Fasilitator sekaligus penanggung jawab kelas menulis khusus bagi Difabel Netra, Agoes Widhartono saat memberikan pelatihan kepada para peserta. (Foto: Istimewa)
YOGYAKARTA, EDUKATOR–Hujan deras mengguyur Kota Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Pun demikian di bagian barat kota, Jalan Arjuna Nomor 7 Wirobrajan. Di sana lokasi penyelenggaraan Kelas Menulis Jurnalisme dan Artikel Opini “Perspektif” Khusus Difabel Netra. Sebuah rumah berhalaman luas, adalah kelas bagi difabel netra belajar dan berlatih menulis. Berlangsung sejak 24 Desember 2024, satu minggu satu kali setiap Sabtu. Setelah hampir lima bulan berproses, sore itu adalah penutupan pembelajaran kelas menulis, periode Desember 2024 – Mei 2025.
Hujan bukan halangan. Satu persatu peserta tiba di lokasi. Muhammad Raihan, tiba dengan sepeda motornya. Seorang Mahasiswa Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu adalah pendamping kelas menulis. Berikutnya Barokah (Yuda Wirajaya) dan Akbar Ariantono Putra, disusul Alif Akbar Eka Junianta. Ketiganya difabel netra, para mahasiswa yang mengandalkan jasa transportasi ojek online tiba di lokasi. Di ruang kelas, wajah-wajah sumringah para peserta.
Hari itu, agenda khusus dirancang penyelenggara kelas menulis, Agoes Widhartono dan Sri Harta Ningsih. Penutupan kelas akan ditandai dengan penyerahan sertifikat dan piagam, bukti keberhasilan peserta menuntaskan semua proses dan tahapan. Berikutnya, pembekalan oleh narasumber.
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB. Dalam suasana santai dan akrab, prosesi dimulai. Penyelenggara, fasilitator sekaligus penanggung jawab kelas menulis Agoes Widhartono atau Pak Agoes, mengawali dengan menceritakan proses berlangsungnya kelas menulis. Mengapresiasi effort para peserta.
Fasilitator sekaligus penanggung jawab kelas menulis khusus bagi Difabel Netra, Agoes Widhartono bersama peserta pelatihan. (Foto: Istimewa)
pula, meski para peserta kehilangan salah satu dari lima inderanya, tapi tetap mengikuti setiap tahapan.
Tak hanya belajar teori di kelas, peserta juga meliput di lapangan. Menemukan narasumber untuk diwawancara, dan menuliskan laporan hasil liputan dalam beragam tulisan. Berita langsung (straight news), berita ringan (feature), serta menulis laporan mendalam sebagai tugas akhir yang dilakukan secara kolektif.
“Ini sebuah bukti. Bahwa difabel netra, sejatinya sangat mungkin menjadi jurnalis. Yuda, Akbar dan Alif, telah membuktikannya. Mereka memiliki komitmen, di tengah keterbatasan yang ditemui. Meski dari waktu yang direncanakan 12 minggu, mundur menjadi lima bulan,” ujar Pak Agoes disambut tepuk tangan peserta.
Ucapan selamat diberikan kepada seluruh peserta. “Selamat untuk kalian bertiga. Selamat juga Raihan, yang sudah meluangkan waktu membersamai kelas menulis ini. Apa yang sudah saya berikan di kelas ini, semuanya kini menjadi milik kalian,” ujar sang fasilitator.
Pembekalan narasumber
Sesi narasumber pun dimulai. Menghadirkan Kasimun, S.Ag., direktur penerbitan yang juga penulis novel tiba. Dia menyampaikan tentang Jogja yang dikenal dengan dunia buku. Hanya di Jogja, kata dia, bisa terlihat lalu lalang orang membawa buku yang akan dibinding (dijilid). Hal yang jarang dijumpai di kota lain. Satu keuntungan tersendiri bagi orang yang tinggal di Jogja dan berkarir sebagai penulis. Hanya di Jogja pula, kelas menulis seperti ini ada dan difasilitasi dengan baik. “Tentunya ini juga sebuah keberuntungan,” ujar Kasimun.
Ia bertutur, dulu dirinya bercita-cita menjadi wartawan namun tidak terwujud. Betapa tak mudahnya menjadi wartawan dia gambarkan. “Saya pernah mendaftar di Metro TV namun gagal pada wawancara terakhir. Mencoba mendaftarkan ke Gramedia, juga tak lolos. Usaha berikutnya mengirimkan tulisan ke Kompas. Ratusan tulisan, namun tak satu pun yang lolos,” kata Pak Kas akrab Kasimun.
