
Ilustrasi peringatan Hari Guru Nasional, 25 November. Gbr: freepik.com
YOGYAKARTA,EDUKATOR–Hari Guru Nasional selalu menjadi momen untuk memberikan penghormatan kepada para pendidik yang mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan generasi bangsa. Namun di balik hiruk pikuk perayaan, ada para guru yang bekerja dalam senyap, dengan tantangan berlapis. Mereka di antaranya, para guru yang mendampingi murid difabel. Baik di Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun sekolah inklusi.
Mereka bukan hanya mengajar. Tetapi menemani, mendengar, memahami, dan memecahkan jalan kecil, bagi anak-anak yang seringkali harus melawan stigma, hambatan fisik, atau lingkungan yang belum sepenuhnya aksesibel.
Guru-guru di SLB, selama ini menjadi tulang punggung pendidikan khusus. Mereka menghadapi dinamika kelas yang jauh berbeda. Ada murid dengan hambatan pendengaran yang bergantung pada aspek visual, murid difabel netra yang belajar dengan meraba dan deskripsi verbal yang detail, hingga murid dengan hambatan intelektual yang memerlukan pendekatan personal, repetitif, dan penuh kasih.
“Seringkali, kami harus merangkap peran. Menjadi terapis, konselor, kadang bahkan pengganti keluarga ketika anak merasa tidak dipahami,” ujar seorang guru SLB Negeri 1 Magelang, Jawa Tengah, Sri Resmiyatun Suyadi, Selasa (25/11/2025).
Namun, lanjutnya, setiap kemajuan kecil, misalnya anak mampu membaca huruf braille, mampu berdiri sendiri, atau mampu menyebutkan satu kalimat utuh, hal itu menjadi kebahagiaan yang tak pernah bisa dibayar dengan apa pun.
Bagaimana dengan guru di sekolah inklusi? Perjuangan mereka tak jauh beda. Guru reguler dituntut untuk menyesuaikan metode pengajaran agar bisa mengakomodasi seluruh murid. Baik yang nondifabel maupun difabel.
Ada guru yang harus menyiapkan lesson plan ganda: materi umum untuk satu kelas, dan materi yang diadaptasi untuk satu atau dua murid difabel sensorik, motorik, atau intelektual.
Ada pula guru yang harus belajar metode baru secara mandiri: mulai dari teknik multisensory teaching, komunikasi augmentatif, sampai cara terbaik menciptakan lingkungan kelas yang aman bagi anak autistik.
Tersebut di atas mengemuka dari Ria Putri Palupi, pengajar Sekolah Dasar (SD) Tumbuh. Salah satu sekolah inklusi di Kota Yogyakarta. Tidak jarang, lanjut dia, para guru bekerja tanpa pelatihan yang memadai. Tanpa dukungan fasilitas yang lengkap. Tetapi dedikasi mereka membuat inklusi bukan hanya slogan, melainkan kenyataan hidup bagi murid difabel.
Tanggung Jawab Kemanusiaan
Pada kenyataannya, para guru bagi murid difabel, mengajarkan sesuatu yang tidak selalu tercatat dalam kurikulum. Bahwa semua anak berharga, bahwa setiap anak memiliki cara berbeda untuk memahami dunia, bahwa pendidikan bukan hanya soal prestasi. Tetapi, juga tentang penghargaan pada martabat manusia.
“Para murid difabel tidak hanya belajar dari guru; mereka juga membentuk guru. Menjadikan kami para guru menjadi lebih peka, lebih kreatif, lebih manusiawi,” .
Hari ini, 25 November, adalah pengingat bahwa keberhasilan pendidikan inklusif tidak mungkin terwujud tanpa guru-guru yang mau berjalan lebih jauh dari kewajiban formal. Mereka membutuhkan dukungan kebijakan, pelatihan, aksesibilitas, dan penghargaan yang layak agar perjuangan mereka tidak padam.
Untuk semua guru yang mengajar anak difabel, baik di SLB maupun sekolah inklusi. Mereka layak dicatat. Karena mereka mampu dan mau melihat potensi, di balik hambatan para muridnya. Mereka juga layak diapresiasi, karena percaya bahwa semua anak, tanpa terkecuali, berhak belajar, tumbuh, dan menggapai mimpi.
Selamat Hari Guru Nasional kepada para guru di manapun berada. Bapak dan ibu guru tidak hanya mengajar, tapi ikut merawat masa depan bangsa. (Harta Nining Wijaya)