BANYUMAS, EDUKATOR.ID–Hidup segan, mati tak mau. Begitu ungkapan untuk menggambarkan kehidupan para perajin batik di sentra batik Sokaraja, Kabupaten Banyumas. Kenyatan yang ada sekarang, jumlah perajin dan pekerja batik tinggal beberapa gelintir, dan rata-rata berusia lanjut di atas 55 tahun, sementara regenerasi tidak berjalan alias macet.
Untuk itu, para perajin berharap ada gebrakan dari Pemerintah Kabupaten Banyumas. Yakni membuat kebijakan dan perhatian serius Pemkab Banyumas, agar batik Banyumas tidak mati ditelan zaman.
“Saya menggeluti usaha batik ini, tidak semata-mata mencari untung. Batik Sokaraja itu, warisan leluhur yang harus dilestarikan. Saya cinta batik, dan akan meneruskan usaha warisan orang tua ini sampai kapanpun,” ujar Heru Santoso (54), pemilik Rumah Batik R Sokaraja, Kamis (27/10/2022), di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah.
Rumah Batik R Sokaraja, tepatnya berada di Jl. Pesarean Kebutuh, Dusun I, Sokaraja Kulon, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas. Tempat usaha Heru Santosa yang terbilang sederhana ini berada di tengah pemukiman padat penduduk. Lokasinya mudah dijangkau kendaraan roda empat, karena tidka jauh dari pusat jajanan serta oleh-oleh khas seperti Getuk dan Soto Sokaraja.
Untuk mendokumentasikan keberadaan batik R Sokaraja, kelompok mahasiswa Ilmu Komunikasi Unsoed angkatan 2020 di bawah dosen pembimbing Dr Adhi Iman Sulaiman, SIP, M.Si, melakukan tugas matakuliah untuk liputan dan pembuatan video youtube sebagai media kampanye pelestarian batik.
Heru Santosa sendiri menamai usahanya Batik R, agar mudah diingat bahwa plat nomor kendaraan R identik dengan Eks Karsidenan Banyumas, sehingga batik R menjadi simbol batik khas Banyumas. “Agar mudah diingat saja, sehingga saya menamai usaha ini batik R Sokaraja,” katanya.
Heru Santosa menggeluti usaha batik, meneruskan usaha batik sang ayah, Sugito, yang sudah ada sejak 1970-an. Tahun 1970- 1980-an, usaha batik Sokaraja sedang jaya-jayanya. Belakangan mengalami pasang surut. “10 tahun lalu, saya memiliki pekerja sampai 15 orang, namun kini tinggal tiga orang, dan usianya rata-rata sudah berusia di atas 55 tahun,” ujar Heru Santosa.
Dulu, lanjut Heru Santosa, sekitar 2001 ada imbauan dari Pemerintah Kabupaten Banyumas supaya pegawai memakai batik dari wilayah Sokaraja dan Banyumas. Saat itu, perbulan rumah batik R bisa memproduksi dan menjual lebih dari 1.000 lembar kain batik. Sekarang paling banyak sebulan 400 lembar batik, itu pun tidak pasti,” ujar Heru Santosa yang belajar batik secara otodidak atau turun temurun.
Di Kabupaten Banyumas, menurut Heru, dulu ada 125 industri rumah tangga pembuatan batik, tetapi pada tahun 2022 ini tersisa hanya 70 industri rumah tangga batik.
Heru Santosa merasa prihatin, tenaga kerja yang terampil membatik semakin lama, semakin hilang, sementara teknologi printing semakin berkembang. “Ini perlu perhatian pemerintah bagaimana batik tidak tergantikan oleh printing. Printing itu bukan kategori batik, tetapi itu tekstil. Tekstil itu tidak masuk golongan batik yang seperti dikategorikan oleh UNESCO,” kata Heru Santoso, bapak berputra tiga ini.
Masyarakat, lanjut Heru, juga perlu diberi pemahamaman, agar bisa membedakan mana batik tulis, batik cap, printing dan kombinasi. “Tingkat kerumitan proses pembuatan, mempengaruhi harga jenis batik itu,” ujarnya.
