
Buku kumpulan tulisan Imam Yudotomo “Sosial-Demokrasi”, dibedah dan didiskusikan di Ruang Paripurna Gedung DPRD DIY pada Kamis (4/12). Foto: awd).
YOGYAKARTA, EDUKATOR–Ruang Paripurna Gedung DPRD DI Yogyakarta, Kamis (4/12/2025) siang dipadati peserta dari beragam latar. Mereka datang untuk satu kepentingan: membaca ulang gagasan sosial-demokrasi melalui kumpulan tulisan Imam Yudotomo.
Acara ini sekaligus menandai sepuluh tahun wafatnya sang penulis yang lama bekerja dalam gerakan sosial-demokrat di Indonesia.
Suasana diskusi dan bedah buku (Foto: awd).
Diskusi buku tereselenggara berkat kerjasama Sastra Bulan Purnama, Tonggak Pustaka, Dewan Perwakilam Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Abidin Fikri Pandjialam Foundation, CSDS, dan PWS.
Dua narasumber hadir sebagai pembicara: Halim HD, pemikir kebudayaan, dan Osmar Tanjung, aktivis. dimoderatori Sinta Herindrasti, dan pembawa acara Maria Kadarsih. Setiap peserta memperoleh buku setebal lebih dari 400 halaman, sementara jumlah peserta dibatasi hanya 80 orang.
Anggota DPRD DIY Yuni Satia Rahayu, yang akrab disapa Neni, memberi sambutan sekaligus pesan tegas dalam konteks hari ini. Menurutnya, kondisi Indonesia saat ini menunjukkan penguatan pemerintah pusat yang nyaris total, sementara provinsi dan kabupaten/kota justru mengalami pemangkasan anggaran.
Ia juga menyebut kegelisahan kepala daerah seperti Bupati Aceh yang mengeluhkan minimnya dana kebencanaan, di saat bencana mengintai dari Sumatra hingga Riau.
Itu sebabnya, kata Yuni, diskusi buku seperti ini perlu terus didorong. “Kalau hasil diskusi ini bisa disampaikan ke Gubernur DIY, itu akan lebih baik. Ini hasil masyarakat Jogja yang peduli,” tuturnya.
Aktivis Sosialis
Imam Yudotomo dilahirkan di Yogyakarta, 12 Mei 1941. Masa remajanya ditempuh di Bogor dan Bandung, sebelum berpindah-pindah kuliah, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, dan Universitas Gadjah Mada (UGM), semuanya tidak selesai, karena ia memilih jalan pergerakan.
Pada tahun 1960-an ia aktif di Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMS/Gemsos) dan mengikuti program pertukaran pemuda di Austria.
Ia memimpin sejumlah organisasi, termasuk Yayasan Taman Karya Bhakti, mengikuti Kongres Sosialis Internasional, terlibat dalam organisasi buruh, pertanian, hingga lembaga pendidikan sosial-demokrasi. Imam meninggal pada 27 November 2015 pada usia 74 tahun.
Warisan Pemikiran
Penyelenggara diskusi, Ons Oentoro, menggarisbawahi pentingnya momentum 10 tahun wafatnya Imam. Ia menceritakan bagaimana tulisan-tulisan Imam awalnya tercecer, lalu dikumpulkan dan disunting hingga terbit.
“Diam-diam dia menulis tentang sosialisme secara lepas. Yang akhirnya dikumpulkan Rudi, disunting Endro dan saya,” kata Ons. Buku yang hadir hari ini dibeli oleh Abidin Fikri untuk dibagikan kepada peserta.
Bukan Anak Ideologis
Putra Imam, Iwan, hadir memberi kesaksian pribadi. Ia rendah hati mengakui tidak mampu mewarisi ideologi ayahnya: “Saya memang anak biologis bapak. Tapi bukan anak ideologis. Saya tak bisa bicara soal tulisan ayah,” katanya.
Yang menyentuh justru proses kreatif sang ayah. Menjelang wafat, Imam menulis dalam kondisi glaukoma. “Saat menulis, matanya sudah glaukoma. Mengetik dengan layar komputer yang hanya menampilkan 5-6 huruf. Itu yang menginspirasi saya,” ujar Iwan
Iwan menutup dengan ucapan terima kasih pada para kawan yang setia menjaga warisan pemikiran.
Catatan Kritis Halim
Halim HD memberikan paparan komprehensif. Ia mengenal Imam sejak 1972. Yang pertama ia soroti: absennya isu kesenian dalam buku ini.
“Sepanjang pengetahuan saya, saya belum pernah membaca tulisan Mas Imam di media massa. Di buku ini tidak menyinggung kesenian dan kebudayaan, padahal stereotip kader sosialis pasti punya perspektif itu,” ujar Halim HD.
Kelemahan terbesar menurutnya adalah tidak adanya periodisasi dalam buku. Sementara hal itu penting, lanjut Halim. “Secara kronika waktu menjadi sesuatu yang sangat penting,” ujarnya.
Meski demikian, Halim menyebut Imam sebagai pemikir yang elektis. Ia juga mengagumi cara berpikir Imam yang lahir dari pengalaman organisasi, keluarga, dan pendidikan progresif.
Pada bagian penutup, Halim mengaitkan gagasan Imam dengan kondisi terkini. “Banjir dan perusakan hutan hari-hari ini adalah isyarat kapitalisme menciptakan dampak kehidupan di segala aspek,” tegasnya.
Luar Biasa
Narasumber kedua, Osmar Tanjung, menggarisbawahi kekuatan lain dari Imam. Yakni kedalaman intelektual yang tidak selalu tampak dalam percakapan sehari-hari. “Secara dialog mungkin kering, tapi dalam tulisan luar biasa,” ujar Osmar Tanjung.
Baginya, buku ini relevan untuk melihat persilangan ideologi dalam praktik. “Demokrasi yang kita tahu, kapitalisme itu tetap ada. Bentuk sosialisme seperti apa, kapitalisme seperti apa, berkaitan dengan soal penguasa, penindas, dan sebagainya,” ujarnya.
Diskusi buku Sosial-Demokrasi memunculkan kembali nama Imam Yudotomo setelah satu dekade kepergiannya. Di tengah situasi anggaran daerah yang tertekan, lingkungan yang krisis, serta banjir dan kerusakan hutan, gagasan-gagasan tentang keadilan sosial kembali mencari relevansi.
Ruang Paripurna DPRD itu hari itu menjadi ruang perjumpaan antara generasi lama dan baru: aktivis, pemikir kebudayaan, pejabat publik, dan keluarga mendiang. Harapan tersampaikan: agar semakin banyak anak muda membaca, berdiskusi, dan terlibat. (Harta Nining Wijaya)