundel !” Serapah seperti sampah. Kubanting pintu.

            Seperti yang sudah-sudah, Hayati diam seribu bahasa.

            “Turunan kawin-cerai! Sundel !” aku meradang. “Tuuh, lihat ibumu, kawin sepuluh kali! Pada baen karo anake!”

            Tak terduga. Kali ini Hayati nyalang. Wajahnya yang biasa bagai kali bening, kedalaman, ini kali seperti menantang Tuhan.

            “Alaah! Nggak ngelihat bapakmu sendiri! Pada baen! Wadonan!” Akhirnya, pusaran kali bertahun itu mempertontonkan sampah-sampah ke permukaannya, menjadi bandang kata-kata. Tetapi lelaki harus menang, maka aku harus meradang.

            “Sih!!!”

            Malam memang gerhana. Lelaki yang tidak puitis itu menjadi kian linggis kata-katanya. Di luar pintu, Ahmar tambah liar membayangkan Jaenah yang lembut tapi liat, Iin yang manis manggis sekaligus bagai kuda Arab, ….. Wajah perempuan ganti-berganti menyumpal angannya. Dan gerhana menyemprot malam bagai tinta.

*****

            Taman kota, sawah, jalan lekuk-liku pegunungan, kedai-kedai, di banyak tempat menyisakan kenangan denganmu yang melukisi mataku. Berseliweran kayak slide pemandangan yang dibingkai kaca jendela kereta api. Barangkali sebab sedu-sedan hidup akhir-akhir ini, aku menjadi romantis. Ingat penggalan sajak, yang kutemukan dalam koran Minggu, bekas bungkus nasi yang tadi kubeli di stasiun, “…../kuas-kuas sunyi melukisi mataku/ hingga aku silau terpukau/ bertukar tangkap dengan bayangan sendiri/ kenapa aku kau biarkan begini berdarah?//”

            Dalam begini, aku teringat kata-kata bapak, “Jangan kawin muda mengatasnamakan cinta, kau akan lekas berubah, bosan, sesal selalu di belakang…..”

Tetapi memang, selain kelon, apa yang mempertemukan kau dan aku, Hayati? Aku jadi filosofis seperti ini mungkin sebab pernah kuliah, sekalipun sebal bicara begini di hadapanmu.

            Kelon, yang kemudian dijadikan ukuran percintaan. Dan kawin-cerai menjadi simbol yang dimaklumi, status seorang perempuan laris-manis laku di lingkungan desa pesisiran ini. Perempuan yang merasa terjajah kuasa laki-laki, tapi dengan kawin-cerai itu menyisakan sekian harta.

Semakin sering cerai, pembagian harta gono-gini kian tambah-bertambah. Seperti halnya ibumu. Sudah sepuluh kali, seingatku. Tapi seingatmu enam kali. Ah, itu tak penting! Ibumu toh masih muda, hanya beda duapuluh tahun denganmu, dan beda lima belas tahun denganku. Mungkin masih banyak waktu untuk mencari jawab dari tanya apa makna cinta sejati, atau memaknai lelaki, atau pencarian entah dari hidup.

            Memang. Sebelum kau juga turut membanting pintu semalam itu, ada sesuatu yang membolak-balikkan susunan malam. Barangkali seperti judul sinetron India atau Latina saja. Sekalipun aku tak ingat benar pasnya. Tetapi, senyuman yang saban hari secara cuma-cuma mengembang di hadapan, memaklumkan aku teringat kisah istri tuan Mentri yang konon menggoda Yusuf, pria paling tampan sealam raya itu.

*****

            Senja berangsur malam. Di mataku. Peristiwa demi peristiwa berseliweran kayak slide pemandangan remang-remang yang dibingkai kaca jendela kereta ini. Bergonta-ganti dengan pandanganku pada perempuan yang memecahkan biji cinta kau dan aku, yang kini di sebelahku. Lantaran nyala neon kereta api, wajah yang membayang di bingkai kaca jendela itu saling tertindih di antara slide demi slide peristiwa dan pemandangan yang tertembus di luar sana. Sedang di dalam hatiku…..

            Surat ini tak mungkin berperangko. Bahkan tak bisa beramplop. Aku berpura tak punya alamatmu, Hayati. Meski kutahu di mana. Tapi aku sudah berjanji tidak saja padamu, berjanji pada diriku sendiri, aku akan pura-pura tak tahu. Sebagai percintaan kau dan aku yang selalu berdiam dalam “puri pura-puramu”…..

            Barangkali juga puri pura-puraku selama ini. Tapi bagaimanapun hari kemarin sesaat sempat indah, dan menakjubkanmu. Malam pertama di luar gerimis, di dalam kau terisak, berbisik, “Mas, aku bahagia.” Pengalaman yang tidak pernah kudapat dari perempuan selainmu. Barangkali itu yang mengerakkan menulis sekedar surat. Tak tahu apakah sebagai sedikit kenangan. Sekalipun pasti bukan untuk berterimakasih.

            Dan sebelum kuakhiri ingatan membaca ulang surat yang telah lusuh sebab kerap dibaca ini, perempuan yang amat kaurindu sekaligus kaukutuk, tersenyum di sebelahku. Aku hanya bisa menerka-nerka makna senyuman itu. Selebihnya getar-getar hatiku yang samar. Mungkin memar.

            “Kita, kemana, Ahmar?”

            “Kemana saja, Bu, ….. eh, Julaika…..” ia kembali tersenyum. Aku juga tersenyum. Agak tersipu. Tapi kemudian sama-sama tertawa, entah sebab apa.

            Stasiun kecil pojok desa itu tentu telah jauh, tapi masih terbawa penyebutan di rumah, sebab beberapa tetangga kebetulan juga menanti kereta.

Ini entah telah stasiun ke berapa. Udara malam di dalam dan di luarku mulai terasa hampa. Kereta api ekonomi ini meliuk-liuk, mencari-cari dunia.(***)

==

Dr ABDUL WACHID BS, lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Abdul Wachid lulusan Sastra Indonesia UGM,  Magister Humaniora Sastra Indonesia UGM, dan Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Sebelas Maret Solo. Wachid yang pernah mendapat penghargaan Kategori Sastra Nonkreatif oleh Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada tahun 2020 ini, sekarang menjadi dosen di UIN Prof. KH. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Buku terbaru karyanya : Kumpulan Sajak Nun (2018), Bunga Rampai Esai Sastra Pencerahan (2019), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus, Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020), Kumpulan Sajak Biyanglala (2020), dan Kumpulan Sajak Jalan Malam (2021).

No More Posts Available.

No more pages to load.