Membangun Karakter Siswa dengan Membaca Buku Sastra

by -1190 Views

Oleh: Laeli Yuliansari, S.Pd

        Saat ini maraknya pemberitaan di media massa maupun elektronik mengenai tawuran antarpelajar, meningkatnya tindakan kekerasan atau bullying pada anak-anak, dan seks bebas. Ini  merupakan indikasi adanya krisis kepercayaan diri pada generasi muda. Banyak generasi muda yang belum memiliki karakteri yang kuat.

Hal tersebut merupakan ujian berat bagi kalangan pendidikan. Banyak tudingan yang dialamatkan bahwa lembaga pendidikan yang ada hanya menyiapkan peserta didik untuk masuk ke jenjang pendidikan atasnya atau hanya sekadar menghabiskan waktu saja.

        Sistem pendidikan sekarang ini masih berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif). Ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tapi dikembalikan pada pasar. Sistem pendidikan kita sudah mengalami pergeseran makna menuju pada pengajaran yang lebih cenderung mengutamakan angka. Arah pendidikan telah melupakan tujuan utamanya yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara seimbang..

        Selain itu, tudingan miring  juga dialamatkan kepada guru sebagai pelaku pendidikan. Guru belum sepenuhnya berkualitas. Guru belum memiliki kompetensi menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Sehingga dilihat dari segi proses, dikatakan belum mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial. Sedangkan dari segi hasil, pembelajaran yang diberikan belum mampu mengubah perilaku peserta didik ke arah penguasaan kompetensi dasar yang baik..

        Oleh karena itu, maka diperlukan solusi untuk keluar dari permasalahan-permasalahan tersebut. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah pendidikan moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Nilai moralitas yang disadari dan dilakukan itu bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang lebih utuh. 

Nilai itu adalah nilai yang membantu orang dapat lebih baik hidup bersama dengan orang lain dan dunianya untuk menuju kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti hubungan sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri, hidup bernegara, alam dunia, dan Tuhan (Masnur Muslich, 2011).

        Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan berperilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara serta membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan pendidikan karakter maka pengembangan fungsi otak kanan dioptimalkan. Dengan demikian, peserta didik memperoleh bekal pengetahuan afektif dan empati.


        Karya sastra di tangan seorang guru bimbingan konseling dapat menjadi sarana memperbaiki krisis kepercayaan diri. Sarana membina perasaan yang lebih tajam.  Hal ini terjadi karena karya sastra mengenalkan kepada pembaca seluruh rangakaian kemungkinan hidup manusia. Misalnya, kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kekalahan, keputusasaan, kebencian, perceraian, dan kematian. Dengan banyak membaca karya sastra maka siswa akan memiliki perasaan yang lebih peka untuk memahami mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai.

        Selain itu, dalam   karya sastra terdapat beragam cerita tentang kehidupan manusia dengan berbagai persoalan dan cara pemecahannya. Dengan karya sastra, peserta didik dapat mengamati bagaimana memecahkan masalah yang sama dengan yang dihadapinya. Mampu memecahkan masalah-masalah hidupnya dengan pemahaman, wawasan, toleransi, dan rasa simpati yang mendalam. Peserta didik juga dapat menemukan gagasan yang bermanfaat bagi dirinya.

        Peserta didik dapat belajar menghargai kehidupan sendiri setelah membandingkan dengan apa yang ada dalam cerita. Oleh karena itu, melalui karya sastra guru selaku konselor  dapat membangkitkan gagasan kehidupan dimasa mendatang.*) Penulis adalah Guru Bimbingan dan Konseling SMP Negeri 1 Tambak , Kabupaten Banyumas