Runtuhnya Bisnis Media Online Pengejar Trafik

by -396 Views

Oleh: Sulistyawan Dibyosuwarno S.Pd
(Praktisi media, tinggal di Yogyakarta)

DALAM beberapa tahun terakhir, gelombang kebangkrutan dan penurunan bisnis media online yang mengandalkan strategi “trafik di atas segalanya” semakin nyata. Model bisnis yang dulu dianggap menjanjikan—mengumpulkan pageview tinggi melalui konten sensasional, clickbait, atau konten viral—kini justru menjadi bumerang. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Apa penyebabnya, dan apa yang bisa dipelajari dari keruntuhan ini?

Akar Masalahnya, ketergantungan pada iklan dan kualitas yang terabaikan.

Di era awal digitalisasi media, platform online tumbuh pesat berkat pendapatan iklan yang menggiurkan. Setiap klik dan kunjungan halaman (pageview) dianggap sebagai aset berharga. Alhasil, banyak media memprioritaskan kuantitas konten ketimbang kualitas. Judul provokatif, konten daur ulang, atau berita “panas” tanpa verifikasi menjadi andalan.

Sayangnya, algoritma mesin pencari dan media sosial yang awalnya mendongkrak trafik perlahan berubah. Google dan Meta (Facebook/Instagram) kini lebih mengutamakan konten berkualitas, relevan, dan ramah pengguna. Media yang mengandalkan klik kosong mulai kehilangan sumber pendapatan utama.

Dampak Persaingan dan Perubahan Perilaku Audiens

Bisnis media online juga menghadapi persaingan ketat dari platform konten langsung seperti TikTok, YouTube, atau podcast. Audiens, terutama generasi muda, lebih memilih konten singkat, interaktif, atau mendalam yang memenuhi kebutuhan spesifik mereka. Sementara itu, media pengejar trafik kerap terjebak dalam “echo chamber” konten yang tidak memberikan nilai tambah. Akibatnya, kepercayaan audiens menurun. Survei Reuters Institute 2023 menyebutkan, 60% pembaca global lebih skeptis terhadap media yang dianggap terlalu sensasional.

PHK Massal dan Tutup Usaha
Banyak media online yang gagal beradaptasi akhirnya colaps. Di Indonesia, sejumlah portal berita berbasis clickbait terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran atau bahkan tutup. Pendapatan iklan yang menyusut—ditambah biaya operasional tinggi—memperparah kondisi. Selain itu, regulasi seperti UU ITE dan tekanan masyarakat terhadap konten hoaks semakin membatasi ruang gerak media “abai kualitas”.

Kembali ke Jurnalisme Berkualitas
Keruntuhan ini membuka mata industri bahwa model bisnis media tidak bisa mengandalkan trafik semata. Beberapa solusi yang mulai diterapkan:

  1. Subscription Model – Media seperti The New York Times atau Kumparan di Indonesia beralih ke langganan berbayar dengan konten eksklusif dan mendalam.
  2. Niche Audience – Fokus pada segmen spesifik (misal: teknologi, lingkungan, atau kesehatan) untuk membangun loyalitas pembaca.
  3. Multimedia dan Interaktivitas* – Mengombinasikan artikel dengan video, podcast, atau infografis untuk meningkatkan engagement.
  4. Kolaborasi dengan Brand – Membuat konten sponsor yang relevan tanpa mengorbankan integritas.Semoga. (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.