Untuk batik tulis, kata Heru, merupakan batik yang total seluruh motifnya ditulis memakai tangan atau dicanting di atas kain mori. Selain butuh kecermatan, batik ini perlu waktu pengerjaan hingga 1 bulan. Harganya pun kisaran Rp 750 ribu sampai dengan Rp 1.250.000. Pasalnya, itu buatan tangan, setiap motifnya pasti berbeda, atau tidak presisi, sehingga lebih mahal dibanding batik cap maupun priting.
Adapun batik cap merupakan batik yang motifnya dibuat dengan bantuan cap sehingga motifnya relatif lebih rapi dan harganya berkisar Rp 150 ribu sampai Rp 175 ribu per lembar. Adapun printing motif batik hasil motifnya sangat presisi karena memakai mesin dan harganya pun Rp 60.000-an per lembar.
Per lembar kain mori untuk membuat batik tulis maupun cap, umumnya panjang 200 cm dan lebar 115 cm.
”Jika masyarakat memahami proses pembuatan batik yang panjang dan rumit itu, tentu mereka akan menghargai batik ini,” ujarnya.
Saat ini, batik R Sokaraja memproduksi batik berbagai motif batik khas Banyumasan, dengan warna dominan gelap yakni hitam dan coklat. Ada motif jahe sarimpang, Sekarsurya, Sidoluhung, Lumbon (Lumbu), Jahe Puger, Cempaka Mulya, Kawung Jenggot, Madu Bronto, Satria Busana, Pring Sedapur dan sebagainya.
Inovasi
Belakangan, Heru melakukan inovasi. Untuk menembus segmen pasar generasi kekinian di bawah umur 40 tahun, membuat motif kontemporer atau abstrak. “Ada teknik ciprat dan kuas dalam membuat motif kontemporer ini. Namun dalam prosesnya, tetap dibatik. Belakangan, motif ini disukai anak-anak muda, dengan harga per lembar kisaran Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu,” ujar Heru.
Selain membikin motif kontemporer, belakangan Heru juga melakukan inovasi dengan membuat teknik “Lampas godhong”. Yakni godhong atau daun jati yang dicelupkan di cairan pewarna kimia, kemudian diletakkan di atas kain mori, lalu digilas supaya memunculkan serat motif daunya dengan menggunakan alas kertas tebal. Prosesnya seperti eco-print, namun unsur membatiknya tetap ada, sehingga menghasilkan motif daun-daun di kain yang menarik.
“Motif ini juga banyak disukai konsumen,” ujar Heru
Disukai pelanggan
Salah seorang pelanggan yang pernah menjadi model Nurul Atika Rahman (34) mengaku senang memakai produk batik R Sokaraja, termasuk motif kontemporer. “Produk batik R Sokaraja sangat saya sukai. Alasannya, warna tidak mudah pudar. Bahkan saya punya batik tulis sudah 10 tahun, dengan perlakuan perawatan yang benar, warnanya masih tajam. Selain itu, Pak Heru sering melakukan inovasi, diantaranya membikin batik motif kontemporer, namun tetap tidak melupakan pakem batik,” ujar duta wisata Banyumas tahun 2007 ini.
Bagi Nurul, mengenakan batik tidak hanya sekedar saat kondangan atau acara resmi, namun juga sebagai pakaian sehari-hari. “Saya sering memadukan batik dengan celana jeans, ternyata nyaman juga dipakai dan dilihat,” ujar Nurul.
Begitupun menurut Shandrina Ghaisani (20), mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed angkatan 2020, terkesan dengan perjuangan Heru Santosa dalam melestarikan Batik R Sokaraja.
“Saya jadi banyak belajar hal baru dan terkesan tentang sejarah perkembangan dan perjuangan batik R Sokaraja. Sungguh, ini perjuangan yang luar biasa,” ujarnya.
Di balik upaya melestarikan batik sebagai warisan budaya, lanjut Shandrina, di dalamnya ada proses membatik yang tidak sederhana tetapi sangat unik, menarik dan penuh karya seni yang inovatif.
Regenerasi Macet
Saat ini, Heru Santosa merasa prihatin bahwa regenerasi membatik di kalangan generasi muda, nyaris hilang. Diakuinya, ongkos membatik yang tidak sebanding menjadi penyebab utama, generasi muda kurang berminat melestarikan batik.
Sebagai gambaran, jika sedang ada pesanan, seorang pekerja membatik bisa mendapat upah Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu per hari. Namun jika tidak ada orderan alias sepi, maka terpaksa menganggur alias tidak ada penghasilan.
