*Diikuti Petani hingga Komunitas Disabilitas
Peserta aksi damai ARUKI, mengangkat kertas bertuliskan “difabel berhak atas keadilan iklim.
JAKARTA, EDUKATOR– Pawai damai Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) yang menjadi bagian dari rangkaian Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) sempat terhambat aparat kepolisian di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (29/8).
Massa yang berangkat dari kantor ILO menuju Patung Kuda, Monas, tertahan hampir satu jam sebelum akhirnya diizinkan melanjutkan perjalanan usai negosiasi dengan Polda Metro Jaya.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) sekaligus Steering Committee ICJS, Yeni Rosa Damayanti, menegaskan bahwa rombongan telah melayangkan pemberitahuan resmi terkait jumlah peserta dan rute pawai. “Namun di lapangan, rombongan dicegat dan diminta berbelok. Negosiasi berlangsung alot, bahkan sempat aksi dorong sebelum kami akhirnya diperbolehkan melanjutkan,” ujarnya.
Aksi damai ARUKI dihadang aparat di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat
Beragam Kelompok
Pawai yang dirancang sebagai aksi budaya ini diikuti beragam kelompok: petani, nelayan, buruh, komunitas adat, perempuan, pemuda, hingga komunitas disabilitas. Peserta mengenakan pakaian adat dan membawa pesan keadilan iklim. Namun suasana menjadi intimidatif ketika barisan polisi dalam jumlah besar menghadang massa.
Beberapa difabel yang berada di barisan depan merasakan tekanan langsung. Rizki Ibrahim Syah, aktivis muda low vision asal Sumut, mengaku khawatir keselamatan kawan pengguna kursi roda di depannya.
Anni Juwairiyah, difabel pengguna kursi roda dari Kalimantan Timur, mengaku kaget sekaligus tertekan saat harus berhadapan dengan aparat di bawah terik matahari. “Seorang peserta albino bahkan sampai kepanasan parah,” katanya.Aksi damai ARUKI menyuarakan keadilan iklim
ARUKI menegaskan bahwa tuntutan utama mereka adalah pemerintah menanggapi krisis iklim dengan menekankan aspek keadilan sosial, bukan sekadar teknis pengelolaan. “RUU jangan hanya bicara pengendalian iklim, tapi juga perlindungan masyarakat terdampak: nelayan, petani, penyandang disabilitas, dan komunitas adat,” tegas Yeni.
Akademisi sekaligus pakar kebijakan disabilitas, Antoni Tsaputra, Ph.D., menilai penghadangan aparat problematis secara hukum maupun HAM. Menurutnya, tindakan itu berpotensi melanggar UUD 1945, UU 9/1998, hingga perjanjian internasional yang diratifikasi Indonesia.
“Praktik ini memberi efek chilling, membuat warga takut turun ke jalan, dan memperburuk invisibilitas difabel dalam agenda iklim,” jelas Antoni.
Ia menyebut insiden ini bukan kasus tunggal, melainkan bagian dari tren penyempitan ruang sipil. KontraS mencatat puluhan kasus serupa sepanjang 2025, sementara laporan CIVICUS dan Freedom House menempatkan Indonesia dalam kategori obstructed dan partly free. “Secara formal kita demokrasi, tapi praktik makin mengarah ke otoritarian,” tegasnya.
Empat Langkah Strategis
ARUKI mendesak aparat menghentikan praktik penghalangan aksi damai serta menuntut pemerintah membuka ruang partisipasi rakyat dalam kebijakan iklim.
Antoni mengusulkan empat langkah strategis: memulihkan rule of law, menjamin partisipasi kelompok rentan, membangun dialog negara–warga berbasis bukti, dan memperkuat pengawasan independen.
“Insiden ini seharusnya jadi momentum belajar, bahwa negara harus bergeser dari containment menuju facilitation,” pungkasnya. (Harta Nining Wijaya)