Oleh: Ākhmad Fauzi, S.S., S.Pd.
Guru SMP Negeri 2 Kutasari, Kabupaten Purbalingga
RASULLULAH SAW pernah menasihati para sahabatnya. “Barang siapa mengambil (harta) haknya, maka dia akan memeroleh keberkahan dalam hartanya. Sebaliknya, barang siapa mengambil (harta) yang bukan haknya, maka dia laksana seseorang yang makan, tapi tak kunjung kenyang,”
Cuaca yang cerah pagi ini membuat saya mudah dalam berkendara mencari sayuran tertentu untuk sarapan pagi si kembar di rumah. Seperti biasa saya selalu berkeliling pagi untuk berburu menu sayuran.
Setiap pedagang sayur yang selalu siap jualan pagi saya datangi. Kalau beruntung kadang hanya satu pedagang saya beli dagangannya karena sudah menemukan yang diinginkan pagi itu. Tetapi jika tidak beruntung, saya bisa berkeliling sampai 4 pedangan sayur.
Pagi ini termasuk yang beruntung, selain cuaca pagi yang cerah, saya hanya mendatangi satu penjual sayuran saja karena hanya minta diracikan jenis “sayur kencuran” untuk dimasak pagi ini sehingga setelah membayar sayuran tersebut penulis pun langsung pulang.
Memasuki jalan kecil yang menuju kampung tempat saya tinggal, terlihat ada pedagang bakpao yang kelihatan bingung dan sepertinya sedang mencari seseorang untuk ditanya. Karena pedagang bakpao itu makin dekat maka penulis pun akhirnya ditanya.
“Maaf Mas, ini ada uang jatuh dari Bapak yang berkaos hitam tadi yang beli bakpao saya dan katanya mau bermain ping pong (tenis meja). Tolong ya Mas, antarkan uang ini”.
Terlihat uang tersebut dalam dua lembaran biru yang artinya Rp 100.000,- “Baik Pak, saya tahu tempat dimana biasa bermain ping pong.
Setelah menerima uang yang ditemukan pedagang bakpao, saya langsung menuju tempat di mana para warga di RT saya biasa bermain ping pong dan benar saja saat memasuki ruangan bermain ping pong terlihat dua piring berisi bakpao yang terlihat masih hangat.
Di ruang itu juga sedang bermain Bapak RT saya dengan ayah saya. Pak RT mengenakan kaos berwarna hitam dan ayah saya mengenakan kaos kuning. Melihat warna kaos yang sedang dikenakan saat itu, saya langsung bertanya pada pak RT.
“Pak RT, Apakah Anda kehilangan uang tidak, Pak?” Segera saja Pak RT merogoh sakunya dan memperlihatkan uang yang dibawanya saat itu. “Oh iya, hilang seratus ribu.”, Jawabnya dengan nada kaget. “Ini pak. Tadi penjual bakpao menemukan uangnya saat itu terjatuh dari saku.” Jelas saya pada Pak RT. “Ah, terima kasih mas…ternyata masih rejeki saya.” Jawab Pak RT sambil menerima uang tersebut dengan tersenyum gembira.
Cuplikan kisah yang dialami penulis ini tentu terkesan sepele. Namun di dalamnya mengandung makna pelajaran yang sangat berharga, yaitu nilai sebuah kejujuran manusia dan nilai keberkahan uang yang diperoleh.
Dengan kata lain jujur dan berkah dua kata yang mesti kita jaga dalam menjalani kehidupan manusia. Jujur akan menghasilkan kepercayaan dan berkah akan memiliki manfaat.
Kita sering melihat slogan BERANI JUJUR, HEBAT! Kenapa slogan ini didengungkan begitu santernya. Tidak lain dan tidak bukan karena kejujuran saat ini mengalami penurunan yang luar biasa baik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan maupun dalam kehidupan kelembagaan.
Saat ini baru terasa sekali saat kejujuran tidak ada. Dampak yang diterima sangat parah manakala kejujuran hilang dan ternyata sikap jujur adalah kunci kepercayaan dalam segala aktivitas manusia.
Lalu bagaimana dengan keberkahan? Menurut ustadz DR.Aam Amiruddin saat ceramah di hari jadi ke-26 masjid Syamsul Ulum yang menjadi kebanggaan Telkom University bahwa kata berkah sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu Al Barokah, yang artinya berkembang atau bertambah dalam kebaikan.
Adapun dimana berkembang dan bertambah itu haruslah dengan usaha. Menurutnya pula bahwa memiliki harta yang berkah merupakan hal yang diridhoi Allah SWT, lalu bagaimana menjadikan harta menjadi berkah? Tidak lain diawali dengan mencari harta dengan cara yang halal lalu toyib dalam penggunaannya. Dengan kata lain harta yang berkah adalah harta yang memiliki manfaat.
Dalam dunia pendidikan kita sering dihadapkan pada persoalan dunia karakter siswa dan pendidikan karakter adalah menjadi tugas bersama, yaitu guru di sekolah, keluarga di rumah dan masyarakat di lingkungan sekitar. Mengambil ungkapan bijak Ki Hajar Dewantara yang terkenal bahwa Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah. Kira-kira begitulah mudahnya.
Mengintegrasikan ajaran beliau dengan tujuan kurikulum 2013, maka paling tidak dapat diambil dua pelajaran. Pertama, bahwa setiap anggota keluarga yang lebih dewasa harus dapat mengajarkan sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
Kedua, bahwa setiap rumah hendaknya menjadi tempat bagi setiap anggota keluarga, khususnya anak – anak, untuk bisa memperoleh sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan untuk kehidupan yang penuh makna di masa depan. Sikap spiritual dan sosial inilah yang akan membentuk karakter peserta didik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya.
Pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan karakter yang baik itu tidak selalu harus mengandalkan ruang – ruang kelas melalui guru yang secara resmi mengajar di sekolah, namun seyogyanya bisa diperoleh juga dari orang tua dan orang dewasa yang ada di rumah dan di sekitarnya (community based education).(*)
