“TIGA DOSA BESAR” PENDIDIKAN (Refleksi HUT ke 77 RI)

by -501 Views

Drs. Prasetiyo
Pemimpin Redaksi EDUKATOR

DOSA. Kata itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama. Contoh: Ya Tuhan, ampunilah segala dosa kami. Arti lainnya dari dosa adalah perbuatan salah (seperti terhadap orang tua, adat, negara). Contoh: Perbuatan itu dapat dianggap sebagai dosa besar terhadap nusa dan bangsa.

Dalam dunia pendidikan,seperti diakui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadiem Makarim, saat ini ada “tiga dosa besar” yang menjadi tantangan beratnya. Yakni intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual.

Menyambut usia Indonesia yang ke-77 tahun ini, tiga dosa besar itu pantas menjadi kajian mendalam serta refleksi bagi kita bersama akan masa depan bangsa.

Mas Menteri Nadiem Makarim hampir dalam berbagai kesempatan, baik saat webinar maupun bertemu langsung dengan berbagai pihak, termasuk di hadapan para guru, selalu mengungkapkan tekad kerasnya untuk menghapus tiga dosa besar dalam pendidikan itu, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.

Tekad Mas Menteri itu menyusul dibentuknya Kelompok Kerja (Pokja) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di bidang pendidikan.

Pokja ini salah satu tugasnya untuk menangani isu tiga dosa besar yang sering terjadi di dunia pendidikan. Dan masyarakat diminta lapor ke lapor.go.id jika mengetahui adanya pelayanan publik yang tidak beres. Pemerintah atau pihak terkait akan melakukan cek ricek, dan menindaklanjutinya.

Dalam kaitan ini, sejatinya, konsep merdeka belajar yang dicetuskan Mas Menteri tidak hanya berfokus pada proses penyampaian materi di dalam kelas. Bahwa untuk mencintai belajar, untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat, anak-anak harus belajar di lingkungan yang aman dan nyaman, serta terbebas dari tiga dosa besar pendidikan.

Dosa pertama, intoleransi.
Intoleransi adalah dosa yang disebutkan pertama kali terkait tiga dosa besar di dunia pendidikan Indonesia oleh Mas Menteri. Menurut KBBI, intoleransi adalah ketiadaan tenggang rasa. Yakni sikap tidak menghargai dan menghormati orang lain. Terkhusus yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia, kasus-kasus intoleransi ini lebih mengarah kepada ihwal keagamaan.

Berdasarkan data dari kompas.com pada artikel “Kumpulan Kasus Intoleransi di Sekolah” oleh Dian Ihsan (26/01/2021), diantaranya pernah terjadi di Bali tahun 2014. Yakni pelarangan menggunakan jilbab/ hijab di SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar.
Selanjutnya, kasus pelarangan berhijab terjadi pula pada tahun 2017 di SMAN 1 Maumere dan tahun 2019 di SD Inpres 22 Wosi Manokwari. Tak cukup itu saja, pada tahun 2020 terjadi perisakan kepada siswi yang tidak memakai kerudung oleh siswa aktivis Rohis di SMAN 1 Gemolong Sragen.

Terbaru, kasus pemaksaan pemakaian jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul, yang mengakibatkan seorang siswi depresi. Buntut dari kasus itu, kepala sekolah, seorang wali kelas, dan dua guru Bimbingan dan Konseling diberhentikan sementara dari tugasnya.
Atas perintah Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY melakukan investigasi.

Dalam investigasi itu, selain ditemukan adanya kasus pemaksaan pemakaian jilbab, juga ditemukan fakta bahwa SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul melanggar aturan tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil karena menjual paket seragam, termasuk jilbab. Sekolah tersebut melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

“Siswi tak punya pilihan karena semua paket seragam berisi jilbab,” kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, Didik Wardaya kepada wartawan di Auditorium Disdikpora DIY, Rabu, 10 Agustus 2022.

Dalam hal ini, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014 melarang jual beli seragam di lingkungan sekolah. Disdikpora DIY juga telah mengeluarkan surat edaran sebagai aturan turunan. Sesuai aturan itu, siswa bisa memilih desain seragam. Sekolah tak boleh memaksa siswi, termasuk yang beragama Islam untuk mengenakan jilbab.

