Sepuluh Tahun UU Disabilitas, Hak Masih Tertahan di Balik Data yang Tak Sinkron

Bagikan :

Diseminasi Catatan Tahunan FORMASI Disabilitas, di Pusat Rehabilitasi Yakkum. Senin (15/12/2025). Foto: Harta Nining Wijaya/EDUKATOR)

YOGYAKARTA, EDUKATOR–Di tengah kuatnya kerangka hukum yang menjamin hak penyandang disabilitas, praktik di lapangan justru masih menyisakan banyak celah.

Hal itu terungkap dalam Diseminasi Catatan Tahunan (CATAHU) Pemantauan Hak Penyandang Disabilitas 2024–2025 yang digelar bersamaan dengan Kongres II FORMASI Disabilitas di Yogyakarta, 15–16 Desember 2025.

Temuan tersebut menegaskan bahwa regulasi belum sepenuhnya menjelma menjadi layanan publik yang inklusif dan berkeadilan.

Selisih angka itu bukan sekadar persoalan statistik. Ketika satu lembaga mencatat sekitar 1,1 juta pemilih disabilitas, sementara lembaga lain memproyeksikan lebih dari dua juta, yang hilang bukan hanya angka. Melainkan hak.

Temuan tersebut kembali ditegaskan dalam Diseminasi Catatan Tahunan (CATAHU) FORMASI Disabilitas 2024–2025. Bagi FORMASI Disabilitas, persoalan data telah menjadi masalah kronis yang terus berulang dari tahun ke tahun dan berdampak langsung pada hampir seluruh sektor pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Ketua Eksekutif Nasional FORMASI Disabilitas periode 2022–2025, Nur Syarif Ramadhan, menyebut ketidakselarasan data antar-lembaga sebagai akar dari banyak kegagalan kebijakan.

“Data tidak pernah valid antara satu lembaga dengan lembaga lain. Ini selalu muncul, baik di CATAHU sebelumnya maupun sekarang. Dampaknya ke mana-mana,” ujarnya.

Dalam konteks hak politik, ketimpangan itu tampak nyata. Data pemilih disabilitas yang dimiliki KPU jauh lebih rendah dibanding proyeksi Badan Pusat Statistik. Akibatnya, perencanaan layanan, aksesibilitas, hingga strategi peningkatan partisipasi pemilih disabilitas menjadi tidak akurat sejak awal.

Aksi Tak Nyata
CATAHU 2024–2025 kembali menegaskan ironi lama: kerangka regulasi Indonesia relatif kuat, tetapi implementasinya rapuh. Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) telah tersedia, namun tidak diiringi langkah operasional yang jelas.

“Setiap CATAHU, Bappenas selalu bilang kita sudah punya kebijakan. Tapi bagaimana kebijakan itu diterjemahkan menjadi aksi, itu yang tidak pernah serius,” kata Nur Syarif.

Ia menyoroti absennya indikator yang tegas, lemahnya pengawasan, serta minimnya alokasi anggaran yang secara eksplisit menyebut isu disabilitas sebagai prioritas. Tanpa kejelasan anggaran dan target, kebijakan berakhir sebagai dokumen administratif.

Masalah ini diperparah dengan mundurnya representasi penyandang disabilitas dalam struktur pengambilan keputusan negara. Jika sebelumnya terdapat figur difabel di lingkar strategis pemerintahan, kini ruang tersebut nyaris kosong.

“Tidak ada lagi orang difabel di dalam sistem yang benar-benar menyuarakan isu disabilitas. Itu kemunduran,” tegasnya.

Kelembagaan Dipertanyakan
FORMASI Disabilitas juga menyoroti peran Komisi Nasional Disabilitas (KND). Hingga kini, FORMASI mengaku belum pernah menerima laporan tertulis KND terkait mandat pemantauan yang mereka emban.

Padahal, menurut Nur Syarif, KND memiliki sumber daya dan legitimasi sebagai lembaga negara untuk memperkuat advokasi berbasis bukti. Tanpa transparansi kinerja, fungsi pemantauan justru kembali dibebankan kepada organisasi masyarakat sipil yang bekerja dengan sumber daya terbatas dan berbasis sukarelawan.

Sebagian besar kerja FORMASI, lanjutnya, dijalankan secara volunteer. Kondisi ini kerap memunculkan kritik internal, namun mencerminkan minimnya dukungan struktural terhadap pemantauan independen.

Belum Menuntaskan
Dari sisi pemerintah, Bappenas menyampaikan pendekatan twin track, yakni pengarusutamaan inklusivitas sekaligus penyediaan program khusus bagi penyandang disabilitas. Pendekatan ini diharapkan dapat menjembatani kebutuhan spesifik tanpa menyingkirkan prinsip kesetaraan.

Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menilai CATAHU sebagai early warning atas lemahnya implementasi kebijakan, khususnya pada aspek pendataan, penganggaran, pengarusutamaan di daerah, serta belum optimalnya Unit Layanan Disabilitas.

CATAHU juga menyoroti kerentanan berlapis perempuan dengan disabilitas serta terbatasnya partisipasi bermakna organisasi penyandang disabilitas dalam seluruh siklus kebijakan—dari perencanaan hingga evaluasi.

Pemilu dan Realita
Persoalan data dan implementasi itu terasa langsung di sektor politik. Ketua KPU DIY, Sri Surani, mengakui partisipasi pemilih disabilitas di DIY menurun. Dari data DTSEN sekitar 15.700 orang, data pemilih disabilitas yang tercatat jauh lebih rendah dan bahkan menurun dibanding pemilu sebelumnya.

KPU DIY mengidentifikasi setidaknya lima persoalan utama: ketidaksinkronan data, minimnya pendidikan pemilih disabilitas, aksesibilitas TPS yang belum konsisten, keterbatasan kapasitas KPPS, hingga hambatan logistik seperti bilik suara yang tidak ramah disabilitas—masalah yang lebih berat di luar Jawa.

Menagih Janji
Bagi FORMASI Disabilitas, CATAHU bukan sekadar laporan tahunan. Ia adalah alat advokasi berbasis bukti, sekaligus penagih janji negara. “Kami sudah menyediakan bukti-bukti. Tapi yang bertanggung jawab memenuhi hak penyandang disabilitas adalah negara,” kata Nur Syarif.

Menjelang satu dekade Undang-Undang Penyandang Disabilitas dan target SDGs 2030, CATAHU 2024–2025 menegaskan satu hal: tantangan terbesar bukan kekurangan regulasi, melainkan ketiadaan keseriusan untuk memastikan kebijakan bekerja di lapangan.

Selama data terus terfragmentasi, anggaran tidak ditegaskan, dan partisipasi bermakna hanya menjadi jargon, pemenuhan hak penyandang disabilitas akan terus tertunda. Terjebak di antara dokumen kebijakan dan angka-angka yang tak pernah sinkron. (Harta Nining Wijaya)

 

 

BERITA TERKINI

pawai budaya
81 Kontingen Bakal Ramaikan Pawai Budaya Hari Jadi ke-195 Purbalingga
priyantodes
Dimensi Edukatif Seni Dolanan Anak "Bumbung Breng"
6208479946720611384
Pemkab Purbalingga Gelar Diskusi “Jurnalis Mencerahkan, Bukan Meresahkan”
jepang1
Disuguhi Tari Lenggasor, Walikota Tono City Mengapresiasi SMPN 3 Purbalingga
17
Meriah, Perayaan Hari Jadi ke 42 SMPN 17 Semarang