Wonosobo Tetapkan Arah Baru Pertanian 2045, Teh dan Kopi Jadi Fokus Utama

Bagikan :

Foto bersama peserta Paparan dan Diskusi Roadmap Pembangunan Pertanian Kabupaten Wonosobo yang berlangsung di Aula Dinas Pangan, Pertanian dan Perikanan (Dispaperkan)  Wonosobo, Kamis (13/11/2025). (Foto: Dok pribadi Budi Dharmawan/EDUKATOR)

WONOSOBO, EDUKATOR—Pemerintah Kabupaten Wonosobo mulai menyiapkan peta baru pembangunan pertanian dan ketahanan pangan menuju tahun 2045. Lompatan besar ini diarahkan pada penguatan komoditas bernilai ekspor, terutama teh dan kopi, bukan lagi ubi kayu yang selama ini dianggap kurang kompetitif.

Arah strategis tersebut mengemuka dalam Paparan dan Diskusi Roadmap Pembangunan Pertanian Kabupaten Wonosobo yang berlangsung di Aula Dinas Pangan, Pertanian dan Perikanan (Dispaperkan)  Wonosobo, Kamis (13/11/2025).Ketua Tim Riset Roadmap Pertanian Wonosobo, Budi Dharmawan, S.P., M.Si., Ph.D saat memaparkan roadmap  pertajian Wonosobo. (Foto: Dok Pribadi Budi Dharmawan/EDUKATOR) 

Kegiatan itu diikuti perwakilan dinas terkait, Koordinator Balai Penyuluh Pertanian (BPP) se-Wonosobo, Ketua KTNA kecamatan, hingga pelaku usaha pertanian.

Ketua Tim Riset Roadmap Pertanian Wonosobo Budi Dharmawan, S.P., M.Si., Ph.D., yang juga dosen Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), memaparkan bahwa Wonosobo memiliki potensi agroklimat yang sangat ideal untuk komoditas bernilai tinggi.

Potensi Besar Dataran Tinggi Wonosobo
Dalam paparannya, Budi menegaskan bahwa Wonosobo memiliki keunggulan geografis dengan ketinggian 250 hingga 2.445 meter di atas permukaan laut. Kondisi ini membuat daerah tersebut cocok untuk tanaman hortikultura dan perkebunan, khususnya teh dan kopi.

Tim Unsoed dalam kegiatan Paparan dan Diskusi Roadmap Pembangunan Pertanian Kabupaten Wonosobo yang berlangsung di Aula Dinas Pangan, Pertanian dan Perikanan (Dispaperkan)  Wonosobo, Kamis (13/11/2025).(Foto: Dok pribadi Budi Dharmawan/EDUKATOR)

“Wilayah Wonosobo tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan lokal, tetapi juga memiliki peluang besar menembus pasar ekspor global dengan produk bernilai tinggi,” ujar Budi Dharmawan, alumnus S3 dari Georg August University Göttingen, Jerman ini.

Menurut Budi, ketahanan pangan daerah dapat semakin kuat jika petani mampu memanfaatkan peluang pasar melalui rantai nilai yang lebih berdaya saing. Namun ia mengingatkan bahwa modernisasi pertanian tak dapat dihindari.

Teknologi Jadi Penentu Daya Saing
Budi Dharmawan yang juga pakar Spsial Ekonomi Pertanian dan pengajar di Prodi S3 Ilmu Pertanian Unsoed menilai,  tantangan utama pertanian rakyat di Wonosobo adalah pola tanam konvensional yang belum sepenuhnya menyesuaikan perubahan iklim.

“Pola musim sudah tidak bisa ditebak seperti dulu. Dibutuhkan sentuhan teknologi, mulai dari benih unggul, pemupukan tepat guna, hingga sistem pengolahan hasil yang efisien,” jelasnya.

Ia menekankan pentingnya keterlibatan perguruan tinggi dan lembaga pelatihan sebagai jembatan antara riset dan praktik lapangan agar petani tidak tertinggal dalam penerapan teknologi.

Hilirisasi Masih Lemah, Petani Dirugikan
Selain persoalan iklim, Budi menyoroti lemahnya hilirisasi. Banyak hasil panen dijual dalam bentuk mentah sehingga petani tidak menikmati nilai tambah. Ia memberi contoh potensi pengolahan ubi kayu menjadi mocaf, bioetanol, atau gula cair.

“Sistem pertanian harus dibangun dari hulu ke hilir. Produksi saja tidak cukup. Diperlukan inovasi agar hasil panen bisa dikembangkan sesuai permintaan pasar,” tegas Budi.

Ubi Kayu Dikeluarkan dari Komoditas Unggulan
Meski memiliki potensi industri turunan, ubi kayu tidak dianggap layak sebagai komoditas unggulan Wonosobo.

Kabid Bina Program Dispaperkan Wonosobo, Umar Shoid, menyatakan hasil ekonomi ubi kayu terlalu rendah. Pendapatan per hektare hanya sekitar Rp20 juta dengan harga jual Rp500–800 per kilogram. Waktu panen yang panjang—8 hingga 10 bulan—juga membuatnya kalah bersaing dengan teh dan kopi.

“Ubi kayu tidak bisa dipaksakan menjadi unggulan tanpa inovasi teknologi dan penguatan rantai pasok. Kita harus realistis dengan potensi ekonomi,” tegas Umar.Hamparan tanaman teh di Wonosobo

Fokus pada Teh dan Kopi untuk Pasar Ekspor
Pemerintah kini diarahkan untuk memilih komoditas yang memiliki nilai ekonomi kuat dan daya saing tinggi. Teh dan kopi dinilai paling prospektif karena kualitasnya sesuai agroklimat dataran tinggi dan telah memiliki branding global.

Produk turunan seperti teh celup, minuman siap saji, serta kopi bubuk premium diharapkan mampu memperkuat posisi Wonosobo sebagai sentra agrobisnis dan destinasi agropariwisata Jawa Tengah.

Strategi Pemerintah dan Arah Kebijakan 2026
Perwakilan Bappeda Wonosobo, M. Arif Setiawan, menjelaskan bahwa alokasi anggaran sektor pertanian untuk 2026 masih bersifat dinamis. Dukungan tidak hanya akan diberikan pada Dinas Pertanian, tetapi juga pada sektor industri pengolahan, peningkatan SDM, serta infrastruktur distribusi.

“Pembangunan sektor pertanian harus simultan—dari hulu ke hilir. Ketahanan pangan bukan sekadar meningkatkan produksi, tetapi memastikan produk lokal memiliki nilai tambah,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa roadmap pertanian Wonosobo akan menjadi pedoman pemerintah dalam menyusun rencana aksi tahunan yang terukur dan berkelanjutan menuju 2045.

Dengan strategi ini, pemerintah berharap petani tidak hanya menjadi produsen bahan mentah, tetapi turut menguasai rantai ekonomi melalui produk olahan yang berdaya saing tinggi. (Prasetiyo)

 

 

 

 

BERITA TERKINI

inovasi2
Bupati Sadewo Serahkan Penghargaan Kepada Inovator Banyumas
ldkkts4
26 Pengurus OSIS SMPN 4 Kutasari Ikuti LDK
family dinner
Peringati Hari Anak Sedunia, Luminor Hotel Purwokerto Gelar "Family Dinner"
edu2
SMPN 3 Pengadegan Gelar Kokurikuler "Belajar dan Wirausaha"
Akhmad Fauzi1
Membangun Kejujuran dari Hal Sederhana: Ketika Barang Temuan Menjadi Pendidikan Karakter