Suasana workshop membentuk clay di Studio Satiaji Sculpture & Artwork
YOGYAKARTA, EDUKATOR–Suasana hangat menyelimuti Pendhapa Art Space Yogyakarta, Minggu (13/7/2025). Ruang pendhapa yang biasanya lengang, pagi itu riuh oleh suara tawa, seruan kecil, dan tangan-tangan mungil yang sibuk meremas, menekan, dan membentuk (clay) atau tanah liat yang plastis yang plastis dengan tangan agar lebih lentur, mudah dibentuk, dan bisa dijadikan karya seni.
Sebanyak 15 anak, terdiri dari 13 anak dengan Down Syndrome dan 2 remaja tuli, larut dalam kegiatan Art Fun PAS for Children #2.
Program yang digagas Pendhapa Institute ini berlanjut setelah sukses pada edisi perdananya. Bedanya, kali ini mereka menggandeng Jogja Disability Arts (JDA), sebuah komunitas seni yang mewadahi ekspresi kesenian kawan-kawan disabilitas. Kehadiran JDA membuat edisi kedua ini jauh lebih inklusif, sekaligus menuntut perhatian dan pendekatan yang responsif.
Peserta workshop Art Fun PAS for Children #2 berfoto bersama fasilitator dan para orang tua
Tidak semua anak langsung merasa nyaman. Beberapa sempat menangis ketika harus berhadapan dengan lingkungan baru. Namun ada pula yang datang dengan senyum lebar, tak sabar menunggu sesi dimulai. Para fasilitator dari Studio Satiaji Sculpture & Artwork pun harus menyesuaikan instruksi: lebih pelan, lebih personal, lebih fleksibel.
Setiap anak dibekali seperangkat alat sederhana: 250 gram air dry clay yang sudah dipotong, kuas, butsir, dan alas kayu. Clay dipilih karena lunak dan mudah dibentuk, cocok untuk melatih keterampilan motorik halus.
Proses diawali dengan pengenalan tekstur dan bentuk dasar, lalu contoh patung gurita. Bentuk itu dipilih karena terdiri dari elemen sederhana yang bisa dimodifikasi sesuai kemampuan masing-masing.
Berani mencoba
Meski diberi contoh sama, hasilnya tetap beragam. Ada gurita kecil dengan tentakel pendek, ada yang lebih besar dengan ekspresi lucu, bahkan ada karya di luar contoh. Tidak ada benar atau salah di Art Fun PAS for Children.Yang penting anak-anak berani mencoba dan percaya pada karyanya sendiri.
Seperti yang dialami Kireina Jud Aisyah (14), siswi SLB N Pembina Yogyakarta. Awalnya ia kehilangan mood karena kesulitan mengikuti instruksi membuat gurita. Namun semangatnya kembali saat ia memilih membuat figur Totoro, kucing raksasa dari Studio Ghibli. “Aku paling suka nguleni clay,” kata Jud polos.
Dengan bantuan ibunya, Titik Rahayuningsih, serta contoh figur yang dibuatkan fasilitator, Totoro pun lahir dari tangannya.
Bagi Titik, pengalaman ini sangat berharga. “Workshop ini melatih Jud untuk lebih fokus dan mengasah motorik halusnya. Anak DS biasanya lemah di area itu. Jadi kami kolaborasi, saya bikin satu bagian, Jud bikin bagian lain, lalu dia merangkai,” tuturnya.
Titik menhaku, keikutsertaan putrinya dalam workshop adalah sebuah langkah kecil namun penting. “Motivasi saya sederhana, ingin memberikan pengalaman baru untuk Jud,” tutur Titik, yang datang dari Panggungharjo, Sewon, Bantul
Meski demikian, ia mencatat masih ada hal yang bisa diperbaiki dari sisi penyelenggaraan. “Bagi kami yang awam, penyampaiannya agak terlalu cepat. Personil pendamping juga kurang karena sebagian sibuk dokumentasi. Tapi para fasilitator sangat ramah, baik ke anak maupun orang tua. Anak-anak yang tidak nyaman duduk bareng juga diperbolehkan berkreasi di tempat lain,” ungkapnya.
Ia menambahkan, ruang workshop sebaiknya lebih lapang agar anak-anak lebih leluasa bergerak.
Proses, bukan hasil
Adapun, dari sisi penyelenggara, Hardiwan Prayogo, Manajer Program Pendhapa Institute, menegaskan bahwa orientasi utama Art Fun PAS bukanlah hasil, melainkan proses.
“Poin utama dari Art Fun PAS for Children adalah mengajak anak bermain dengan medium seni patung. Orientasinya bukan hasil, tapi proses belajar,” ujarnya.
Pendhapa Institute mencatat bahwa hadirnya komunitas difabel dalam edisi kali ini memberikan pelajaran tersendiri. “Hadirnya Jogja Disability Arts dan POTADS sebagai partisipan memberi catatan penting soal metode penciptaan seni patung sebagai wahana belajar yang inklusif,” kata Hardiwan.
Respons positif datang tidak hanya dari anak-anak, tetapi juga para orang tua. Bahkan ada yang menanyakan di mana bisa membeli air dry clay untuk melanjutkan eksplorasi di rumah. “Sejauh ini orang tua senang, karena menurut mereka belum pernah ada workshop seni patung untuk teman-teman disabilitas,” tambah Hardiwan.
Merangkul Keberagaman
Ke depan, Pendhapa Institute berharap kegiatan seni inklusif ini tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga keluarga secara menyeluruh. “Kalau kegiatan ini menjadi acara keluarga, proses pembelajaran tidak berhenti saat workshop usai, tapi bisa berlanjut di rumah,” pungkasnya.
Di akhir sesi, anak-anak berfoto bersama sambil memamerkan hasil karya. Mereka pulang membawa snack, goodie bag, dan sekotak clay baru untuk berkreasi kembali.
Namun lebih dari itu, mereka membawa pulang pengalaman: bahwa seni bisa menjadi ruang inklusi yang menyenangkan.
Art Fun PAS for Children #2 akhirnya tidak sekadar menjadi ruang bermain dengan clay, tetapi juga ruang belajar bersama tentang bagaimana seni mampu merangkul keberagaman. Sebagaimana harapan Titik, “Inklusif itu jangan hanya jargon. Harus betul-betul memahami dengan siapa dan bagaimana semestinya berinteraksi.”. (Harta Nining Wijaya)