“Hal ini perlu dipikirkan bersama, bagaimana mengatasi hal ini, agar generasi muda tetap mau mewarisi seni batik,” sarannya.
Heru Santosa yang pernah sebagai guru membatik selama 14 tahun di SMA Negeri 1 Sokaraja Banyumas, sejak Juli 2022 kini tidak lagi mengajar batik di sekolah itu. Padahal, SMAN 1 Sokaraja yang selama ini dikenal sebagai sekolah pelestari batik Banyumasan, memiliki peralatan lengkap untuk proses membatik.
“Eman-eman, peralatan yang lengkap itu kini tidak dimaksimalkan, karena tidak adanya SDM yang mumpuni di bidang batik,” ujar Heru Santosa.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng, ujar Heru, semestinya memperhatikan keberlanjutan pembelajaran membatik di SMAN 1 Sokaraja, dengan memberikan anggaran cukup bagi tenaga ahli dan praktisi batik.
“Kalau tidak ada niat baik dari pemerintah, usaha batik tinggal menunggu waktu, karena renegerasi akan hilang,” ujarnya.
Agar para perajin batik Sokaraja maupun di Banyumas dan sekitarnya bangkit, Heru berharap ada gebrakan dari Pemkab Banyumas. “Karena Pemkab punya peran yang sangat besar terkait perkembangan dan pelestarian batik Banyumas ,” ujar Heru Santosa.
Membutuhkan Political Will Pemerintah
Sementara itu, dosen Fisip Unsoed, Dr Adhi Iman Sulaiman, SIP , M.Si ketika dimintai tanggapannya tentang nasib perajin batik di Sokaraja mengatakan, dari hasil riset yang sudah dilaksankan pihaknya sekitar 4 tahun dari tahun 2018 sampai 2022, umumnya generasi membatik menjadi keprihatinan.
“Pasalnya, generasi muda lebih cenderung menginginkan kerja seperti di sektor formal menjadi karyawan atau kantoran. Karena menjadi pembatik dinilai kurang prospektif,” ujar Dr Adhi Iman yang yang selalu melaksankan riset pemberdayaan tentang membatik.
Para pembatik yang ada sekarang, lanjutnya, kondisinya sudah berada di usia senja yang bukan lagi katagori usia produktif.
“Hal ini membutuhkan perhatian semua pihak seperti political will dari Pemerintah Kabupaten Banyumas,” ujar Adhi Iman Sulaiman.
Political will atau kebijakan yang mendukung itu, diantaranya menetapkan seragam batik semua lembaga pendidikan mulai dasar sampai perguruan tinggi, pegawai negeri atau pemerintahan dari desa sampai kabupaten, termasuk pihak swasta untuk membeli batik tulis, batik kombinasi dan batik cap kepada pengrajin batik lokal
Kemudian kebijakan untuk memasukan materi pelajaran membatik sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah sedini mungkin, semisal di tingkat SD atau SMP sudah belajar mendesain batik dengan media kertas dan cat lukis.
“Pada tingkat SMA atau SMK sudah mulai membuat desain motif batik secara manual dan digital, teknik membatik sampai pewarnaan kimia dan pewarna alami,” saran Adhi Iman.
Adhi Iman juga menyarankan, jangan lupa membuat kemitraan antara pihak sekolah dengan para perajin batik sebagai ahli atau praktisi untuk dijadikan instruktur batik di sekolah dengan honorarium yang ditetapkan oleh dinas pendidikan.
“Kemudian rumah produksi pembatik dijadikan tempat praktikum dan magang untuk membatik para siswa,” ujarnya.
Untuk melestarikan batik, Adhi Iman yang sering melakukan riset tentang batik ini, mendukung adanya event pameran dan fashion show batik di sekolah-sekolah dan hari besar daerah atau nasional.
“Termasuk pihak perguruan tinggi melaksanakan riset dan pemberdayaan generasi muda, dan ikut membantu promosi pemasaran produk batik sebagai bentuk partisipasi dalam mendukung pelestarian dan pengembangan batik, “ ujar Adhi Iman.
Melalui semua kegiatan itu, Adhi Iman berharap, batik bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata tetapi tanggungjawab semua warga masyaraat untuk ikut melestarikannya. (Prasetiyo)