Kesejahteraan Guru di Persimpangan Jalan: Antara Dedikasi, Struktur Jabatan, dan Realitas Lapangan

Bagikan :

Oleh: Priyanto, M.Pd.I
Kepala SMP N 3 Kutasari dan Litbang MKKS SMP Kabupaten Purbalingga

SETIAP peringatan Hari Guru Nasional selalu membawa kita pada satu kenyataan mendasar: pendidikan Indonesia berdiri di atas dedikasi lebih dari 3,3 juta guru di seluruh negeri. Mereka hadir dalam berbagai konteks—urban, rural, hingga 3T—dengan tantangan yang tak pernah sama. Namun tahun demi tahun, persoalan kesejahteraan guru tetap menjadi catatan panjang yang belum tuntas. Kita berada pada persimpangan: antara penghormatan simbolik dan kebijakan struktural yang benar-benar memulihkan martabat profesi guru.

Dedikasi yang Melampaui Statistik
Di banyak daerah, guru masih menempuh perjalanan panjang menuju sekolah. Pengamatan lapangan dan laporan pendidikan menunjukkan sebagian guru menghabiskan 20–30 km perjalanan per hari hanya untuk memastikan pembelajaran berlangsung. Biaya transportasi, tenaga, dan waktu yang terkuras sering tidak sebanding dengan pendapatan—terutama bagi guru honorer.

Fenomena ini berdampak langsung pada kualitas pembelajaran. Studi yang pernah disoroti Bank Dunia mencatat bahwa absensi guru lebih tinggi pada wilayah terpencil—seringkali bukan karena kemalasan, tetapi karena keterbatasan transportasi, kondisi geografis, dan kelelahan akibat mobilitas panjang. Tanpa intervensi kebijakan yang mengakui “beban mobilitas” ini, dedikasi guru akan terus diuji oleh realitas hidup yang keras.

Jurang Kesejahteraan: PNS/PPPK vs Honorer
Kesejahteraan guru di Indonesia sangat ditentukan oleh status kepegawaian. Guru PNS/PPPK memiliki struktur gaji dan tunjangan yang relatif stabil. Namun jutaan guru honorer menghadapi situasi sebaliknya.

Berbagai laporan media menemukan guru honorer yang hanya menerima Rp. 300.000–Rp. 1.500.000 per bulan, bergantung sumber BOS atau yayasan. Angka itu jelas jauh dari kebutuhan hidup layak. Mereka tetap dituntut profesional, mengikuti pelatihan, bahkan menguasai teknologi—namun dengan pendapatan yang tidak memadai dan jaminan sosial hampir tidak ada. Ketimpangan ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut keadilan profesi.

Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan rekrutmen PPPK memang memberi harapan. Tetapi proses seleksi, keterbatasan formasi, dan ketidakmerataan penempatan sering membuat perubahan ini belum terasa sebagai solusi menyeluruh.

Peta Jabatan Guru: Niat Baik yang Perlu Penyempurnaan
Reformasi peta jabatan guru yang dicanangkan pemerintah sebenarnya bertujuan memperjelas jenjang karier berbasis kompetensi. Namun implementasi di lapangan sering berbenturan dengan realitas administrasi.

Banyak guru mengeluhkan kompleksitas angka kredit, tumpang tindih tugas administrasi, dan minimnya pendampingan teknis. Akibatnya, peta jabatan yang seharusnya memperkuat profesionalisme malah menambah beban birokrasi. Struktur ini belum sepenuhnya mempertimbangkan konteks mobilitas, rasio guru–murid, maupun kondisi infrastruktur lokal.

Ketika guru harus mengurus tumpukan dokumen demi angka kredit, waktu mereka untuk siswa berkurang. Ini kontradiktif dengan semangat Merdeka Belajar yang ingin mengembalikan esensi pendidikan ke ruang kelas, bukan ruang administrasi.

Di Mana Letak Reformasi yang Paling Mendesak?
Jika pemerintah ingin memastikan kesejahteraan guru meningkat bukan hanya di atas kertas, ada tiga prioritas yang mendesak: Pertama, kompensasi mobilitas dan insentif geografis. Guru yang menempuh jarak jauh atau mengajar di dua sekolah memerlukan dukungan finansial yang eksplisit. Jarak tempuh harus menjadi variabel resmi dalam penataan distribusi dan beban kerja guru.

Kedua, penyederhanaan administratif peta jabatan. Platform digital yang ramah pengguna, pemangkasan tugas non-pedagogis, dan pendampingan sistematis akan membuat guru lebih fokus pada pembelajaran, bukan birokrasi.
Ketiga, percepatan penyelesaian status honorer. PPPK harus terus diperluas dengan formasi yang realistis dan merata. Guru honorer adalah kelompok paling rentan; tanpa reformasi menyeluruh, ketimpangan kesejahteraan akan terus melebar.

Saatnya Melampaui Seremoni Hari Guru
Pada akhirnya, persoalan kesejahteraan guru bukanlah semata masalah teknis—ia adalah indikator keseriusan negara membangun masa depan. Di saat guru dituntut adaptif, kreatif, dan profesional, negara pun harus hadir dengan keberpihakan kebijakan yang nyata.

Hari Guru tidak boleh berhenti pada retorika “guru pahlawan tanpa tanda jasa”. Ungkapan itu justru sering menutupi kelalaian negara dalam memastikan profesi guru dihormati secara material maupun struktural.

Guru telah memberikan begitu banyak: waktu, tenaga, pikiran, bahkan pengorbanan pribadi. Sudah sepantasnya mereka mendapatkan dukungan sistemik yang kuat, bukan hanya apresiasi simbolik.

Jika kesejahteraan guru dibiarkan tertinggal, maka masa depan anak-anak kita pun terancam tertinggal. Dan tidak ada bangsa yang mampu melompat maju ketika para pendidiknya masih bergulat dengan kebutuhan dasar.

Kini saatnya negara benar-benar menempatkan guru sebagai prioritas. Karena masa depan pendidikan Indonesia ada pada kesejahteraan mereka hari ini. (*)

BERITA TERKINI

lin5
10 Finalis Tampil pada Lomba Inovasi Nasional Teknologi Pertanian 2025
insght3
Waspada ! Scam Digital Semakin Canggih
trans2
Trans Banyumas Buka Rute Baru, Mulai 1 Januari 2026
sepatu6
Sepatu Baru, Harapan Baru Anak-anak Penyintas HIV/AIDS di Purbalingga
buku1
Membaca Ulang Gagasan Sosial-Demokrasi, Warisan Imam Yudotomo