*Dari Ruang Sunyi Menjadi Rumah Bersama
Nyai YS Al Bukhori (paling kiri) bersama para guru dan ustaz Ponpes Waria Al Fatah
YOGYAKARTA, EDUKATOR--DI tengah stigma dan diskriminasi yang kerap membayangi hidup transpuan, Ponpes Waria Al Fatah Yogyakarta telah berdiri 17 tahun. Berawal sebagai ruang sunyi, kini menjadi rumah bersama. Dari langkah kecil Maryani, diteruskan oleh Shinta Ratri hingga kini di tangan Nyai YS Al Bukhori.
Pesantren ini bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan simbol perlawanan, penguatan, dan harapan akan ruang spiritual yang setara.
Suasana hangat terasa di sebuah ruang sederhana pada Selasa (26/8/2025). Hampir seratus orang berkumpul: para santri transpuan, para guru dan ustaz, sahabat dan jejaring, akademisi, media, hingga seorang Romo Jesuit dari Keuskupan Agung Semarang.
Mereka datang bukan sekadar bersilaturahmi, tetapi juga merayakan perjalanan panjang Pondok Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta, yang kini memasuki usia ke-17 tahun.
Nyai YS Al Bukhori mmotong tumpeng nasi kuning, pada peringatan 17 tahun Ponpes Waria Al Fatah Yogyakarta, Selasa (26/8/2025)
“Ponpes ini kami harapkan menjadi rumah kedua, keluarga kedua bagi teman-teman transpuan,” tutur Nyai YS Al Bukhori, pengasuh Al Fatah sejak 2023, saat memberikan sambutan. Ia mengingatkan bahwa keberadaan pesantren ini tidak akan mungkin bertahan tanpa dukungan para ustad, guru, dan komunitas yang rela mendampingi.
Jejak perjalanan
Sejarah Al Fatah identik dengan tiga sosok pemimpin. Almarhumah Maryani, almarhumah Shinta Ratri, dan kini dilanjutkan oleh Nyai YS. Ustaz Arif, salah satu pengajar yang sejak 2011 bergabung, mengenang masa awal ketika pesantren ini masih sepi jejaring.
“Bu Maryani itu kalem, betul-betul berjuang untuk teman-teman, meski jejaring masih sedikit,” kenangnya. Tongkat estafet kemudian beralih ke Shinta Ratri pada 2014. Jejaring meluas, dan pengakuan internasional pun datang.
Shinta menerima Front Line Human Rights Defender Award. yang membuat Al Fatah dikenal sebagai ruang perjuangan HAM transpuan di panggung dunia.
Namun perjalanan tidak selalu mulus. Serangan ormas pada 18 Februari 2016 menjadi luka mendalam. “Seandainya saat itu tak punya jejaring, barangkali kita akan kesepian,” ujar ustaz Arif.
Dukungan media, jaringan masyarakat sipil, hingga akademisi membuat Al Fatah bisa kembali berdiri.
Usia 17 tahun, bagi banyak orang identik dengan “sweet seventeen”. Tetapi bagi Al Fatah, usia ini lebih sebagai momen refleksi. “Ponpes harus tetap menjadi rumah bersama, jangan justru jadi ruang konflik. Kita sudah terpinggirkan, jangan sampai di rumah sendiri juga tercerai-berai,” pesan Arif.
Refleksi itu penting, sebab para transpuan tidak hanya menghadapi diskriminasi pribadi dan keluarga, tetapi juga stigma sosial, tekanan politik, bahkan kekerasan berbasis agama dan budaya. Meski demikian, penguatan jejaring dan pengorganisasian terus berlangsung.
Sementara tokoh senior Al Fatah Ruly Malay, dia mengenang jasa para pendahulu. Maryani, Shinta Ratri, hingga para ustad dan ustadzah yang mendampingi santri dengan ketulusan. “Perjuangan sejak 2007 ini berdarah-darah. Tapi berkat keberanian dan dedikasi para pemimpin, kita bisa merebut ruang demokrasi dalam kebebasan beragama,” ujarnya.
Dukungan jaringan
Peringatan 17 tahun ini juga diwarnai apresiasi dari berbagai jejaring. Romo Wahyu dari Keuskupan Agung Semarang menuturkan bahwa kehadirannya di Al Fatah membuka mata tentang bagaimana iman dan spiritualitas bisa dijalani oleh siapa pun, tanpa batas gender.
Dari kalangan media, Ketua AJI Yogyakarta, Januardi Husin (Juju), mengaku banyak belajar dari komunitas transpuan. “Kami belajar bagaimana meliput isu kelompok minoritas dengan lebih sensitif. Hubungan baik dengan Al Fatah sangat membantu,” ucapnya.
Sementara dari akademisi, Saifudin Zuhri, Rektor Sekolah Tinggi SBI, menekankan bahwa isu agama dan gender adalah salah satu yang paling rentan. “Kami sempat khawatir setelah wafatnya Bu Shinta, apakah pesantren ini bisa eksis. Tapi nyatanya teman-teman tetap semangat. Usia 17 ini semoga jadi titik manis, Al Fatah semakin survive dan jaringannya makin luas.”
Bagian Demokrasi
Lebih dari sekadar tempat mengaji, Al Fatah adalah simbol perlawanan atas diskriminasi. Sejak berdiri pada 2007, pesantren ini menegaskan bahwa transpuan juga memiliki hak atas ruang spiritual dan kebebasan beragama.
“Tahun ke-17 ini, kita telah mewarnai dinamika demokrasi di negeri ini. Dari ruang kecil ini, kita belajar bagaimana merebut ruang demokrasi,” ujar salah satu pengajar.
Di tengah segala keterbatasan dan stigma, Ponpes Waria Al Fatah terus tegak berdiri. Usia 17 tahun bukan akhir, tetapi penanda kedewasaan baru dalam perjalanan panjang transpuan meniti jalan spiritual. (Harta Nining Wijaya)
