Trimah, ibu seorang putra. Membatik sambil momong
YOGYAKARTA, EDUKATOR--Di tengah denyut kerajinan tradisi yang terus dipertahankan, nama Trimah menyelusup sebagai suara yang pelan tapi kuat. Perempuan 35 tahun asal Sleman ini adalah seorang ibu rumah tangga. Ia juga pelaku usaha batik dengan brand Batik Samparan. Seorang difabel perempuan tanpa kedua lengan. Namun keterbatasan itu tak pernah membatasi semangatnya. Justru menjadi suluh dalam gelapnya keterasingan.
Sebuah rumah sederhana di Jalan Gabus, Perumahan Minomartani, Sleman, aroma khas malam sesekali menyeruak dari bilik kerja kecil milik Trimah. Di sana, perempuan 35 tahun ini duduk tegak, kaki-kakinya lincah menari di atas kain putih.
Trimah, perempuan tanpa kedua lengan sejak lahir, adalah ibu rumah tangga, seniman batik, sekaligus pembelajar tenun yang tekun. Ia hidup bersama suami tercintanya Ari Setyawan, seorang atlet tolak lempar yang juga difabel dan putra kecil mereka, Afnan. Dalam rumah tangga yang hangat dan kolaboratif, mereka saling menopang, saling memberi arti.
Tak Menyerah
Perjalanan Trimah dalam dunia batik dimulai pada 2010, saat ia memutuskan untuk memiliki keterampilan setelah lulus SMA. Ia menyadari bahwa dengan kondisi tubuhnya, bekerja di instansi swasta maupun negeri akan sulit. Tapi ia tak ingin menyerah pada nasib. Ketertarikannya pada batik tumbuh menjadi tekad. Ia pun belajar membatik di sebuah pusat rehabilitasi difabel milik Yakkum, di Jalan Kaliurang KM 13, D.I. Yogyakarta.
Namun proses belajar tak selalu mudah. Di awal, Trimah bahkan tak mampu menggambar satu pola pun di atas kain sapu tangan. “Waktu itu ada empat orang yang belajar. Yang bisa tiga orang. Saya yang paling pengin malah enggak bisa. Tapi, sebulan kemudian, dengan tekad baja, saya berhasil,” kenangnya sambil tersenyum saat ditemui Selasa (5/8/2025).
Pada 2014, ia mulai memproduksi batik sendiri yang dinamainya Batik Samparan. Nama yang diberikan oleh pamannya, karena teknik membatik dengan kaki seperti menyampar atau menendang. Uniknya, batik ini tak menggunakan pola. Trimah menorehkan malam langsung ke kain putih dengan insting dan irama hati.
“Motifnya spontan, saya langsung gores ke kain. Setelah itu baru proses pewarnaan,” jelasnya.
Batiknya eksklusif, hanya dua hingga tiga lembar untuk satu motif. Ia menjualnya seharga Rp800 ribu per lembar ukuran 200×115 cm, dan beberapa karyanya bahkan telah terbang ke Jepang dan Jerman melalui jejaring sosialnya.
Namun, kehidupan tak hanya soal kain dan malam panas. Saat melahirkan Afnan yang prematur di masa awal pandemi, Trimah berhenti total membatik lebih dari setahun. Ia memilih merawat anaknya sepenuh hati.
“Saya momong total. Anak saya prioritas. Tapi setelah dia bisa jalan, saya mulai membatik lagi,” katanya.
Hebatnya, seluruh pengasuhan anak: dari memandikan, menyuap, memakaikan pakaian, semua dilakukan dengan kakinya. Ia mengaku, anaknya pun paham keterbatasan kedua orangtuanya dan mampu menempatkan diri dengan luar biasa dewasa.
Menenun Peluang
Trimah belajar menenun menggunakan alat yang dimodifikasi
Tahun 2023, Trimah mendapat kesempatan mengikuti workshop menenun dari Yayasan Sekar Kawung. Workshop ini sejatinya tidak khusus untuk difabel, tapi Trimah merasa tertantang. “Aku cuma ingin tahu, bisa atau tidak. Ternyata bisa,” ujarnya ringan. Sebuah alat tenun portable disesuaikan untuknya, dan ia menyelesaikan tenunan pertamanya dengan kaki.
Bagi Trimah, menenun bukan soal gaya-gayaan, tapi soal membuka jalan. “Kalau aku sudah pernah mencoba dan bisa, tinggal yang lain mau atau tidak. Tapi harusnya ini berkelanjutan,” ucapnya.
Menurutnya, proses menenun tak bisa dikerjakan sendiri. Bahkan bagi orang tanpa disabilitas pun, perlu kerja tim. Untuk memasang benang, menangani benang putus, menyusun pola.
Karenanya, Trimah melihat pentingnya pendampingan menyeluruh bagi difabel, bukan sekadar pelatihan untuk memenuhi kuota. “Sering saya lihat pelatihan hanya formalitas. Padahal yang dibutuhkan adalah pendampingan yang tepat bagi mereka yang memang siap bekerja.”
Ia pun pernah menyarankan kepada penyelenggara program pemberdayaan, my-bank kala itu, agar tidak hanya fokus pada aspek keuangan, tapi juga pengembangan keterampilan, seperti tenun dan batik.
Trimah bukan hanya simbol ketangguhan. Ia adalah ruh yang menghidupkan semangat keterlibatan difabel dalam kebudayaan. Lewat Batik Samparan dan pengalaman menenunnya, ia sedang menulis bab baru dalam narasi keberdayaan.
Dalam dunia yang sering memberi label sebelum memahami, Trimah berdiri sebagai cahaya yang hangat. Ia tak sekadar menenun kain, ia menenun peluang. Menenun harapan. Menenun kehidupan. Dengan cinta, kaki, dan keyakinan. (Harta Nining Wijaya)