Meski akhirnya kasus itu berakhir damai, namun cukup membetot perhatian publik.

Dosa kedua, perundungan

Perundungan atau bullying atau perisakan hampir terjadi di setiap sekolah, baik itu dalam skala kecil, sedang, hingga besar/ berat. Contoh bentuk perundungan, misalnya, memanggil nama seseorang dengan julukan yang tidak disukai, memukul, mendorong, menyebar rumor, mengancam, atau merongrong.
Kunci dari tindakan yang dikategorikan rundung ini adalah dilakukan secara terus-menerus oleh seseorang/ kelompok untuk menyakiti pihak tertentu, bahkan hingga menimbulkan kematian.

Data kasus perundungan di Indonesia, banyak!

Bercermin ke belakang, berdasarkan data kompas.com yang ditulis oleh Andi Hartik (10/02/2020), salah satu kasus perundungan ini misalnya yang terjadi di SMPN 16 Malang. Dalam kasus ini, kepala sekolah dan wakil kepala sekolahnya dipecat gegara kejadian yang berbuntut pada kekerasan anak usia 13 tahun hingga masuk rumah sakit.

Dosa ketiga, kekerasan seksual.
Kekerasan tidak hanya dalam kategori fisik dan verbal, namun ada pula kekerasan seksual. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, jenis kekerasan seksual merupakan kekerasan yang dilakukan untuk memuaskan hasrat seks (fisik) dan verbal (non fisik).

Secara fisik misalnya pelecehan seksual, yakni meraba, menyentuh organ seks, mencium paksa, memaksa berhubungan seks dengan pelaku atau orang ketiga, memaksa berhubungan intim. Sedangkan verbal, seperti membuat komentar, julukan, atau candaan porno yang sifatnya mengejek, berikut pula membuat ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau pun perbuatan seksual lain yang sifatnya melecehkan dan atau menghina korban.

Kasus terbaru, di sebuah SMP Negeri di Purbalingga, kekerasan seksual dilakukan oleh seorang Guru Seni Budaya. Tujuh siswi menjadi korban pencabulan oknum guru bejat tersebut.
Tragisnya, selain mencabuli, juga merekam satu persatu adegan pencabulan itu dalam bentuk video. Kasus yang mencoreng wajah pendidikan itu kini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Purbalingga.

Bercermin pada tiga dosa besar pendidikan itu, menarik sekali sambutan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pada upacara memperingati HUT ke 77 Kemerdekaan RI di Semarang, Rabu (17/8/2022).

Di awal sambutannya, Gubernur Ganjar Pranowo mengungkapkan, akhir-akhir ini ramai sekali ceramah seorang yang melarang kita untuk berteman dengan orang dari agama lain.

“Bapak ibu saudaraku sekalian. Dari ceramah itu, kita jadi tahu, ternyata kita belum selesai dengan urusan dapur sendiri. Dan itulah PR terbesar yang mesti segera kita selesaikan,” ujar Gubernur Ganjar.

Ganjar pun heran, sudah 77 tahun merdeka, kok bisa-bisanya masih ada ungkapan seperti itu.

77 tahun, lanjut Ganjar, kita diajari bahwa negara memberi kebebasan kepada kita semua untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut kepercayaannya tersebut. Ketika negara sudah memberikan jaminan besar seperti itu, kenapa justru ada orang yang mempersempit dengan memasang kawat berduri dalam kebhinekaan?

Lagi-lagi, kata kuncinya adalah Jasmerah !. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu dibangun melibatkan banyak tokoh dari berbagai suku, ras, agama dan golongan.
Untuk itu, Ganjar mengajak semua warga negara selalu menjaga keutuhan NKRI dalam bingkai kebhinekaan.

Mengakhiri tulisan ini, sebagai guru, mari kita berusaha & bertekad keras menghapus tiga dosa besar pendidikan dalam perkataan maupun perbuatan, serta tetap menjaga keutuhan NKRI. NKRI harga mati !
Merdeka !!! (***)