Mengaku sempat jengkel, marah. Merasa tulisannya sudah paling bagus, tapi tak ada satu pun yang dipublikasikan. Namun, karena cita-citanya menjadi penulis, Pak Kas tetap berjuang mewujudkannya.
“Akhirnya, saya bekerja pada sebuah penerbitan di Kota Bandung. Di sana saya berkesempatan menulis cerita hidup saya dalam sebuah novel. Begitu terbit lumayan penjualannya. Akhirnya saya kirim ke Gramedia, baru diterbitkanlah oleh Gramedia,” ujar pemilik penerbitan Hikam Pustaka itu.
Menurut Kasimun, proses belajar penting. Apa yang dianggap bagus, belum tentu bagus. Kelemahan kebanyakan penulis pemula, kata dia, merasa tulisannya sudah paling bagus.
“Apa yang dipelajari di kelas menulis ini, jadikan sebagai pengetahuan mendasar sebagai penulis. Apakah sebagai penulis sastra atau jurnalis. Karena prinsip menulis itu sejatinya sama. Belajar menulis jurnalisme, adalah pengetahuan dasar untuk menulis apa pun, ujar Pak Kas.
Satu lagi catatan diberikan Pak Kas. “Tak ada gunanya, jika tulisan itu hanya dibaca sendiri, dicetak sendiri, dinilai sendiri, bangga sendiri. Tulisan terbaik itu, tulisan yang paling banyak dibaca orang. Kalau bentuknya dijual, jadi yang paling laku. Gunakan pengetahuan yang sudah didapat, sebagai modal utama menjadi penulis apa pun,” tegas ayah dua anak itu.
Ditantang
Setelah memberikan bekal, Pak Kas menantang peserta menghasilkan karya. Masing-masing peserta ditantang menulis tiga cerpen. Hasil akhirnya akan menjadi kumpulan atau antologi cerpen.
“Saya menantang semua peserta kelas ini untuk menulis, masing-masing tiga cerpen. Semua cerpen berkaitan dengan kehidupan kalian sebagai difabel netra. Menulisnya saya dibayar. Kalau cerpen sudah terbit, juga saya bayar. Sanggup?” kata Kasimun.
Pak Kas mengakhiri sesi dengan menyemangati para peserta. “Silakan belajar menulis. Hasilnya ada dua sisi. Pertama, dibaca orang. Kedua, menghasilkan input. Bisa pemuasan dan penyaluran idealisme. Bisa juga secara finansial,” tuturnya.
Mendapat tantangan itu, reaksi peserta beragam. Ada yang tersenyum. Ada yang tanpa ekspresi, tak tahu harus menjawab apa. Ada yang mengernyitkan dahi, karena ingin mencoba tapi tak yakin bisa.
Situasi tak dibiarkan begitu saja. Pak Agoes segera berkata, “Yuda, Alif, Akbar dan Rehan, selamat untuk semuanya. Tak terasa lima bulan telah berproses bersama. Semoga menjadi berkat untuk langkah selanjutnya. Segera wujud-nyatakan tawaran sekaligus tantangan dari Pak Kasimun”.
Menerima penghargaan
Petang merayap datang. Puncak penutupan Kelas Menulis Jurnalisme & Artikel Opini “Perspektif,” Khusus Disabel Netra telah tiba. Saatnya para peserta menerima penghargaan dari penyelenggara.
Sebuah kehormatan diberikan kepada Pak Kasimun untuk memberikannya. Penerima penghargaan ialah: (1) Akbar Ariantono Putra Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta; (2) Alif Akbar Eka Junianta Mahasiswa Universitas PGRI Yogyakarta dan (3) Barokah atau Yuda Wirajaya Mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Mereka tiga di antara lima peserta kelas menulis, yang menuntaskan tahapan pembelajaran. Serta, satu-satunya peserta non difabel Muhammad Raihan. Mahasiswa ISI Yogyakarta, yang berkomitmen mendampingi para difabel netra.
Dan ritual penutup kelas pun berlangsung. Yaitu, melahap makan malam, yang telah dihidangkan asisten sekaligus juru masak kelas menulis. (Harta Nining Wijaya)